Sunday, October 31, 2021

Maria adalah Perempuan! (beberapa catatan tentang monolog “Maria”)

 


 

Oleh Denni H.R. Pinontoan

 

Manado, 30 Oktober 2021 malam. Kota ini terasa begitu sesak. Di suatu kawasan pusat perbelajaan terlihat ramai orang-orang menikmati malam. Jalan raya padat dengan kendaraan roda empat dan dua. 

Di sebuah kafe Maria hadir lagi dan berbicara hadapan orang-orang di situ. Ia berbicara dengan nada mengeluh, tapi juga protes. Maria, ya dia seorang perempuan.

Pojok Indie nama kafe itu. Berdiri memang di sebuah pojok. Di depannya pusat perbelanjaan yang berdiri di atas tanah reklamasi. Ia berada sekira 1 km dari Pasar 45, yang di masa kolonial adalah benteng Ford Amsterdam pusat dari segala kekuasaan yang mengubah. Tak jauh dari situ adalah pelabuhan tua yang masih berfungsi.

Oleh suatu proses berkesenian, Maria datang lagi ke sini, ketika semua sudah banyak yang berubah.

"Saya Maria. Lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872,” kata perempuan itu.

Perempuan yang sedang berbicara itu adalah Maria dalam pentas monolog karya Achi Breyvi Talanggai dengan aktrisnya Melva Trifena Kembuan.

Sangat mungkin, Achi penulis naskah ini tak menyadari sebelumnya bahwa ruang pentas monolognya bukan hanya panggung kecil itu. Maria malam ini pas berada di kawasan yang seabad lalu, ia adalah batas antara yang Eropa dengan pribumi. Batas antara penguasa dan yang dikuasai.

Monolog Maria malam ini semacam esai yang dipentaskan tentang bagian dari sejarah Maria Josephine Cathrine Maramis. Seorang perempuan kelahiran Kema, 1 Desember 1872. Sudah barang tentu monolog ini tidak sedang berusaha menghadirkan potret Maria dari Kema itu. Sebab, setiap monolog adalah tafsir, rekonstruksi dan refleksi atas yang historis.

Ini adalah cara menghadirkan kembali spirit Maria secara imajinatif dan kreatif. Ada kesan, bahwa si penulis naskah telah membaca Maria dari Kema itu dengan tafsir feminis. Si aktris, Melva tampaknya mestinya harus setia pada naskah untuk menghayati perannya secara feminis pula.

Itu tampak jelas dalam setiap gerak dan ucapan tokoh Maria, juga setiap properti di panggung itu. Semua itu adalah cara untuk menghandirkan suara Maria dari Kema secara simbolis. Dan, pada hal ini monolog Maria adalah sebuah esai yang dipentaskan. Ia adalah hasil tafsir dengan kebebasan si penulis naskah dan juga aktris yang memerankannya atas teks kultural tentang Maria Josephine Catherine Maramis.

Malam itu saya dan Lidya Kandowangko, kolega di Prodi Sosiologi Agama IAKN Manado diminta oleh Achi untuk menjadi pemantik diskusi setelah pentas. Pada kesempatan inilah saya berbicara tentang Maria J.C. Maramis itu dengan sedikit sejarah yang tentangnya, selebihnya adalah refleksi.

Maria Maramis adalah perempuan Minahasa yang hidup di masa transisi abad. Seorang anak perempuan malang yang ditinggalkan oleh kedua tuanya karena kematian. Dibesarkan oleh pamannya di Maumbi tapi berinteraksi dengan keluarga zendeling Jan ten Hove, terutama dengan istrinya. Maria mesti mengalami pembatasan kesempatan untuk berpendidikan hingga tinggak tertentu. Tapi ia rupanya dapat mengatasi itu dengan berusaha belajar mungkin sebagai anak piara keluarga zendeling.

Maria hidup di masa struktur kolonial telah membentuk satu jaringan birokrasi hingga ke wanua/ro'ong. Masyarakat Minahasa sudah berbeda-beda secara kelas sosial. Maria terjepit pada posisinya sebagai bagian dari keluarga elit, sebagai perempuan yang berhadapan dengan diskriminasi rasial kolonial. Kekristenan di Minahasa yang segera menjadi bagian dari gereja kolonial Indische Kerk tidak banyak menolong dia dari posisi sulit itu.

Namun, Maria kelak menjadi tokoh penggerak karena ia berhasil menangkap kekuatan pengetahuan modern masa itu. Ia berusaha mengolah pengetahuan modern itu dengan warisan pengetahuan Minahasa. Saya yakin, ia tahu dan paham betul bahwa sebagai perempuan Minahasa ia hidup dalam komunitas yang memiliki warisan budaya egaliter.

Maka, tampilah Maria sebagai tokoh pergerakan perempuan Minahasa. Mendirikan PIKAT, menulis pemikiran-pemikiran kritis di surat kabar,  hingga memperjuangkan hak pilih perempuan di Minahasa Raad. Anggota Minahasa Raad, seorang tokoh senior Minahasa, A.L..Waworuntu mendukung perjuangan hak pilih perempuan oleh Maria dan PIKAT. Demikian pula Frits Laoh di Gemente Raad Manado.

Dalam memperjuangkan hak pilih perempuan, dan itu berarti mesti memasuki dunia politik, Maria dan PIKAT berhadapan dengan ideologi dan struktur kolonial yang rumit. Seorang feminis dari Belanda, Aleta Jacobs datang ke Hindia Belanda untuk menggalang kekuatan memperjuangkan hak pilih perempuan di Volksraad. Namun, sasarannya lebih khusus perempuan Eropa. Sementara mereka sendiri harus berhadapan dengan politik yang patriakhal. Politik kolonial sendiri sudah tentu sangat bercorak Eropa.

Jadi, ketika Maria dan PIKAT melakukan gerakan untuk perjuangan hak pilih perempuan, ini sama dengan melawan politik rasial yang patriarkhal kolonial. Temboknya berlapis-lapis: perempuan Eropa vs laki-laki Eropa; laki-laki Eropa vs laki-laki pribumi: di Volksraad (di Batavia) laki-laki pribumi vs perempuan pribumi. Tapi, di Minahasa sungguh berbeda: perempuan dan laki-laki Minahasa bekerjasama untuk perjuangan itu.

 

***

Maria Maramis adalah perempuan pada zamannya. Secara personal historis ia terbatas ruang dan waktu. Namun, melalui seni rohnya berusaha dihidupkan kembali untuk menafsir pesannya bagi pendengar masa kini.

Monolog "Maria" karya Achi dengan pemerannya Melva melakukan itu. Apakah Achi sebagai penulis naskah telah mendekati teks historis Maria Maramis dengan tafsir feminis? Ah, saya kira itu tidak penting. Apakah Melva mementaskan Maria dengan kesadaran feminisme dan lalu ia telah berbicara sebagai seorang feminis? Ah, itu juga tidak terlalu penting dipikirkan. Yang penting adalah teks historis Maria Maramis telah ditafsir, direkonstruksi dan direfleksikan secara kreatif. Itulah seni monolog.

Hal penting untuk dibicarakan apakah karya ini berhasil memicu diskurus berkesenian dan tentang perempuan atau tidak. Saya sendiri menyaksikan respon mereka yang hadir sebagai penonton di kafe malam itu. Monolog Maria rupanya berhasil memicu kritik dan refleksi tentang keduanya. Ini penting. Karena dengan demikian maka monolog ini berhasil mengajak orang-orang untuk berefleksi dan memikirkan kembali apa yang krusial tapi malas dipikirkan sebelumnya.

Seorang teman bertanya, bagaimana kita memahami tentang Maria dan perempuan? Ini sebuah pertanyaan reflektif yang dalam.

"Perempuan adalah narasi tentang keterpinggiran kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan konstruksi kekuasaan," kataku pada malam itu.

Jawaban ini muncul dari perenunganku selama ini tentang kecenderungan, bahwa ketika berbicara hak perempuan untuk setara lalu mengkonstruksinya semata hanya secara biologis dan memperhadapkannya secara dikotomis dengan juga yang dikonstruksi semata hanya biologis, yaitu laki-laki.

Sementara ketika bicara kesetaraan, maka itu tentang dua pihak atau lebih yang mesti memiliki kesadaran holistik untuk hadir dan mengada secara setara dengan perbedaan-perbedaan kodrati yang dimiliki masing-masing. Pada hal maka tentang apa yang disebut perbedaan kodrati itu adalah substansial tapi tidak lebih banyak dari yang dikonstruksi.

Maka, perjuangan kesetaraan mestinya tentang perlawanan terhadap kekuasaan yang hegemonik dan destruktif. Kekuasaan inilah sebagai musuh dari kesetaraan dalam relasi perempuan dan laki-laki, dan antar kelompok dalam masyarakat.

Maria dalam monolog di malam itu, yang hadir pojok keramaian Manado, di kafe Pojok Indie, telah menyatakan suaranya. Selebihnya adalah tentang seni sebagai ruang kritik terhadap segala kekuasaan yang mengkerangkeng. Sebab, kemerdekaan dan kebebasan selalu mendatangkan pengalaman sublim. Bukankah keindahan itu adalah tentang semua yang mendatangkan rasa takjub?***

No comments :

Post a Comment