Skip to main content

Sikap Tegas GMIM terhadap Pemerintah Jepang

Poster propaganda Jepang. Sumber 
DI tengah pembatasan dan upaya campur tangan pemerintah Jepang menguasai Minahasa, GMIM masih memiliki keberanian menyatakan sikap tegasnya.

Hari itu, Minggu, 11 Januari 1942, pukul 03.00 pasukan Jepang pertama melakukan pendaratan di Kema. Pada tengah harinya, pasukan Jepang sudah berhasil menguasai Airmadidi. Keduanya di Minahasa bagian Utara. Sementara itu di Manado, pendaratan pasukan Jepang terjadi tidak lama setelah di Kema.

“Pendaratan pasukan Jepang dilakukan dengan cepat,” tulis Nino Oktorino dalam buku Hancurnya KNIL Minahasa terbit 2018.

Pada hari yang sama, lanjut Oktorino, setelah menguasai Manado, kira-kira pukul 18.00 pasukan Jepang menduduki Tomohon, pusat Geredja Masehi Indjili Minahasa (G.M.I.M). Serangan udara yang dilancarkan sejak Desember 1941 membuat sebagian besar penduduk di Tomohon dan Minahasa pada umumnya menyingkir ke kebun-kebun.

“Pertama-tama Kuranga yang diduduki, suatu kompleks tempat kediaman orang-orang Belanda yang bertugas sebagai Pendeta, guru dan pegawai,” demikian tulis  M.L. Matindas, A. Lumopa, dkk dalam buku Sejarah Misi Protestan Masuk Tomohon, terbit 1989.

Ketua Sinode G.M.I.M waktu itu adalah Ds. G.P.H. Locker, seorang pendeta Belanda yang menjabat sejak tahun 1941. Ketika Jepang berhasil menduduki Tomohon secara keseluruhan pada tanggal 12 Januari, mereka kemudian menawan semua orang Belanda, termasuk Locker. “Para tahanan sipil termasuk Ketua Sinode GMIM Ds. G.P.H. Locker, dikumpul dan ditahan di RS Gunung Maria Tomohon,” tulis Matindas, Lumopa, dkk.

Th. van Den End dalam Ragi Carita: 1860 sampai Sekarang, terbit tahun 1999 menuliskan, jabatan Ketua Sinode kemudian diambil alih oleh Ds. A.Z.R. Wenas yang sebelumnya sebagai Wakil Ketua II BPS GMIM. Pengalihan kepemimpinan G.M.I.M itu dilaksanakan pada rapat luar biasa badan pekerja sinode tanggal 2 Februari 1942.

Sejak Jepang menduduki Tomohon, selama beberapa minggu tidak dilaksanakan ibadah Minggu di rumah gereja. Sebabnya, selain karena banyak anggota jemaat yang mengungsi, juga karena pembatasan yang pemerintah Jepang terapkan. Meski pemerintah militer Jepang kembali memberi izin tapi kegiatan gereja di bawah berada kontrol pemerintah Jepang.

“Minisebu Manado memberikan keleluasaan kepada pemimpin-pemimpin membuka gereja-gereja (semua rumah-rumah kebaktian). Akan tetapi melarang berpidato dan memberitakan hal-hal yang bukan mengenai agama dan di luar gereja,” demikian bunyi pasal 1 Surat Kepala Minseibu Bahagian Pengajaran dan ibadat, K. Kodama kepada ketua G.M.I.M tertanggal 24 Juni 1942 seperti dikutip M.L. Matindas, Lumopa, dkk.

Pemerintah Jepang, selain melakukan pembatasan pada hal-hal tertentu untuk kegiatan gerejawi, juga berusaha mempengaruhi para pelayan gereja secara ideologis. J.E. Tulung seorang pengantar jemaat di Tomohon misalnya, seperti tertulis pada buku Sejarah Misi Protestan Masuk Tomohon, setelah selesai mengikuti ‘Kita Selebes Nippon Go Kyooin Yooseisyo’ ditugaskan oleh Pemerintah Jepang bekerja di kantor tersebut dan digaji oleh pemerintah. Namun, pada hal tertentu yang prinsipil, pemimpin G.M.I.M tidak segan-segan mengeluarkan sikap tegas.

Misalnya untuk iming-iming pemberian gaji bagi pendeta GMIM oleh pemerintah Jepang.  “Gereja menolak tawaran ini, sebab khawatir kalau-kalau dengan demikian ia kehilangan terhadap pemerintahan duniawi,” tulis Th. van Den End.

Penolakan lain adalah tentang pembangunan tugu memperingati para prajurit Jepang yang gugur dalam perang. Senin, 8 Maret 1943, di gereja besar Tomohon K. Suzuki, seorang Jepang yang beragama Kristen bertemu dengan Ds. W. Rumambi dalam sebuah pertemuan. Suzuki menyampaikan maksud pemerintah Jepang untuk membangun tugu peringatan di Manado. Tugu ini untuk menghormati para prajurit Jepang yang gugur dalam medan perang. Dari pihak G.M.I.M, hadir pula dalam pertemuan itu Ds. A.Z.R. Wenas, sebagai ketua sinode G.M.I.M. Wenas diberi kesempatan untuk menutup pertemuan itu dengan sambutan. Secara diplomatis namun teologis, Wenas menolak rencana itu.

“Seterusnya saya katakan: kita telah berkata-kata banyak tentang candi peringatan yang mulia yang akan diperdirkan di Manado tetapi selalu orang Kristen haruslah pertama-tama kita ingat akan candi Kristus di Joljuta, yang pohon keselamatan dunia segenap,” kata Wenas seperti termuat dalam buku Sejarah Misi Protestan Masuk Tomohon.



______________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...