Friday, August 10, 2018

Soekarno yang Dirindu, Soekarno yang Bikin Kecewa

BULAN Agustus tahun 1950, Presiden Soekarno datang ke Minahasa. Rencananya, ia akan mengunjungi beberapa tempat di Tanah Minahasa. Pemerintah daerah dan rakyat di Minahasa sangat antuasias menyambut sang presiden. Namun, setelah makan malam pada hari pertama kedatangannya, Presiden Soekarno terkena demam. Agenda keliling tanah Minahasa pun batal. 

Koran Algemeen Indisch dagblad, dalam laporannya edisi 04 Agustus 1950 memberitakan, rencana perjalanan Presiden Soekarno tidak dapat dilanjutkan karena presiden mengalami demam. Beberapa tempat yang akan dikunjungi oleh presiden adalah Tomohon, Tondano Tonsea-Airmadidi dan Bitung.

Bersama Presiden waktu itu tiga orang menteri. Menteri Kesehatan Dr. Johannes Leimena, Menteri Sosial Kosasih Purwanegara dan Menteri Penerangan Arnold Mononutu.

Padahal, tulis Algemeen Indisch dagblad, pemerintah dan masyarakat Minahasa sangat antusias bertemu dengan presiden. Sejumlah pertunjukan telah disiapkan, antara lain, musik bambu dan paduan suara.

Ketiga menteri yang ikut mendampingi akhirnya menggantikan kehadiran sang presiden. “Ketika menteri Leimena dan Kosasih berada di Kinilow, ribuan orang sudah berbaris di pinggiran jalan. Tapi mereka kecewa ketika orang di dalam mobil berkata, ‘ini bukan presiden,’” tulis Algemeen Indisch dagblad.

Di Tomohon ribuan orang sudah berdiri di pinggiran jalan menunggu Presiden Soekarno lewat. Orang-orang dengan penuh semangat dan bersorak menyambut kehadiran orang-orang penting yang mereka sangka presiden itu. “Sebuah spanduk bertuliskan, “Bung Karno, Presidenku". Rakyat pun kecewa ketika tahu bahwa di dalam mobil bukan presiden yang mereka rindu itu.

Di Tondano, rombongan berhenti sejenak untuk menyaksikan pertunjukan tarian perang ‘Tjakalele' yang dipersiapkan menyambut sang presiden. Orang-orang muda Tondano turut menyambut dengan bendera merah-putih di tangan, sambil berkata, “Mana Bung Karno?"  

Akhir Januari tahun 1953 Soekarno datang lagi ke Minahasa.  Dari Manado ia dan rombongan melewati Tomohon lalu ke Amurang dan balik lagi ke Manado. De Nieuwsgier edisi  5 Februari 1953 melaporkan, dalam kunjungan tersebut berkali-kali Soekarno menegaskan kewajiban terhadap tanah air, nasionalisme dan persatuan.  

Dalam kunjungan kali ini, tulis De Nieuwsgier, rakyat dapat berjumpa langsung dengan presiden. Beberapa kali mobil yang ditumpangi presiden harus berhenti menyaksikan pertunjukan rakyat. Sepertinya, kerinduan rakyat setelah gagal bertemu pada kunjungan sebelumnya terobati.

Algemeen Indisch Dagblad  edisi 3 Februari Febuari 1953 memberitakan, kunjungan kali ini adalah untuk ketiga kalinya. Kunjungan pertama tahun 1950 dan kedua tahun 1951. Seperti antuasiasme yang ditunjukkan oleh rakyat Minahasa pada kunjungan sebelumnya, demikian juga kunjungan kali ini. “Iring-iringan rombongan presiden hampir tidak dapat menembus orang banyak,” tulis Algemeen Indisch Dagblad.

Bersama presiden turut serta Menteri Penerangan Arnold Mononutu dan Menteri Perhubungan Djoeanda Kartawidjaja. Di Manado,  Presiden Soekarno bersama kedua menteri yang mendampinginya menghadiri sebuah pertemuan yang dihadiri 3.000 orang. Di hadapan ribuan orang ini, Soekarno berpidato dan mengatakan, untuk pemenuhan cita-cita kebebasan sejati, perlu bekerja keras dan keras, tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari.

"Saya pergi ke Sumatra Selatan tiga bulan yang lalu dan saya baru saja datang dari Kalimantan Selatan. Di sana, seperti di banyak daerah lain negeri ini, masih ada bagian hutan yang tak ada habisnya. Semua pekerjaan kami harus membuka lahan ini dan mengembangkannya, sehingga kemakmuran dapat dicapai untuk setiap orang Indonesia,” kata Soekarno seperti dikutip Algemeen Indisch Dagblad.

Di luar tempat pertemuan itu, beberapa poster unjuk rasa dari beberapa kelompok massa tampak dibentangkan.  

Ketika Soekarno berkunjung di tahun itu, pembangunan pelabuhan modern di Bitung baru dimulai. Soekarno melakukan penancapan konstruksi baja untuk gudang pertama pelabuhan tersebut.  Total anggaran proyek pembangunan pelabuhan sebesar Rp. 45.000.000 .-.

Empat tahun berikutnya, tahun 1957 ketika Soekarno berkunjung lagi ke Minahasa suasana sudah sangat berubah. Tanggal 2 Maret sebelumnya, Ventje Sumual dan 50-an orang lainnya baru saja memproklamasikan Perjuangan Semesta (Permesta) di Makassar. Ketegangan antara pusat dan Minahasa mulai terasa.

Kunjungan itu tepatnya tanggal 30 September 1957.  Presiden Soekarno dan rombongan mengunjungi Tomohon dan Tondano, setelah itu ia kembali lagi ke Menado pada hari yang sama. Dalam perjalanan menuju ke Tomohon, Presiden singgah sebentar di Pineleng dan Kinilow. 

Algemeen Indisch Dagblad edisi 1 Oktober1957 memberitakan, pada pertemuan di Tomohon sekira 30.000 orang hadir dan mendengar pidato presiden.  “Bahwa apa yang terjadi pada 17 Agustus 1945, hanya merupakan bagian kecil dari proses perjuangan besar rakyat Indonesia untuk kemerdekaannya. Perjuangan ini harus didukung oleh persatuan yang lebih kuat dari rakyat, agar dapat mewujudkan pembangunan di semua bidang,” kata Presiden kepada massa yang berkumpul seperti dikutip Algemeen Indisch Dagblad.   

Bersama presiden waktu itu adalah gubernur militer Utara dan Sulawesi Tengah, Mayor Somba dan kepala daerah  Minahasa, Lawrence F. Saerang, dua tokoh Permesta itu. Sambutan rakyat Minahasa terhadap presiden, meski sudah dalam suasana tegang karena baru saja dicetuskan proklamasi dan piagam Permesta yang menuntut keadilan ekonomi dan politik, tetapi tetap penuh antusias.

“Selama bermil-mil, orang-orang berbaris melambaikanbendera merah-putih. Di Kinïlow, presiden dipaksa oleh penduduk untuk berbicara secara singkat,” tulis Algemeen Indisch Dagblad.
 
Di Tomohon presiden Soekarno sempat berbicara di mimbar gereja Sion, gereja yang dibangun abad 19. Bertepatan hari ini adalah hari bersejarah bagi Gereja Masehi Injili Minahasa, yaitu hari peringatan bersinodenya. Ketika keluar dari gedung gereja, Presiden didampingi oleh Ketua Sinode GMIM, Ds. A.Z.R. Wenas, begitu tampak pada sebuah foto hitam putih yang merekam kedatangannya.

Kurang dari 5 bulan kemudian, pada Sabtu Februari 1958, tentara pusat membom Manado, lalu kemudian Tomohon atas perintah sang Panglima Tertinggi, Soekarno. Presiden yang setiap berkunjung ke Minahasa disambut dengan penuh antusias oleh rakyat di sini. Maka dimulai masa pergolakan, masa perang di Minahasa.

Pada tahun 1966, dalam pidatonya pada pelantikan dan pengambilan sumpah  menteri/panglima Angkatan Udara, Komodor Udara Roosmin Nusjadin di Istana Negara Jakarta 1 April 1966, Presiden Soekarno, seperti termuat dalam Bung Karno: Masalah Pertahanan-Keamanan terbit 2010, berkata, “Apa yang kita lihat, bukan Republik Indonesia Collapse, tetapi malahan pemberontakan PRRI/Permesta itu hancur-hancur, dan Republik Indonesia malahan timbul kembali, lebih kuat, lebih sentosa, lebih tegap, lebih sebagai kukatan tadi kuat sentosa daripada dulu.”  


______________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis. 

Makase banyak.



No comments :

Post a Comment