Skip to main content

Dari Mapalus, Dansa Hingga 'Maso Minta' dan ‘Tulis Nama’

Pengantin Perempuan/Bruid Minahasa. Foto: Tropenmuseum
ORANG-orang Minahasa, hingga sekarang, akrab dengan istilah ‘maso minta’, ‘tulis nama’ dan ‘bacaan’. Ini adalah perjalanan kisah cinta muda-mudi di Minahasa yang berujung pernikahan, membentuk rumah tangga. 


Di masa lalu, sekira abad 19 hingga awal abad 20, cinta antara seorang pemuda dan pemudi sering sekali bersemi dalam kerja mapalus.  “Pergaulan antara pemuda dan pemudi di Minahasa boleh dikatakan bebas. Terlalu banyak kesempatan terbuka bagi si pemuda untuk menemukan gadis pilihannya. Mapalus, gotong royong dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan pertanian...memang merupakan yang baik di mana kebanyakan hubungan cinta kasih terjalin,” tulis L. Adam dalam Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa, terjemahan dari tulisannya berjudul Zeden en Gewooonten en het Daarmede Samenhanged Adatrecht van het Minahassiche Volk, termuat pada Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, volume 81 tahun 1925.

Perasaan saling suka sepasang sejoli mulanya dapat terjadi dalam perjalanan bersama pergi ke ladang-ladang untuk melakukan kerja mapalus yang kerapkali jaraknya jauh dari desa. Seorang pemuda melakukan macam-macam cara untuk memikat hati gadis yang dinaksirnya. “Ia membawa cangkulnya, bekerja di sampingnya, mengambil alih sebanyak mungkin bagiannya dalam pekerjaan itu, mengambil kelapa muda dan sagower baginya, sedangkan sebaliknya si gadis dengan memberikan tembakau mengungkapkan cintanya,” ungkap Adam.

Alfred Russel Wallace, yang datang ke Minahasa bulan Juni sampai September 1859 menggambarkan sosok fisik orang-orang Minahasa yang menurutnya, baik laki-laki maupun perempuan sangatlah tampan. “Mereka memiliki kulit cokelat atau kuning, sering mendekati kulit cerah orang Eropa; namun agak pendek perawakannya, gagah, dan tampan, dengan wajah yang ramah dan menyenangkan, dan tetap tampan meski usianya semakin tua, dan dengan rambut panjang, luruh, hitam legam khas ras Melayu,” tulis Wallace. 

Selain bertemu dalam kerja, mapalus, muda-mudi juga bertemu pada pesta-pesta dansa. Biasanya, pesta dansa ini diselenggarakan pada perayaan Malam Penutupan Tahun Baru dan Tahun Baru 1 Januari atau pada Kunci Tahun Baru yang dilaksanakan hari Minggu pertama sesudah hari raya tahun baru.

Menurut Adam, dansa ini menurut irama Eropa, seperti wals, kruispolka, lanciers quadrille, dan lain sebagainya. “Pokoknya, orang Minahasa sangat gemar berdansa,” kata Adam.

Cara seorang pemuda untuk menyatakan cintanya kepada seorang gadis yang dilirik adalah dengan mengutus seorang kenalan kepada si gadis untuk menjajagi apakah cintanya disambut. “Orang-orang muda yang lebih modern menyatakan cintanya dengan surat,” kata Adam.

Pada kisah-kisah cinta tertentu, sering terjadi sebaliknya, si utusan itulah yang menjadi kekasih dari si pemuda yang mengutusnya. “Kadang-kadang ‘perantara cinta’ yang cerdik itu berhasil menggunakan muslihat dengan cerdiknya, sehingga ia sendirilah menjadi gadis pilihan pemuda itu,” beber Adam. 

Masa pacaran biasanya diisi dengan, misalnya si pemuda bekerja pada calon mertuanya sebagai cara untuk mengambil hati. Secara rutin si pemuda mengunjungi kekasihnya, lebih sering pada malam hari. ‘Pertemuan-peremuan rahasia’ pada malam hari yang sering berakhir dengan kehamilan bagi si gadis’ ditemukan pada beberapa kasus, jelas Adam.

Jika cinta si pemuda disambut sang gadis, dan sesudah melewati masa pacaran, maka tahap berikutnya giliran dari orang tua si pemuda yang akan memberitahukan kepada orang tua si gadis mengenai keinginan anaknya untuk menikah dengan anak mereka. Biasanya, menurut Adam, orang tua si pemuda akan menggunakan jasa seorang perantara yang di wilayah Tombulu  disebut dengan istilah waluk, di wilayah Langowan disebut pabusein, di wilayah Tonsea disebut waduk, di wilayah Tondano disebut rereo’an. 

Tahap setelahnya adalah ‘maso minta’ yang menurut Adam dalam catatan penjelasnya, istilah Melayu ini sebelumnya tidak dikenal di Minahasa. Termasuk yang dibicarakan dalam ‘maso minta’ adalah segala persiapan untuk hari perkawinan. Setelah itu, masuk ke tahap ‘antar harta’ berupa mas kawin. Dalam bahasa Tombulu, Tonsea, dan Tondano’ mas kawin disebut dengan istilah roko’.

Setelah semua tahap itu dilewati, maka datanglah hari perkawinan. Perkawinan gereja di Minahasa dilaksanakan sejak tahun 1861 berdasarkan UU Perkawinan No. 38. Perkawinan yang sah menurut hukum adalah dengan melalui proses pencatatan di hadapan kontrolir pemerintah dalam negeri. Ini yang dalam bahasa Melayu disebut dengan istilah ‘tulis nama’. Setelah melalui ‘tulis nama’ maka dua kali berturut-turut pada hari Minggu akan dibacakan atau diumumkan dari mimbar perkawinan yang sudah dilaksanakan di hadapan kontrolir tersebut, yang hingga kini istilah ini masih sering dipakai, yaitu ‘bacaan’. Setelah itu, dilanjutkan dengan perkawinan di gereja oleh pendeta, yang dikenal dengan istilah ‘pemberkatan’.

Adam menuliskan, setelah mas kawin sudah diantarkan kepada keluarga mempelai perempuan dan semuanya sudah beres, maka surat-surat kawin diselesaikan dengan kepala desa. “Pada hari Kamis dilangsukanlah ‘tulis nama’, pencatatan perkawinan di hadapan kontrolir,” urai Adam.

Bagaimana kira-kira keramaian ini? Adam menggambarkan begini, “Orang-orang mengendari dokar dengan menggenakan pakaian Eropa – sang pria memakai jas hitam resmi (rok), para wanita dengan pakaian pengantin Eropa yang paling bagus – menuju ke kantor kontrolir.”

Pesta sesudah pencatatan dan pemberkatan biasanya dilaksanakan pada malam hari. Makan-makan, minum-minum sudah pasti. Kebanyakan juga diisi dengan menyanyi dan dansa-dansi.

___________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis. 

Makase banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...