Skip to main content

Johanna Tumbuan dan Gerakan Pramuka

Gerakan kepanduan di Indonesia sudah sejak awal abad 20. Johanna Tumbuan, seorang perempuan asal Minahasa adalah salah satu generasi awal gerakan ini.


Johanna Tumbuan
SUATU hari di masa pendudukan Jepang, seorang perempuan berusian 30-an tahun sedang berjalan di Cikini Raya, Menteng, Jakarta. Ia baru pulang dari les bahasa Jepang. Tiba-tiba dari balik pohon di pinggir jalan keluar seorang serdadu Jepang dan menghadang perempuan itu.

“Karena tidak memberi hormat kepada serdadu tersebut, maka Ny. Johanna Masdani dipanggil dan ditempeleng,” tulis G.A. Ohorella, Sri Sutjiatiningsih dan Muchtaruddin Ibrahim dalam buku Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pergerakan Nasional, terbit tahun 1992.

Perempuan itu bernama asli Johanna Nanap Tumbuan. Dalam daftar nama tokoh pergerakan namanya ditulis Johanna Tumbuan atau pula Johanna Masdani, mengikuti nama suaminya yang sama-sama tokoh pemuda di zaman itu. Jo, begitu ia dikenal di kalangan keluarga dan orang-orang terdekatnya lahir di Amurang, Minahasa, Sulawesi Utara, 29 November 1910.

“Ayahnya, Alexander Tumbuan, adalah tuan tanah pemilik ratusan hektare kebun kelapa. Sebagai satu-satunya perempuan dari dua bersaudara, Jo sangat dimanjakan ibunya, Henriette Mosal," tulis Mauluddin Anwar dan Endang Sukendar dalam Saksi Hidup Sumpah Pemuda termuat di Gatra edisi 11 Februari 1998.

Johanna adalah salah satu perempuan yang hadir pada Kongres Pemuda ke-II yang dilaksanakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Waktu itu, Johanna hadir sebagai perwakilan organisasi Jong Minahasa. Usianya waktu itu  masih sangat muda, 18 tahun. Pada waktu itu, hadir pula Masdani, yang kelak menjadi suaminya.

Sejak tahun 1927, semasa masih sebagai pelajar di Christelijke MULO, Johanna sudah aktif di gerakan kepanduan, yang kelak semua organisasi kepanduan disatukan menjadi Praja Muda Karana atau disingkat Pramuka.

 “Kami mempunyai kepanduan Indonesisch Nationale Padvinders Organisastie (INPO). Saya menjadi anggota kepanduan ini pada 1927,” kata Johanna pada suatu waktu seperti dikutip Muhammad Umar Syadat Hasibuan dalam buku Revolusi Politik Paum Muda, terbit tahun 2008.

Di masa itu, organisasi-organisasi kepanduan sedang berkembang di kalangan pelajar dan pemuda Indonesia. Organisasi kepanduan lainnya khusus untuk orang-orang Belanda. Johanna mengenang rupa mereka sebagai anggota pandu waktu itu dan kebanggannya menjadi anggota.

“Saya ingat dasi kami merah putih. Saya selalu merasa bangga jika di jalan bertemu dengan pandu-pandu dari organisasi Belanda. Ada perasaan bangga sebagai bangsa Indonesia karena kami punya pandu Indonesia,” jelas Hasibuan.
Cikal bakal INPO adalah Nationale Padvinderij Organisatie (NPO) yang berdiri di Bandung tahun 1923. Di Jakarta di tahun yang sama berdiri pula Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO). Pada tahun 1926 di Bandung, kedua organisasi kepanduan ini meleburkan diri menjadi Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO). 

Salah satu pendiri INPO adalah Theo Pangemanan, seorang wartawan yang berasal dari Minahasa. Terbitan Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, edisi no. 47, tanggal 26 November 1932 menuliskan, Theo Pangemanan, seorang wartawan adalah pendiri Nationale Padvinderij Organisatie. Disebutkan pula,Theo Pangemanan adalah seorang “ pejuang yang setia dalam gerakan nasional Indonesia. Dia dikenal di kalangan gerakan pemuda dan universitas di Batavia. The Ind. Nat. Padv.Org didirikan olehnya. Dia membawa kesadaran nasional di kalangan pemuda Indonesia.”   

Pada Kongres Pemuda ke-II pada sesi tentang gerakan kepanduan dan pemuda, Theo Pangemanan berbicara dalam bahasa Belanda tentang pentingnya gerakan ini. “Pandu Indonesia adalah padvinder yang sejati, tiap-tiap padvinderij harus berdasar nasional, dan padvinderij yang tidak bersifat nasional, sebenarnya bukan padvinderij,” kata Theo Pangemanan seperti dikutip Sudiyo dalam bukunya Perhimpunan Indonesia, terbit tahun 2004.

Setamat sekolah dasar, tahun 1926 Johanna dikirim ke Jakarta. Ia sepertinya mengikuti perempuan-perempuan Minahasa lainnya dalam hal pendidikan. Setelah menamatkan Christelijke MULO di Jalan Kwini, Batavia tahun 1929, ia melanjutkan ke sekolah menengah atas dan tamat tahun 1932. Johanna kemudian melanjutkan pendidikannya di Kweek School, lembaga pendidikan guru. Ia juga kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia selesai tahun 1961.

Maka, jadilah Johanna sebagai seorang guru, sekaligus seorang psikolog.

Sejak menjadi anggota INPO, jiwa kepanduan merasuk dalam dirinya. Apalagi, kekasihnya, Masdani adalah seorang aktivis yang sering mengkordinir kegiatan- kegiatan sosial. Johanna kemudian menikmati dunia gerakan sosial ini. Ia bergabung dengan kawan-kawan aktivis lainnya yang datang dari beragam suku dan agama terjun ke desa-desa menemui rakyat yang dalam keadaan susah. Ia juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan kesenian untuk mengumpulkan dana sosial.  

 

"Benih solidaritas bersemi seiring dengan bangkitnya semangat kebangsaan," kata Johanna, seperti dikutip Mauluddin Anwar dan Endang Sukendar dalam Saksi Hidup Sumpah Pemuda yang termuat di majalah Gatra.

Johanna adalah generasi awal gerakan kepanduan atau Pramuka di Indonesia. Di era Indonesia merdeka, melalui Keppres No. 238 Th. 1961 yang ditetapkan tanggal 20 Mei 1961 tentang Gerakan Pramuka, maka gerakan kepanduan ditunggalkan menjadi ‘Gerakan Pramuka’.

 

“Pendidikan kepanduan pada khususnya, perlu menetapkan suatu organisasi gerakan pendidikan kepanduan yang tunggal untuk diberi tugas melaksanakan pendidikan tersebut,” demikian salah satu putusan dalam Keppres tersebut.


Keppres itu bahkan dengan tegas melarang adanya organisasi lain yang menyerupai gerakan Pramuka yang ditetapkan oleh pemerintah.  

Lalu, pada  14 Agustus 1961 diadakan pelantikan Majelis Pembimbing Nasional (Mapinas), Kwartir Nasional (Kwarnas), dan Kwartir Nasional Harian (Kwarnari) di Istana Negara. Sebagai Ketua Mapinas adalah Ir. Soekarno. Bersama dengan itu juga digelar devile Pramuka, dengan demikian secara resmi Pramuka diperkenalkan kepada masyarakat. Tanggal 14 Agustus 1961 itu kemudian disebut sebagai hari Pramuka.

_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...