Thursday, August 16, 2018

Mischa de Vreede, ‘Selamat Merdeka!’


Mischa de Vreede

Mischa de Vreede hanya seorang gadis cilik dari keluarga berkebangsaan Belanda ketika kekuasaan berganti di Hindia Belanda tahun 1942. Setelah berhasil melampaui trauma kekejaman perang, puluhan tahun dari hari-hari menyiksa itu, dia datang ke Indonesia dengan ucapan ‘Selamat Merdeka!”

MISCHA de Vreede baru berusia 9 tahun ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan tanggal 17 Agustus 1945. Bangsanya adalah penjajah. Tapi, sebagai anak kecil, Mischa tidak pernah tahu apa yang akan terjadi setiap saat. Ketika Jepang datang menduduki negeri jajahan bangsanya, Hindia Belanda, Indonesia, Mischa bersama orang tuanya menjadi bagian dari 300.000 orang Belanda atau campuran yang segera setelah itu berhadapan dengan kekuatan baru yang menjajah pula.   

Mischa sebagai gadis cilik.
Mischa de Vreede lahir di Batavia pada 17 September 1936. Nama baptisnya Henny, tapi diusia 18 tahun ia mengubah namanya menjadi Mischa. Ayah dan ibunya asli keturunan Belanda. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya Erik lahir pada 3 Mei 1935 di Manado. Adiknya lahir di Medan. 

Ayah Mischa datang ke Indonesia untuk bekerja sebagai pendeta. Nama lengkapnya, Ernst Anton Adriaan de Vreede, seorang pendeta Indische Kerk. Istri pertama de Vreede bernama Henny Bomers, meninggal di Ambon pada 30 Oktober 1926. Istri keduanya bernama Lena Cornelia Varekamp meninggal di Belanda pada 16 Mei 1984. Lena Cornelia Varekamp, ibu Mischa, kakak dan adiknya, pada tahun 1934 adalah ​​guru dan kepala sekolah di sekolah perempuan Kaaten, Tomohon. Demikian tercatat dalam arsip online keluarga de Vreede.

Tahun 1934 Ernst Anton Adriaan de Vreede atau biasa disingkat  E.A.A. de Vreede menjadi ketua sinode Gereja Masehi Indjili Minahasa, gereja yang bersinode sendiri pada 30 September 1934. Ayah Mischa, menjadi Predikant-Voorzitersche di Tomohon sejak tahun 1928. Menurut M.L. Matindas, A. Lumopa, A.F. Parengkuan, dkk dalam Sejarah Misi Protestan Masuk Tomohon, terbit tahun 1989, kehadiran de Vreede di Tomohon sehubungan dengan adanya konflik antara pimpinan Indische Kerk dengan petugas-petugas NZG.

Dalam upaya penyelesaian konflik tersebut, langkah lain yang ditempuh adalah penyusunan reglement atau peraturan majelis jemaat. “Reglement ini disusun oleh Konperensi Hulppredikers diketuai oleh Dr. E.A.A. de Vreede,” tulis Matindas, Lumopa, Parengkuan, dkk.

Di Minahasa, terutama di lingkungan GMIM, E.A.A. de Vreede tercatat dalam sejarah gereja sebagai ketua sinode pertama. Setelah menyelesaikan tugasnya di Minahasa pada tahun 1935, de Vreede diangkat oleh Kerkbestuur Indische Kerk menjadi Sekretaris Kerkebestuur di Batavia. Ia bersama keluarga pun pindah ke Batavia (sekarang Jakarta). Dari Batavia, de Vreede kemudian ditugaskan ke Medan sampai invasi dan pendudukan Jepang.

Sebelum Jepang menguasai Hindia Belanda atau Indonesia, ayah Mischa telah mempunyai firasat, kekuasaan Belanda di  negeri jajahannya ini tidak lama lagi akan berakhir. “Dia adalah seorang pendeta dan anggota jemaat yang datang untuk meminta bantuan rohani setelah Pearl Harbor, kadang-kadang menangis, saya mendengar dia berkata lagi dan lagi: 'Ini adalah akhir dari Belanda di Hindia,' tulis Mischa dalam Herinneringen aan Indië. Over schuld en spijt, ‘En nu is het oorlog’, 7 Juni 2017.

Ketika Jepang melakukan invansi dan menduduki Indonesia tahun 1942, usia Mischa kira-kira 7 tahun. Selama pendudukan Jepang sampai tahun 1945 semua orang Belanda ditahan oleh pemerintah militer Jepang. Keluarga Mischa ditahan di sebuah kamp tawanan di Medan. Di medan lahir adiknya Matthijs.

Seorang anak perempuan masih berusia 7 tahun hidup dalam kamp tawanan, ini tentu meninggalkan trauma yang mendalam. Di usia senja, Mischa mengenang kisah memiluhkan itu.

“Saya berusia tujuh tahun dan Blok D di kamp Pulu Brayan harus pindah ke Glugur. Kami sering kebanjiran: air lumpur cokelat, setinggi lutut untuk orang dewasa tetapi sangat berbahaya bagi seorang anak,” tulis Mischa dalam Niet Huilen Natuurlijk, 9 augustus 2016.

Di kamp tawanan itu, ayah Mischa ditempatkan di blok khusus laki-laki dewasa, ibunya di blok perempuan. Erik dan dia diblok lain. Sementara adik mereka Thijsje tinggal bersama seorang perempuan yang disebutnya 'bibi' Dien bersama dua putranya di blok lain.

“Tidak ada toilet, tidak ada air mengalir dan tidak ada listrik,” Mischa menggambarkan kesulitan mereka hidup di kamp itu.

Ketika tentara sekutu berhasil menguasai Hindia Belanda, orang-orang Belanda yang ditawan oleh pemerintah militer Jepang, termasuk keluarga Mischa dibebaskan. Tanggal 1 Maret 1946, sesudah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, keluarga Mischa kembali ke Belanda. Negeri kelahiran orang tuanya, tapi bagi Mischa, kakaknya Erik dan adik mereka, itu adalah negeri ‘asing’.

Mischa di tahun 1959.
Di Belanda, sejak tahun 1957 Mischa memilih jalan hidup menjadi penulis. Dia menikah dua kali dan menjadi ibu dari Catelijne van Faassen (1956) dan Tobias Thomas Oudejans (1962), demikian tertulis pada blognya. Mischa terkenal sebagai pengarang perempuan Belanda.

Tahun 1995, di usianya yang ke 59, di bulan Agustus dalam suasana perayaan hari proklamasi ke 50 tahun, dia datang ke Indonesia. Mischa kemudian menulis buku berjudul Selamat Merdeka, Gezenden Vrijheid. Tahun 2013, Yayasan Obor Pustaka Indonesia menerbitkan buku itu dengan judul, Selamat Merdeka, Kemerdekaan yang Direstui.

Buku ini adalah hasil dari kunjungannya ketiga di negeri tempat lahirnya. Toety Heraty, penulis perempuan Indonesia, kolega Mischa dalam pengantar pada buku itu mengatakan, tapi kunjungan ketiga ini merupakan suatu obsesi. Ia cinta Indonesia. Ia menghayati Selamat Merdeka dan ingin meliput saat perjuangan kemerdekaan.



“Di satu pihak ikut menjiwai, merasa memahami segalanya, di lain pihak merasa asing, ‘mantan penjajah’ tidak tahu apa-apa,” tulis Toety Heraty.



Mischa sendiri, mendahului bukunya itu dengan sebuah penegasan mengenai ‘nilai kemerdekaan’. “Nilai kebebasan dan kemerdekaan, yang tetap sama bagi manusia masa lalu maupun masa kini, di sini dan di manapun. Singkat kata: Selama Merdeka!” kata Mischa. 



Sudahkah hari proklamasi kemerdekaan Indonesia yang setiap tahun dirayakan dengan gegap gempita bernilai kebebasan dan kemerdekaan sesungguhnya? Ini pertanyaan yang sangat mendalam dari seorang Mischa. Dialah perempuan yang terlempar kembali ke negeri leluhurnya, Belanda oleh karena kekuatan baru datang berkuasa, Jepang ke negeri seribu pulau yang kelak bernama Indonesia ini. Tempat lahirnya.





_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

No comments :

Post a Comment