Skip to main content

Sore itu dan Jejak-jejak Masa Lalu Tomohon

 

TUGU Pancasila itu berdiri tahun 1976. Menara Alfa Omega di belakangnya selesai dibangun tahun 2018. Gedung gereja Sion, di bagian lebih ke belakang dibangun tahun 1878. Di sampingnya terdapat Rumah Sakit Bethesda yang berdiri tahun 1950-an. Bangunan-bangun ini menghiasi pusat kota Tomohon. 

Di tengahnya terdapat sebuah taman. Setiap sore ramai orang-orang di sini. Anak-anak berlari kesana kemari. Tampak pula beberapa anak muda duduk manis menikmati udara dingin sore itu. Tampak sesekali mereka berselefie ria, setelah itu cekikikan. Orang-orang tua tak mau ketinggalan. Ada yang mengambil gambar berpasangan, ada pula yang berdiri kaku seperti kelompok paduan suara.

Di sebelah utara menara ini terdapat lahan parkir kendaraan. Dulunya di situ ada SPBU. Di belakangnya terdapat pusat kuliner.

Tanggal 30 September 1957, Presiden Soekarno datang ke Minahasa. Sebuah foto hitam putih yang telah beredar luas di internet merekam kedatanganannya. Tampak Soekarno berjalan keluar dari gedung gereja Sion, di sampingnya Ketua Sinode GMIM, Ds. A.Z.R. Wenas. Gedung gereja Sion bercat warna putih yang menghadap ke arah Timur tampak berada di belakang mereka. Soekarno datang ke Tomohon untuk menghadiri HUT GMIM bersinode ke-23. Sebuah foto yang memperlihatkan kemeriahan menyambut sang presiden.

Pas di situlah taman ini dibangun, tempat saya berdiri sore ini.

Menara Alfa Omega adalah simbol baru kota Tomohon. Dari namanya, sudah jelas bahwa ia diambil dari istilah Kristen. Artinya Yesus sebagai 'Awal dan Akhir'. Sejak pertengahan abad 19, Tomohon telah menjadi pusat kekristenan. Gereja Sion adalah salah satu jejaknya. Kini, pusat gereja terbesar di Tanah Minahasa, GMIM, kantor sinodenya berdiri di Kota Tomohon.

Rumah Sakit Bethesda juga adalah bukti kehadiran kekristenan di Tanah Minahasa, terutama di Tomohon. Di zaman ketua sinode ds. A.Z.R. Wenas, GMIM memberi perhatian khusus pada kesehatan sebagai wujud kehadirannya di tengah masyarakat. Di beberapa pusat kecamatan berdiri Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA). Lalu kemudian didirikan pula beberapa rumah sakit. Rumah Sakit Bethesda adalah yang terbesar.

Pada badan tugu Pancasila itu terukir nama Menteri Dalam Negeri Amir Machmud yang meresmikan tugu itu pada tanggal 11 Agustus 1976. Agustus tahun ini tugu itu berusia 42 tahun. Ia adalah jejak pemerintahan orde baru yang hingga runtuhnya tahun 1998 hanya mengenal seorang presiden bernama Soeharto.

Usai menikmati udara sejuk kota Tomohon di antara bangunan-bangunan itu, saya menyebrangi jalan raya yang padat kendaraan menuju arah Timur. Melewati sebuah lorong yang berakhir di sebuah pertigaan. Di samping kirinya berdiri Balai dan Kantor Kelurahan Kamasi. Gedung dua lantai ini diresmikan pada 10 Agustus 1979 oleh Bupati KDH Tkt II Minahasa BG Lapian BA.

Balai itu dibangun pada masa Tomohon masih sebagai salah satu kecamatan Kab. Minahasa. Ia nanti menjadi daerah otonom sebagai kota pada awal tahun 2000an.

Ketika datang ke kota ini untuk berkuliah tahun 1998, pas beberapa bulan setelah jatuhnya rezim orde baru, saya masih sempat menonton film di bioskop Sonya dan Nusantara. Salah satu gedung bioskop itu sudah berubah menjadi pusat perbelanjaan.

Tomohon kini memang sudah banyak yang berubah.

Namun begitu, jejak-jejak dari zaman kolonial, orde lama hingga orde baru masih dapat dijumpai lewat bangunan-bangunan itu. Suatu masa di depan, menara Alfa Omega yang kini sebagai ikon baru nanti akan juga menjadi penanda dari masa kini Kota Tomohon. Seperti juga, sebuah bangunan baru rumah sakit Bethesda yang sedang dibangun tepat di samping depan gedung gereja Sion.

Entah bagaimana generasi mendatang memandangnya, yang jelas bangunan apapun yang dirancang untuk bertahan lama selalu punya cerita. Cerita itu selalu berurusan dengan nama, entah ia dikenang dengan penuh kebanggaan atau juga penuh kekesalan.

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...