Skip to main content

Thomas Najoan: Membujang demi Revolusi

THOMAS Najoan adalah seorang sosialis dan nasionalis revolusioner. Lelaki muda ini asal Langowan, Minahasa Tengah. Thomas Najoan lahir di Langowan pada tahun 1893. Ibunya bernama Elizabeth Sigar, ayahnya Johan Simon Najoan. Ia adalah anak ketiga dari 10 bersaudara.

Karena aktif dalam dunia gerakan melawan pemerintah kolonial Belanda, ia ditahan dan diasingkan ke Boven Digoel. Beberapa kali ia mencoba lari. Baginya, usaha lari adalah perjuangan. Pada pelarian terakhir, ia hilang ditelan hutan belantara Papua, hilang bersama cintanya.

Besluit perintah pengasingan Thomas Najoan ke Boven Digoel tertanggal 4 Maret 1927. Namun Thomas Najoan nanti dibawa ke Boven Digoel tanggal 16 April 1927. “Hari ini, Thomas Najoan dan Yusuf Taha berangkat melalui Ternate di bawah pengawalan polisi ke Digoel,” tulis De Indische Courant edisi 16 April 1927.

Padahal, Thomas Najoan sedang berencana untuk menikah dengan seorang perempuan yang dicintainya. “Rencana perkawinan pun batal. Selama di Manado Thomas mungkin sudah berusaha menyiapkannya,” ungkap Petrik Matanasi dalam Thomas Najoan, Si Raja Pelarian dalam Pembuangan.

Tidak diketahui siapa perempuan calon istrinya itu.Dan, perempuan ini adalah cinta terakhir Thomas Najoan sampai batas akhir perjuangannya.

Thomas Najoan berusia 34 tahun ketika diasingkan ke Digoel. Usia yang sudah tepat untuk menikah. Tapi sebagai seorang propagandis Partai Komunis Indonesia dan pemimpin redaksi Oetoesan Minahasa yang kritis terhadap pemerintah kolonial, bagi pemerintah Thomas Najoan adalah musuh berbahaya yang harus diasingkan. Sebagai akibat dari jiwa revolusionernya, ia pun harus merelakan harapan berumah tangga kandas.

Hidup di tempat pengasingan, sungguh menyiksa Thonas Najoan. Apalagi bagi seorang pemuda seperti dia yang pernah mengenal cinta. Hidup merdeka menikmati cinta adalah harapan yang tak berujung.

Maka, Thomas Najoan beberapa kali berusaha lari, tapi selalu saja tertangkap kembali. Sekira 11 tahun lamanya Thomas Najoan hidup dalam pengasingan sampai pada kira-kira tahun 1941 ketika ia mencoba melarikan diri lagi. Bersama dua rekannya, Saleh Rais dan Mustajab, Thomas Najoan sekali lagi mengambil keputusan berani.

Thomas dan dua kawannya meninggalkan Boven Digoel dan masuk ke belantara Papua. Setelah itu, tak ada satupun orang yang tahu ke mana dan bagaimana nasib Thomas Najoan dan Saleh Rais. “Belakangan berdasar pengakuan Yahya Malik Nasution, hanya mayat Mustajab ditemukan mengapung di sungai Digoel. Mayat Mustajab ditemukan dalam keadaan rusak dengan organ hati yang sudah diambil,” tulis Matanasi.

Ini pelarian terakhir Thomas Najoan,  yang baginya usaha dari lari pengasingan semacam itu adalah juga perjuangan. Ia hilang dalam rimba belantara, seperti cintanya yang hilang oleh rimba ganas penjajahan. 

____________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis. 

Makase banyak.



Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...