Skip to main content

Kema, Kota Pelabuhan Tua


Kema adalah nama sebuah kota pelabuhan tua yang terletak di pesisir pantai Timur Minahasa. Nama Kema sudah dikenal sejak kedatangan Spanyol di Minahasa abad 16. Pelabuhan Kema menjadi saksi perjumpaan orang-orang Minahasa dengan Eropa untuk pertama kali.

Harry Kawilarang, dalam tulisannya berjudul, Dari Quimas menjadi Kema yang dipublikasikan di situs theminahasa.net menyebutkan, nama Kema dikaitkan dengan pembangunan pangkalan militer Spanyol ketika Bartholomeo de Soisa mendarat pada 1651 dan mendirikan pelabuhan di daerah yang disebutnya ‘La Quimas.’ Letak benteng Spanyol berada di muara sungai Kema, yang disebut oleh Belanda, "Spanyaards-gat," atau Liang Spanyol.

September 1855, Pieter Bleeker, seorang dokter dan ahli ikan dari Belanda tiba di Manado dan naik ke pedalaman Minahasa mengunjungi beberapa tempat.

Tanggal 22 September 1855 dari Tondano, Bleeker menuju ke Kema. Dari pelabuhan Kema ia akan ke Ambon. Dia dan beberapa orang lainnya berangkat ke Kema pukul 10 pagi.

Di masa itu, Kema merupakan ibukota distrik Tonsea. Distrik ini memiliki jumlah penduduk terbesar di Minahasa.  Sebanyak 10.000 jiwa tercatat sebagai penduduk distrik Tonsea.  Sebagian besar penduduk hidup di Tonsea, yaitu di sepanjang jalan utama dari Manado ke Kema.

Kema berkembang sebagai ibu negeri Pakasaan Tonsea sejak era pemerintahan Xaverius Dotulong, setelah taranak-taranak Tonsea mulai meninggalkan negeri tua, yakni Tonsea Ure dan mendirikan perkampungan-perkampungan baru. “Surat Xaverius Dotulong pada 3 Februari 1770 kepada Gubernur VOC di Ternate mengungkapkan bahwa ayahnya, I. Runtukahu Lumanauw tinggal di Kema dan merintis pembangunan kota ini,” tulis Kawilarang.

“Kema sangat menawan di pantai timur Minahasa,” tulis Bleeker dalam buku laporannya berjudul, Reis Door de Minahassa in den Molukschen Archipel yang terbit 1856. 

Penduduk Kema waktu itu sangat majemuk. Bleeker menyebut gambaran jumlah pendudukan berdasarkan agama dan ras. Data terakhir tahun 1854,  penduduk Kema terdiri dari 142 orang Eropa dan keturunan Eropa,1108 penduduk asli yang Kristen, termasuk 492 sebagai warga sipil, 450 Muslim, dua China dan 74 budak.  


Banyak kapal yang singgah di pelabuhan itu. “Selama kami tinggal itu ada kapal penangkap ikan paus singga di dermaga tersebut,” tulis Bleeker.  

Menurut Bleeker, kapal ini mengunjungi Kema terutama untuk memenuhi persedian air bersih dan bahan-bahan makanan, seperti daging sapi, babi, unggas, kentang, dll.

Pohon-pohon kelapa tumbuh subur di Kema. Pondok, gereja, rumah-rumah para pemimpin, tampak sederhana.

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...