BULAN Agustus tahun 1950, Presiden Soekarno datang ke
Minahasa. Rencananya, ia akan mengunjungi beberapa tempat di Tanah Minahasa.
Pemerintah daerah dan rakyat di Minahasa sangat antuasias menyambut sang
presiden. Namun, setelah makan malam pada hari pertama kedatangannya, Presiden
Soekarno terkena demam. Agenda keliling tanah Minahasa pun batal.
Koran Algemeen Indisch dagblad, dalam
laporannya edisi 04 Agustus 1950 memberitakan, rencana perjalanan Presiden
Soekarno tidak dapat dilanjutkan karena presiden mengalami demam. Beberapa
tempat yang akan dikunjungi oleh presiden adalah Tomohon, Tondano
Tonsea-Airmadidi dan Bitung.
Bersama Presiden waktu itu tiga orang menteri. Menteri
Kesehatan Dr. Johannes Leimena, Menteri Sosial Kosasih Purwanegara dan Menteri
Penerangan Arnold Mononutu.
Padahal, tulis Algemeen Indisch dagblad, pemerintah
dan masyarakat Minahasa sangat antusias bertemu dengan presiden. Sejumlah
pertunjukan telah disiapkan, antara lain, musik bambu dan paduan suara.
Ketiga menteri yang ikut mendampingi akhirnya
menggantikan kehadiran sang presiden. “Ketika menteri Leimena dan Kosasih
berada di Kinilow, ribuan orang sudah berbaris di pinggiran jalan. Tapi mereka
kecewa ketika orang di dalam mobil berkata, ‘ini bukan presiden,’” tulis Algemeen
Indisch dagblad.
Di Tomohon ribuan orang sudah berdiri di pinggiran
jalan menunggu Presiden Soekarno lewat. Orang-orang dengan penuh semangat dan
bersorak menyambut kehadiran orang-orang penting yang mereka sangka presiden
itu. “Sebuah spanduk bertuliskan, “Bung Karno, Presidenku". Rakyat pun
kecewa ketika tahu bahwa di dalam mobil bukan presiden yang mereka rindu itu.
Di Tondano, rombongan berhenti sejenak untuk
menyaksikan pertunjukan tarian perang ‘Tjakalele' yang dipersiapkan menyambut
sang presiden. Orang-orang muda Tondano turut menyambut dengan bendera
merah-putih di tangan, sambil berkata, “Mana Bung Karno?"
Akhir Januari tahun 1953 Soekarno datang lagi ke
Minahasa. Dari Manado ia dan rombongan melewati Tomohon lalu ke Amurang
dan balik lagi ke Manado. De Nieuwsgier edisi 5 Februari 1953
melaporkan, dalam kunjungan tersebut berkali-kali Soekarno menegaskan kewajiban
terhadap tanah air, nasionalisme dan persatuan.
Dalam kunjungan kali ini, tulis De Nieuwsgier, rakyat
dapat berjumpa langsung dengan presiden. Beberapa kali mobil yang ditumpangi
presiden harus berhenti menyaksikan pertunjukan rakyat. Sepertinya, kerinduan
rakyat setelah gagal bertemu pada kunjungan sebelumnya terobati.
Algemeen Indisch Dagblad edisi 3 Februari Febuari 1953 memberitakan, kunjungan kali ini
adalah untuk ketiga kalinya. Kunjungan pertama tahun 1950 dan kedua tahun 1951.
Seperti antuasiasme yang ditunjukkan oleh rakyat Minahasa pada kunjungan
sebelumnya, demikian juga kunjungan kali ini. “Iring-iringan rombongan presiden
hampir tidak dapat menembus orang banyak,” tulis Algemeen Indisch Dagblad.
Bersama presiden turut serta Menteri Penerangan Arnold
Mononutu dan Menteri Perhubungan Djoeanda Kartawidjaja. Di Manado,
Presiden Soekarno bersama kedua menteri yang mendampinginya menghadiri
sebuah pertemuan yang dihadiri 3.000 orang. Di hadapan ribuan orang ini,
Soekarno berpidato dan mengatakan, untuk pemenuhan cita-cita kebebasan sejati,
perlu bekerja keras dan keras, tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi
hari.
"Saya pergi ke Sumatra
Selatan tiga bulan yang lalu dan saya baru saja datang dari Kalimantan Selatan.
Di sana, seperti di banyak daerah lain
negeri ini, masih ada bagian hutan yang tak ada habisnya. Semua pekerjaan kami
harus membuka lahan ini dan mengembangkannya, sehingga kemakmuran dapat dicapai
untuk setiap orang Indonesia,” kata Soekarno seperti dikutip Algemeen
Indisch Dagblad.
Di luar tempat pertemuan itu, beberapa poster unjuk rasa dari beberapa kelompok massa tampak dibentangkan.
Ketika Soekarno berkunjung di tahun itu, pembangunan
pelabuhan modern di Bitung baru dimulai. Soekarno melakukan penancapan
konstruksi baja untuk gudang pertama pelabuhan tersebut. Total anggaran
proyek pembangunan pelabuhan sebesar Rp. 45.000.000 .-.
Empat tahun berikutnya, tahun 1957 ketika Soekarno
berkunjung lagi ke Minahasa suasana sudah sangat berubah. Tanggal 2 Maret
sebelumnya, Ventje Sumual dan 50-an orang lainnya baru saja memproklamasikan
Perjuangan Semesta (Permesta) di Makassar. Ketegangan antara pusat dan Minahasa
mulai terasa.
Kunjungan itu tepatnya tanggal 30 September 1957.
Presiden Soekarno dan rombongan mengunjungi Tomohon dan Tondano, setelah
itu ia kembali lagi ke Menado pada hari yang sama. Dalam perjalanan menuju ke
Tomohon, Presiden singgah sebentar di Pineleng dan Kinilow.
Algemeen Indisch Dagblad edisi 1 Oktober1957 memberitakan, pada pertemuan di Tomohon sekira 30.000
orang hadir dan mendengar pidato presiden. “Bahwa apa yang terjadi pada
17 Agustus 1945, hanya merupakan bagian kecil dari proses perjuangan besar
rakyat Indonesia untuk kemerdekaannya. Perjuangan ini harus didukung oleh
persatuan yang lebih kuat dari rakyat, agar dapat mewujudkan pembangunan di
semua bidang,” kata Presiden kepada massa yang berkumpul seperti dikutip Algemeen
Indisch Dagblad.
Bersama presiden waktu itu adalah gubernur militer
Utara dan Sulawesi Tengah, Mayor Somba dan kepala daerah Minahasa,
Lawrence F. Saerang, dua tokoh Permesta itu. Sambutan rakyat Minahasa terhadap
presiden, meski sudah dalam suasana tegang karena baru saja dicetuskan
proklamasi dan piagam Permesta yang menuntut keadilan ekonomi dan politik,
tetapi tetap penuh antusias.
“Selama bermil-mil, orang-orang berbaris melambaikanbendera
merah-putih. Di Kinïlow, presiden dipaksa oleh penduduk untuk berbicara secara
singkat,” tulis Algemeen Indisch Dagblad.
Di Tomohon presiden Soekarno sempat berbicara di
mimbar gereja Sion, gereja yang dibangun abad 19. Bertepatan hari ini adalah
hari bersejarah bagi Gereja Masehi Injili Minahasa, yaitu hari peringatan
bersinodenya. Ketika keluar dari gedung gereja, Presiden didampingi oleh Ketua
Sinode GMIM, Ds. A.Z.R. Wenas, begitu tampak pada sebuah foto hitam putih yang
merekam kedatangannya.
Kurang dari 5 bulan kemudian, pada Sabtu Februari
1958, tentara pusat membom Manado, lalu kemudian Tomohon atas perintah sang
Panglima Tertinggi, Soekarno. Presiden yang setiap berkunjung ke Minahasa
disambut dengan penuh antusias oleh rakyat di sini. Maka dimulai masa
pergolakan, masa perang di Minahasa.
Pada tahun 1966, dalam
pidatonya pada pelantikan dan pengambilan sumpah menteri/panglima
Angkatan Udara, Komodor Udara Roosmin Nusjadin di Istana Negara Jakarta 1 April
1966, Presiden Soekarno, seperti termuat dalam Bung Karno: Masalah
Pertahanan-Keamanan terbit 2010, berkata, “Apa yang kita lihat, bukan
Republik Indonesia Collapse, tetapi malahan pemberontakan PRRI/Permesta
itu hancur-hancur, dan Republik Indonesia malahan timbul kembali, lebih kuat,
lebih sentosa, lebih tegap, lebih sebagai kukatan tadi kuat sentosa daripada
dulu.”
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.
Makase banyak.
No comments :
Post a Comment