TANAWANGKO, Sabtu,
8 Februari 1845. Hari sudah sore. Tiba-tiba tanah bergoyang dengan hebat. Makin
lama makin kuat hingga mencapai puncaknya, dan perlahan berhenti. Lalu terjadilah
sesuatu yang mengerikan.
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.
Makase banyak.
“Maka terjadi retakan tanah di sekitar Tanawangko dari sana
keluar air serta nyala api dari retakan yang baru terjadi itu dan yang kemudian
perlahan-lahan tertutup lagi“, demikian Nicolaus Graafland dalam De Minahasa yang terbit tahun 1869 menggambarkan
sebuah gempa dahsyat yang terjadi di Minahasa pada abad 19. Graafland pasti
tinggal mendengar kisah itu dari orang-orang Tanawangko sebab ia pindah ke sana
nanti tahun 1854, sembilan tahun setelah gempa itu.
Tapi rupanya, apa yang digambarkan oleh Graafland itu
benar-benar terjadi. Frans Junghuhn dalam Java,
Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw terbit 1852 mengutip Java Courant 21 Mei, 1845 menyebutkan, gempa
itu terjadi kira-kira pukul 5:52 sore. Guncangan
berlangsung 50 hingga 60 detik. Barang-barang di dalam rumah terlempar. Dinding
batu benteng Amsterdam, benteng Amurang dan Tanawangko runtuh. Di banyak tempat
tanah retak, air terlihat muncul naik dari celah-celahnya. Jembatan dan
jalan-jalan hancur. Di Tomohon banyak pohon tumbang dan batu-batu meluncur
bergelinding. Sebanyak 62 orang terluka,
56 orang kehilangan nyawa.
Baca juga:
Alfred Russel Wallace dan Gempa di Rurukan
Dampak gempa yang dahsyat ini mengubah beberapa hal di
Minahasa. Orang-orang Minahasa yang
tinggal di negeri yang tidak aman dari gempa dipindahkan. “Sesudah gempa bumi
tahun 1845 makah timbul suatu demam seperti itu. Seakan-akan orang telah
menyadari umumnya bahwa letaknya negeri-negeri tidaklah tepat, dan di sana-sini
terjadi transmigrasi dalam skala kecil,” Graafland menjelaskan.
Minahasa atau umumnya bagian utara Sulawesi memang rawan
gempa, tektonik maupun vulkanik. Sumber gempa dari laut, seperti dijelaskan Geomagz berasal dari penunjaman
sublempeng Sulawesi Utara yang terletak di sebelah utara Pulau Sulawesi,
lempeng Punggungan Mayu, dan lempeng Sangihe yang terletak di sebelah timur
Sulawesi Utara. Gempa vulkanik terjadi karena di tanah Minahasa misalnya paling
kurang terdapat dua gunung api aktif, yaitu Lokon dan Soputan.
Geomagz mencatat beberapa kali gempa pada dua tahun berturut-turut sesudah
gempa dahsyat itu. Gempa yang terjadi pada tahun 1857 menyebabkan tsunami di pantai Manado.
Tanggal 13 Desember 1858 terjadi gempa yang menyebabkan 15 rumah rusak, tsunami
terjadi di Ternate, Halmahera, Talaud dan Minahasa Timur.
Natuurkundig
Tijdschrift voor Nederlansch Indie terbit tahun 1863 melaporkan pula serangkaian gempa tahun 1860 dan 1861.
Misalnya disebutkan, Oktober 1860 pada pukul 7 malam, terjadi gempa yang cukup
parah di Minahasa. Tidak dijelaskan dampak gempa tersebut. Pada sore hari,
sekitar jam 6, tanggal 29 Desember 1861, terdengar suara dentuman keras dari
Timur yang terjadi beberpa kali dan diulang lagi pada jam 10 besoknya.
“Sinar cahaya terlihat di Kema dan di Ratahan. Pagi
berikutnya seluruh Minahasa jatuh abu, yang berlangsung selama 56 jam. Itu ternyata merupakan hasil dari letusan
dari gunung berapi, di pulau timur Makian,” tulis majalah itu.
____________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.
Makase banyak.
Comments
Post a Comment