“Pergaulan
muda-mudi, dilanda demam lagu-lagu Barat. Elvis Presley menjadi idola setiap
kaum muda,” tulis Phill M. Sulu dalam Permesta,
Jejak-jeka Pengembaraan menceritakan suasana kampungnya Kakaskasen, Tomohon
tahun akhir tahun 1950-an.
Idola
kaum muda di tahun ’50-an, selain Elvis Presley, juga sederet nama top
lainnya. Seperti Pat Bonne, Petty Page,
Conny Franscies, Jim Reeves, Andy Williams. Pat Boone nama depannya adalah
Charles Eugene. Di tahun itu, usianya baru 20-an tahun. Puncak suksesnya
adalah di tahun 1950-an. Ia seorang penyanyi pop yang sukses, selain sebagai
seorang aktor. Jim Reeves, penyanyi top lainnya, nama lengkapnya adalah James
Travis Reeves. Jim Reeves adalah penyanyi sekaligus penulis lagu musik populer.
Sama seperti Pat Boone, puncak suksesnya tahun 1950-an.
Waktu
itu Phill masih seorang pemuda. Usianya kira-kira 18 tahun. Pesta-pesta dansa,
lanjut Phill, biasa dimeariahkan dengan perangkat musik paling mutakhir waktu
itu, gramofon pick up. “Dansa jenis rock & roll, boogy woogy, waltz, zamba, dan
lain-lain, menjadi mode hiburan ketika itu,” kata Phill.
Bersama
dengan menyebarnya lagu-lagu Barat, mode berpakaian juga mengikuti tren budaya
pop kala itu. “Termasuk di dalamnya adalah meniru gaya musik dan gaya
berpakaian dari film-film Barat, yang nota bene adalah bekas penjajahnya,”
tulis Sidik Jatmika dalam Genk Remaja.
Menurut
Jatmika, film dan musik adalah pintu gerbang utama dari proses imitasi budaya
Barat tersebut oleh remaja. Aliran musik sejak tahun 194—an dan 1950-an, tambah
Jatmika adalah rock and roll, rhytm and
blues, dan country.
Anak-anak
muda Minahasa rupanya sedang kena demam budaya pop masa itu. Apa yang tren di
Jakarta, Yogyakarta, seperti yang di jelaskan Jatmika juga digemari di
Minahasa.
Di
Minahasa, dansa jelas adalah warisan Belanda. Di awal abad 20 anak-anak muda
Minahasa di kampung-kampung sudah berdansa dengan mengenakan stelan rapi untuk
pria dan gaun untuk perempuan. Bioskop sudah ada sejak itu. Harian Het Nieuws van den Dag voor
Nederlandsch-Indië, edisi 2
September 1930 misalnya mengumukan sebuah pesta di Menado untuk perayaan Hari
Ratu. Pesta itu akan diisi dengan parade
bunga, permainan rakyat dengan nyanyian, musik dan pertandingan sepak bola,
prosesi dengan lampion, bioskop terbuka dan kembang api. “Semuanya dalam gaya
yang hebat,” demikian pengumuman tersebut.
Phill
mengatakan, mode pakaian yang digemari waktu itu adalah rok super mini yang
terbuka seperti payung. Nama populernya, rok
can-can. “Bisa dibayangkan betapa seronoknya seorang gadis yang mengenakan
rok sependek itu, bila sedang beraksi dengan goyang dansa boogy woogy,” kata Phill.
Sayang,
apa yang Phill sebut ‘suasana flamboyan’
itu tidak berlangsung lama. Jelang akhir tahun 1950-an, tepatnya tahun 1957
hingga awal tahun 1960, di Minahasa terjadi pergolakan Permesta. Anak-anak muda
yang telah terbiasa berpesta, dansa, menonton bioskop, kini harus latihan
pegang senjata, menembak, berperang dan masuk hutan.
Tapi
ternyata, film perang yang menceritakan keberanian seorang serdadu bernama
Audie Murphy berjudul To Hell and Back, dengan
bintang si serdadu itu sendiri telah menginspirasi kaum muda Minahasa yang
bergabung dalam Permesta. Ketika perang Permesta meledak, muncul
serdadu-serdadu muda tanpa tanda pangkat, kata Phill. Mereka itu dinamakan caper alias calon prajurit. Kaum muda yang lain, adalah anak-anak sekolah yang
disebut tentara pelajar.
Kesatuan
para tentara muda ini diberi nama Corps
Tentara Pelajar atau CTP. Badge mereka
berbentuk kotak warna merah bergaris-garis miring hitam. “Corps ini meniru corps tentara
pelajar Amerika yang sangat populer saat itu dalam film perang yang dibintang
Audie Murphy bintang film idola kaum remaja zaman itu,” ungkap Phill.
Audie
Murphy adalah serdadu Amerika yang mengalahkan tentara Nazi Jerman seorang diri
di awal tahun 1945. Kisah keberaniannya itulah yang difilmkan dengan judul To Hell and Back, dirilis di Amerika
Agustus 1955. Audie Murphy, serdadu gagah berani dan sekaligus aktor itu adalah
idola kaum muda Minahasa di masa flamboyan,
sebelum perang saudara Permesta.
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.
Makase banyak.
No comments :
Post a Comment