Skip to main content

Buku-buku elektronik tentang sejarah dan budaya Minahasa serta teologi

Jika berminat untuk memperoleh buku-buku berikut, silakan hubungi nomor WA: 082187097616. Tersedia hanya dalam bentuk e-book.


Walian dan Tuang Pandita

Buku ini membahas tentang kontak dan perjumpaan antara sistem dan praktek religi Minahasa dengan kekristenan melalui kehadiran para zendeling pada abad ke-19, terutama sejak tahun 1830-an hingga tahun 1890-an. Periode ini terutama berkaitan dengan kehadiran para zendeling utusan badan misi NZG yang sudah sejak zaman Joseph Kam (1817/1819), lalu Hellendoorn (1829), dan beberapa zendeling lainnya, lalu terutama sejak kedatangan Johann Gottlieb Schwarz dan Johann Frederik Riedel (1831) hingga masa penyerahan jemaat-jemaat yang dipelihara oleh para zendeling ke Indische Kerk (1875-1885) dan masa setelahnya hingga jelang akhir abad ke-19.

 Gereja yang Berpijak dan Berpihak

Buku ini disajikan dalam 10 bab yang ditutup dengan sebuah refleksi teologis (meski sebenarnya keseluruhan buku adalah refleksi teologis). Tema-tema yang disorot dan diulas bermacam-macam. Tapi, ia mengungkapan konteks gereja, di sini dan kini. Sebenarnya, lebih banyak lagi tema yang menarik diangkat, tapi setidaknya dari 10 tema ini sudah bisa menggambarkan apa yang menjadi fokus perhatian dan dasar pijakan refleksi dalam buku ini.


Endo Wangko

Buku ini menampilkan catatan-catatan sejarah dan refleksi seputar hal yang disebutkan di awal, yaitu perjumpaan antara kekristenan dengan keminahasaan yang mewujud dalam bentuk munculnya tradisi keagamaan yang khas dan unik. Terutama pada buku ini adalah tentang hal yang penting dalam Kekristenan di Minahasa, yaitu perayaan Natal dan Tahun Baru.


Kebudayaan Masa Antara


Tulisan-tulisan dalam buku ini mendeskripsikan dan merefleksikan perubahan-perubahan yang terjadi, mulai dari soal minyak goreng hingga tren angkot, musik, film, dan tradisi mudik. Inilah masa antara: secara psikologis diingat secara romantik, secara politik dikenang secara traumatis, secara sosial dihubungkan dengan represi yang menenangkan, secara kultural ini adalah era semua serba alternatif. Hal-hal ini yang mungkin dapat diidentifikasi sebagai antara lain fenomena kebudayaan masa antara.

Kisah-kisah Kecil Beberapa Tokoh dalam Sejarah Minahasa

Buku ini menyajikan kisah-kisah kecil tigabelas tokoh yang berasal dari Minahasa atau yang pernah hidup dan berinteraksi di Minahasa. Tokoh-tokoh ini ada dalam sejarah Minahasa sejak akhir abad ke-19 hingga abad ke-20. Kolonialisme telah membuat Minahasa menjadi tempat berjumpanya orang-orang dari beragam latar belakang suku, agama dan ras. Minahasa telah menjadi konteks ruang dan waktu dalam sejarah. Masing-masing mereka punya kisah.  

Perempuan Minahasa Melawan Kolonialisme: Perjuangan Maria Walanda Maramis dan PIKAT di Bidang Pendidikan dan Politik

Buku ini terdiri dari empat bab. Bab pertama berisi deskripsi singkat biografi Maria Walanda Maramis dalam konteks Minahasa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Bab kedua berisi ulasan tentang beberapa perubahan yang terjadi di Minahasa, terutama berkaitan dengan kedudukan perempuan dan keluarga serta kehadiran Kristen yang turut mempengaruhi perubahan tersebut. Kemudian pada bab ini juga dibahas kehadiran PIKAT sebagai wadah gerakan perempuan Minahasa. Bab ketiga berisi deskripsi dan analisis dua hal yang menjadi keprihatinan Maria Walanda Maramis dan PIKAT, yaitu hak pendidikan dan hak politik (hak pilih) bagi kaum perempuan. Analisis terhadap kedua hal ini dilakukan dengan pembacaan secara rekonstruktif yang mendudukkannya pada konteks kolonialisme. 

FESTIVAL KUNCIKAN DALAM DISKURSUS KRISTEN KULTURAL MINAHASA

Tradisi festival Kuncikan yang di dalamnya menampilkan seni pertunjukan rutin dilaksanakan setiap awal tahun oleh masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara. Buku ini mendeskripsikan, menganalisis, dan merefleksikan tradisi Kuncikan atau perayaan menyambut Tahun Baru sebagai festival bernuansa sosio-kultural-religi yang khas di Minahasa. Beberapa pertunjukan dalam festival Kuncikan yang akan dideskripsikan pada buku ini adalah “Wolay” di Desa Poopo, “Yaki-Yaki” di Kelurahan Ranomea, Amurang, "Figura" di Kota Manado, dan sebuah ritual yang dilaksanakan setiap awal tahun oleh masyarakat di desa Laikit dan Dimembe. Narasi dan fenomena festival Kuncikan tersebut kemudian dianalisis secara antropologis dan sosiologis, dan direkonstruksi secara teologis dan pedagogis Kristiani atau Pendidikan Agama Kristen (PAK). 

Sejarah dan Tradisi Koeliner (di) Minahasa

Melalui beberapa artikel dalam buku ini, kita akan memperoleh informasi dan pengetahuan mengenai sejarah dan budaya Minahasa dari tradisi kuliner yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya. Beberapa jenis masakan yang disebutkan dalam buku ini adalah semacam “sampel” untuk mengetahui banyak hal terkait dengan tradisi dan budaya kuliner. Narasi-narasi yang ditampilkan adalah “teks kebudayaan” Minahasa untuk mengantar kita menafsir sejarah dan budaya bangsa ini yang lebih luas.  





Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun denga

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika semua disi

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero