Friday, October 29, 2021

“Indu-nesia”

Oleh Denni H.R. Pinontoan

 

JAUH ke belakang, satu abad sebelum ia menjadi nama negara, nama tuanya adalah "Indunesia" dan "Malayunesia". Nama itu diberikan oleh George Samuel Windsor Earl (1813-1865) pada tahun 1847. Cuma saja dia lebih suka dengan nama Melayunesia untuk menunjuk pada sebuah wilayah geografis, yang oleh pemerintah kolonial Belanda menyebutnya Hindia Belanda.

Sebenarnya, Indunesia itulah yang juga disebut kepulauan Hindia. James Richardson Logan, kolega Earl tahun 1850 memilih nama "Indonesia", yang dari nama semula "Indunesia". Huruf "u" dirubah menjadi "o". Adolf Bastian, pada tahun 1884 menggunakan nama "Indonesia" untuk menunjuk pada wilayah geografis yang sebelumnya dinamakan "Melayunesia" dan "Indunesia” itu.

"Indu" adalah "India" atau Hindia. Lalu "nesia" berasal dari kata Yunani "nesos" yang berarti "pulau/kepulauan". Tampaknya cuma soal mana istilah yang tepat untuk menyebut wilayah geografis yang sama. Yang jelas, karena ini nama ilmiah, maka sudah tentu dia berbeda dengan nama untuk maksud kolonial, Hindia Belanda.

"Indonesia" pertama-tama adalah istilah geografis. Tapi, sejak awal abad ke-20 ia telah menjadi tanda, lalu simbol politis. Nama ini kemudian berhubungan dengan sikap melawan, lalu juga berkembang menjadi petanda nasionalisme. Ketika Pramoedya Ananta Toer di tahun 1964 menyebut sejarah nama Indonesia dalam bahan kuliahnya, tentu ia sudah menjadi suatu kedaulatan, atau kuasa sebagai negara.

Nah, ini yang menarik.

Tahun 1931 J.Th. Petrus Blumberger menerbitkan bukunya berjudul "De Nationalistiche Beweging in Nederlandsch-Indie" (Gerakan Nasionalis di Hindia Belanda). Istilah “gerakan nasionalis” yang dimaksud Blumberger mencakup semua aliran pemikiran modern di kalangan penduduk asli Hindia Belanda. Disebut juga gerakan pribumi, seperti istilah yang juga digunakan oleh E.A.A. de Vreede dalam disertasinya tahun 1932 berjudul, “Het Nationalisme als Zedelijk Vraagstuk”.

Istilah ini, juga dipakai oleh Blumberger untuk menunjuk pada gerakan khusus yang didasarkan pada ideologi persatuan Nasionalisme Indonesia masa itu. Pada intinya, ia mau menunjuk pada apa yang disebutnya, 'kecenderungan nasionalis dari berbagai jenis dan besarnya.”

Iya, Blumberger memang membahas tentang gerakan nasionalis mulai awal abad ke-20 di Hindia Belanda yang ternyata memiliki macam-macam bentuk dan dasar ideologinya. Ada gerakan berbasis etnisitas, ideologi yang beragam, sosialis, komunis, nasionalis, Islam, juga Kristen di berbagai tempat, dan pula kepanduan. Penggeraknya baik laki-laki maupun perempuan, bahkan termasuk organisasi-organisasi perempuan di banyak tempat.  Islam ada macam-macam organisasi, yaitu Sarikat Islam, Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama, dan jangan pernah lupa, juga Ahmadiyah.

“Sentimen politik dalam 'ideologi-ideologi ini memungkinkan untuk terlibat dan bekerja sama di bidang sosial; sementara itu menciptakan masalah besar bagi kebijakan politik masa depan,” tulis Blumberger.

Semua yang bermacam-macam itu, dan bahkan ada di antara mereka yang saling bertolak belakang secara ideologis adalah ‘gerakan nasionalis’. Kalau demikian, apa itu nasionalisme?

Rupanya, dengan tidak perlu merujuk ke Renan, SR Steinmetz, Lothrop Stoddard, atau Gottfried Salomon, nama-nama yang disebut Blumberger itu, nasionalisme itu adalah tentang kesadaran pada bahaya kekuasaan yang menindas, yang semua menunjuk pada hal yang sama waktu itu, yaitu kolonialisme Belanda.

Nah, dari mana kesadaran itu. Kita boleh menafsir sejarah masa itu dari hari ini, dengan antara lain mengatakan, pertama-tama dari pengalaman diperlakukan tidak adil. Para korban ketidakadilan kolonialisme tidak individu per individu terutama. Sebab ada pula sesama kaum yang hidup senang dan mewah bersama penjajah, namun yang banyak dan mereka adalah ‘rakyat’ kebanyakan hidupnya sungguh tersiksa. Jadi, nasionalisme masa itu digerakkan oleh pengalaman kolektif, yaitu antara masing-masing kelompok saling berbagi kepedulian dan solidaritasnya yang kemudian mewujud menjadi kesadaran bersama.

Tapi juga energi nasionalisme itu diperoleh dari apa yang menjadi paradox dari semua kekuasaan yang hegemonik dan destruktif, yaitu ‘resistensi’ pada satu pihak, tapi pada pihak lain, ‘kreatifitas’ mengambil apa yang mulanya menjadi senjata kolonial, kemudian diolah sedemikian rupa dan jadilah ia senjata perlawanan. Kalangan intelektual memakai fasilitas kolonial untuk berpengetahuan, misalnya kesempatan studi ke Eropa yang justru dimanfaatkan untuk konsolidasi kekuatan pikiran.

Kesadaran dan pengetahuan itu adalah daya yang menggerakan. Maka, terorganisirlah massa yang besar untuk menyatakan penolakan terhadap eksistensi kolonial. Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh macam-macam ideologi muncul di mana-mana. Entah itu sosialisme, komunisme, atapula paham keagamaan. Jadilah semua itu kekuatan besar dengan satu kode: Indonesia.

Jadi, nasionalisme Indonesia itu adalah: kesadaran yang muncul dari pengalaman dijajah, yang kemudian mewujud sebagai spiritualitas untuk bebas, lalu intelektualitas dalam bentuk pemikiran-pemikiran kritis, dan kemudian massa yang menuntut merdeka. Itulah yang mungkin boleh dikatakan sebagai struktur-struktur nasionalisme Indonesia, atau pula fondasi kebangsaan Indonesia.

Jadi, Indonesia itu pertama-tama adalah roh dari berbagai macam ideologi dan paham, dengan demikian ia mestinya adalah rumah pemikiran merdeka. Sehingga mestinya pula ia adalah rumah bersama bagi orang-orang yang ‘telah merdeka’ dan yang “ingin terus merdeka”. Atau dengan kata lain, Indonesia adalah rumah bagi orang-orang merdeka, maka dengan itu, kesadaran merdeka harus terus dipelihara setiap yang mengaku sebagai orang Indonesia.

Rumah besar ini hanya untuk orang-orang yang terus ingin hidup dalam kemerdekaan. Kemerdekaan yang pada masing-masing orang tidak boleh digunakan untuk menjajah yang lain. Sebab, musuh dari kemerdekaan adalah penjajahan. Dan, penjajahan itu adalah wujud dari pemikiran ekstrim yang menjadikan ‘yang lain’ yang beragam itu tunggal dan takluk pada ketunggalan itu. Sehingga, jika roh Indonesia, yaitu kebhinekaan atau kebermacam-macaman itu diberangus, sekalipun atas nama nasionalisme tafsir sepihak, maka berakhirlah sejarah “Indu-nesia” ini.  (Kuranga, 29 Oktober 2021, di hari ulang tahun KGPM ke-88, dan sehari setelah peringatan Sumpah Pemuda)

No comments :

Post a Comment