Monday, December 30, 2019

J.A. Mattern dan Awal Kekristenan di Tomohon



Rumah Jaga dan pemandangan negeri di Minahasa abad 19

Zendeling J.A. Mattern dikenal sebagai perintis kekristenan di Tomohon, tapi orang Tomohon yang menjadi Kristen sudah ada sebelum kedatangannya


JUNI 1838 datang seorang zendeling dan istrinya di distrik Tomohon yang juga melayani di distrik Sarongsong. Namanya Johan Adam Mattern. Dia diutus oleh NZG mulanya khusus untuk mengurus percetakan.  

Mattern lahir di Spiers pada tahun 1807. Istri pertamanya yang datang bersama dia ke Tomohon bernama Jacoba Oudshoff.

Ia menempuh pendidikan sebagai zendeling selang tahun 1829 sampai tahun 1832. Pertama-tama di Berlin lalu dilanjutkan di Rotterdam. Setelah selesai dengan pendidikannya ia diutus oleh NZG ke Hindia Belanda. Tahun 1835 ia tiba di Manado.
Setelah setahun di Tomohon, Mattern dan keluarga merasa bahagia karena sudah dapat memiliki rumah yang bagus. Keluarga ini sudah bisa menerima tamu di rumah itu.

"Dengan perasaan bahagia dan bersyukur kami dapat pindah ke rumah baru kami hari ini. Interior rumah kami dipuji oleh semua orang, dan kami sangat berterima kasih kepada Dewan, yang telah memberi kami apa yang dibutuhkan untuk pembangunan,” tulis Mattern  pada 17 Agustus 1839 seperti termuat pada buletin bulanan NZG, Maandberigt Van Het Nederlandsche Zendelinggenootschap, edisi bulan Juni tahun 1841.

Rumah mereka yang baru itu terdiri dari dua lantai. Bagian atasnya berfungsi sebagai rumah. Lantai pertama untuk mesin cetak dan kegiatan percetakan.

Dalam catatan hariannya Juli 1839 hingga Juni 1840 yang termuat pada buletin bulanan NZG itu,  Mattern menulis bahwa pada bulan Januari 1840 ia telah memulai menjalankan katekisasi bagi sepuluh orang muda, termasuk para guru di Tomohon dan Sarongsong. Tapi, tulis Mattern, jumlah itu segera berkurang menjadi hanya tujuh orang.

Mattern dan istrinya berhadapan dengan orang-orang di Tomohon dan Sarongsong yang masih kuat mempraktekkan foso atau ritual agama Minahasa.

“Pada bulan ini orang-orang lagi sibuk dengan festival tahunan, lebih dari tahun lalu. Saya tersentuh ketika saya melihat bahwa bagi sebagian orang kata-kata saya tidak memiliki pengaruh sedikit pun,” tulis Mattern pada bulan November 1839. 

Baik Mayor di Tomohon, maupun Mayor Sarongsong keduanya adalah imam kepala yang memimpin ritual tersebut. Kata Mattern meski kedua mayor ini meski belum berminat dengan agama Kristen tapi mereka telah mendorong beberapa anak mudanya untuk menjadi siswa di sekolah yang dipimpin oleh Mattern.

“Namun, beberapa orang muda, yang juga didorong oleh sang Mayor untuk berpartisipasi, tetap teguh pada apa yang saya dengar, dan bahkan mengunjungi pertemuan kami sejak saat itu dengan lebih setia,” tulis Mattern.  

"Pada bulan Desember (tahun 1839), Mattern menemukan kesempatan  untuk memberikan Baptisan Suci kepada enam murid yang telah tinggal bersamanya selama sekitar satu tahun,” demikian tercatat pada buletin itu.  

Pada 9 Februari 1840 Mattern kembali membaptis empat orang. Mereka adalah remaja-remaja yang telah belajar membaca bersama istri Mattern dan dua remaja lagi yang lain.
Pada bulan Januari 1840, Mayor Tomohon memintanya untuk mendirikan sekolah di dua negeri di distriknya, Tataaran dan Panggolombian, yang belum memiliki sekolah. Demikian juga mayor Sarongsong, meminta dia untuk mendirikan sekolah di distriknya. 

Beberapa muridnya yang kelak menjadi guru dan penolong di masa N. Ph. Wilken adalah S. Elias, C. Wohon, J. Tumbelaka, A. Wayong. Tercatat di majalah NZG (Mededeelingen tahun 1868 ) guru yang membantunya waktu itu adalah E. Lasut.     

Mattern kemudian menghadapi situasi sulit. Pada satu pihak ia senang karena ada permintaan mendirikan sekolah-sekolah lebih banyak, namun masalah lain adalah ketersediaan tenaga.  Hal lain yang cukup berat dia alami adalah kematian istrinya Jacoba Oudshoff pada Oktober 1840. Jacoba memiliki peran besar dalam pekerjannya sebagai zendeling dan juga tugas menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Melayu dan mencetaknya menjadi buku-buku pelajaran.

Juni 1841 Mattern kemudian menikah lagi dengan Johanna Eleonora Petronella Jungmichel.

Tidak berapa lama dari pernikahan itu dengan banyak tugas yang berat, November 1842 Mattern mengalami sakit yang serius. Ia lalu dirawat di Manado. Tapi, 7 Desember 1842 ia meninggal dunia di usia yang masih muda, 35 tahun. Sesuai pesannya, jenasahnya kemudian di antar ke Tomohon pada 8 Desember untuk dimakamkan di sana bersama istrinya Jacoba. 

“Tanggal 8 Desember jenasahnya dibawa dari Menado ke Tomohon, dan ditemani beberapa teman, termasuk Schwarz dan saudara Wilken dan aku, istrinya dimakamkan di sana, sesuai dengan keinginan almarhum,” tulis Riedel seperti termuat pada buletin bulanan NZG edisi Juli 1843.

Kekristenan di Tomohon Sebelum Mattern
Apakah kekristenan pertama kali diperkenalkan di Tomohon nanti kedatangan Mattern? Sebelum Mattern, J.G. Hellendoorn telah ditempatkan oleh NZG untuk bertugas di Manado. Dia sesekali berkunjung ke pegunungan Minahasa untuk melayani di sana. Para kepala di beberapa walak meminta dia untuk mengirimkan guru-guru. Tidak terdapat informasi bahwa Hellendoorn telah membaptis orang-orang di Tomohon.

Tapi, buletin bulanan NZG, Maandberigt Van Het Nederlandsche Zendelinggenootschap, edisi tahun 1832, No. 11 memuat sebuah laporan perjalanan (yang mungkin berkisar di bulan September tahun 1831) yang menyebutkan:  

"Di Tomohon kami menemukan seorang lelaki yang setelah kembali dan dibaptis dengan pasukan Jawa, telah mendirikan sekolah kecil atas kemauannya sendiri, di mana ia mengajar beberapa anak-anak membaca dan pengetahuan agama Kristen,” tulis laporan tersebut.

Siapa lelaki yang disebut itu? Laporan tersebut tidak menyebut namanya. Tapi memang, sebelum Mattern datang, tahun 1833 di Tomohon sudah berdiri 1 satu sekolah. Di Sarongsong nanti berdiri ketika kurang lebih setahun dia bertugas di sini. Catatan tersebut disebutkan dalam Overzicht Van De Zendingen, Zendingposten, Zendelingen, Onderwijzers en Scholen buku terbitan NZG. Total murid sebanyak 20 orang.
Sangat mungkin yang dimaksud dengan ‘pasukan Jawa’, salah satu petunjuk identitas lelaki yang disebutkan itu menunjuk pada Perang Jawa yang terjadi tahun 1825-1830. Para kepala Minahasa, termasuk di Tomohon telah merekrut pemuda untuk dikirim ke Jawa membantu Belanda dalam perang itu. Mereka disebut ‘pasukan Tulungan’.

Nicolaus Graafland dalam De Minahassa, terbitan tahun 1898 (hal. 87) menyebut dua nama dari Tomohon dan Sarongsong yang menjadi pasukan ‘tulungan’, yaitu Mangulu dan Mandagi. Mereka mendapat gelar ‘kapitein’. Mangulu adalah seorang kepala di bawah mayor Tomohon Mangagantung.

Johann Frederik Riedel dalam laporannya ketika pertama kali mengunjungi pegununan Minahasa bersama Johan Gottlieb Schwarz dan J.G. Hellendoorn mengisahkan pertemuannya dengan seorang bekas pasukan yang dikirim ke Jawa, dan kini ia adalah kepala sekolah.

"Tuan," kata kepala sekolah itu kepada Riedel dalam bahasa Melayu., "Saya tahu betul bahwa Anda memiliki buku orang kulit putih dari mana Anda mendapatkan semua pengetahuan Anda, yang sebenarnya itu adalah dua buku.”

Lelaki itu melanjutkan dan Riedel menyimaknya secara antuasias: “Saya telah melihat dan membaca Perjanjian Baru sendiri, tetapi Perjanjian Lama harus bahkan lebih luar biasa, karena saya telah mendengar bahwa itu menggambarkan penciptaan dunia. Karena saya sudah di Jawa, saya tidak lagi percaya pada sejarah Loemimoeoet. Tapi sekarang saya ingin tahu bagaimana dunia dan orang-orang diciptakan."

Riedel senang mendengar perkataan sang kepala sekolah itu. Dia kemudian mengambil alkitabnya yang berbahasa Melayu dan menjelaskan apa yang ditanya oleh kepala sekolah itu.  Demikian dicatat R. Grundemann dalam Johan Frederik Riedel, Een levensbeeld uit de Minahasa op Celebes III (Rotterdam: M. Wyt & Zonen,1874).

Jika benar lelaki itu adalah Mangulu, dan ketika bertemu dengan Riedel dia adalah kepala sekolah, maka sangat cocok dengan apa yang disebutkan dalam laporan NZG tahun 1832 tersebut. Dengan demikian, orang Tomohon yang menjadi Kristen dengan cara dibaptis tidak nanti terjadi pada tahun 1839 di masa Mattern. Tentang apakah kepala sekolah orang Tomohon itu dibaptis di Tomohon atau di Jawa, itu yang belum jelas.

Satu hal yang sudah jelas, bahwa telah sejak awal tahun 1830-an ada orang Tomohon yang dibaptis menjadi Kristen. Bukan nanti akhir. (*)  



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.


*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com

 082187097616 

Sunday, December 22, 2019

“Pulang Kampung”, Pulang ke Mana?





PERISTIWA ‘pulang kampung’ (Pulkam) pada momen Natal, Tahun Baru, hari raya pengucapan syukur, atau hari-hari raya keagamaan agama-agama pada umumnya terjadi karena sebelumnya telah berlangsung urbanisasi. Modernisasi kolonial telah membentuk kota-kota sebagai pusat kekuasaan dan ekonomi. Pembentukan tatanan sosial baru, yang di dalamnya termasuk relasi-relasi baru antar kelompok dimungkinkan karena terbentuk dan berkembangnya ruang-ruang hidup baru yang lebih modern, majemuk dan kapitalistis.

Jadi, fenomena Pulkam adalah sebuah tanda terbentuknya ruang-ruang baru namun ruang-ruang lama sebagai tempat asal tidak serta merta tergantikan. Pulkam akhirnya menjadi cara untuk mengatur relasi dan ingatan.

Meski telah direkonstruksi menjadi berbeda dengan ‘kota’ dalam banyak hal, tapi kampung kemudian menemukan cara sendiri untuk eksis dan terus bermakna. Pada akhirnya, ‘kampung’ hadir pula di kota-kota, yang banyak di antaranya masih membawa apa yang ‘asli’ yaitu sebagai panguyuban kekerabatan orang-orang imigran berdasarkan identitas asal-usul dan agama atau status sosial.

“Kampung’ kemudian menjadi tidak hanya sekadar ruang, tapi juga nilai identitas. Tiba suatu masa, ‘kampung’ adalah simbol pengaturan relasi dan terlebih ia adalah identitas sosial yang terkonstruksi oleh perkembangan politik dan ekonomi. Kampung-kampung di kota-kota urban, semacam di Manado misalnya ada Kampung Arab, Kampung Cina, Kampung Borgo, Kampung Ternate, Kampung Islam, dlsb terkini ia adalah bukti pemeliharaan identitas dan cara panguyuban-panguyuban itu mengelola eksistensi yang di dalamnya terkandung upaya-upaya negosiasi dengan perubahan.

Seorang yang tinggal di Kampung Cina Manado, misalnya pada suatu masa oleh karena leluhurnya telah bermigrasi ke pegunungan Minahasa, di hari-hari raya keagamaan, entah atas undangan kerabat atau keluarga akan menyebut ‘pulang kampung’ ketika ia pesiar ke pegunungan di Minahasa. Jadinya, seseorang itu secara simbolik sedang mengatakan, ‘dari kampung ke kampung’. Padahal ini ‘kampung’ yang sebelumnya terkonstruksi berbeda dengan kota menjadi relatif.

Dari segi historis, ‘kampung-kampung’ di Manado tentu berbeda pengertiannya dengan ‘kampung-kampung’ di pegunungan Minahasa. Dalam arti, ‘kampung-kampung’ di Manado, semisalnya Kampung Arab, Kampung Cina, Kampung Borgo, dulunya adalah ruang-ruang istimewa dalam struktur kekuasaan kolonial. Komunitas-komunitas eksklusif ini memiliki hak khusus dalam jaringan politik-ekonomi pemerintahan kolonial. Manado sebagai pusat kekuasaan politik dan ekonomi kolonial memosisikan ‘kampung-kampung kota’ ini sebagai penunjang struktur kolonial untuk menjangkau jalur ekonomi hingga ke kampung-kampung pegunungan di Minahasa.

Tapi urbanisasi di masa kolonial, entah karena dimobilisasi oleh kekuasaan atau karena terpesona dengan citra kota, di dalamnya juga termasuk orang-orang Minahasa dari wanua-wanua di pegunungan. Maka, di masa kolonial, terbentuk pula kampung Kampung Tondano, Kampung Remboken, Kampung Kakas, Kampung Tomohon, Kampung Langowan, Kampung Tombariri, dan Kampung Sonder.

Seperti kota-kota pelabuhan lainnya Manado adalah pusat kekuasaan kolonialisme. Manado adalah bendar. Nicolaus Graafland dalam karangannya berjudul Inilah Kitab Batja Akan Tanah Minahasa (terbit tahun 1867) menggambarkan demikian Manado pada pertengahan abad 19:

Adapon negerij ataw bendar Manado itu hulu negerij deri pada Residentie Manado. Dihulu kala ituw Wenang namanja, turut nama pohon-wenang. Maka inilah negerij jang mulija, sedang lagi padu dokhan Tuwan Bangsawan Resident, Tuwan Kommandant-tsoldado, Tuwan Secretaris, dan Tuwan Pandita adanja. 

Disitu lagi banjakh tuwan-tuwan jang kardjanja di Kantoor, ataw di Gadong-besar, ataw tuwan tuwan-dagang. Maka disitu kadapatan banjakh rumah jang besar, dan rumah jang lebeh mulija itu rumah Tuwan  Resident.

Lagi kadapatan segala perusahan lajin, jaitu: Kota, - tampat perdijaman segala lasjkar; pandjara-besar, dimana dikurongkan orang djahat; - gadong-gadong besar pada tarima koffijjang dituromkan deri pada negerij-negerij digunong; duwa pasar besar, dimana sasaharij didjuwalkan segala rupa barang: makanan, pakejan dan l.l. 

Lagipon kadapatan di Manado sawatu Gredja besar dan bagus, sawatu Midras-Wolanda, dan sawatu Midras-Malajuw. Maka pada Manado dihitongkan lagi kampong Tjina, dimana banjakh orang-tjina jang berdagang ataw berbowat babarapa kardja seperti tukang-kajuw,- metsel, - pipa dan l.l. 

Lagipon terbanjakh orang Manado itu orang burger, jang bejbas, dan ada padanja pangkat djaga salaku tsoldado. Arkijen maka di Manado ada kamijagaan banjakh; prahu besar-kitjil, dan kapal-kapal datang pada membawa barang-barang, ataw tarima koffij, soklath, pala, dan l.l.

Manado di masa kolonial itu, seperti gambaran Graafland di atas adalah  fenomena perkotaan dalam struktur kekuasaan politik kolonial. Bersama dengan itu adalah agama. Di Manado berdiam seorang ‘tuang pandita’ Indische Kerk, gereja kolonial. Ia menjadi bagian dari struktur kekuasaan politik melalui ‘tuang residen’ dan ‘tuan sekretaris’. Ia melengkapi struktur kolonial lainnya, yaitu ekonomi. Mesjid dan klenteng tua berdiri pula di sana. Misi dan dakwah atau penyebaran agama masuk melalui pelabuhan.

Jadinya, struktur kekuasaan kolonial itu adalah ‘agama’, ‘birokrasi’ dan ekonomi. Melengkapinya, dan itu penting adalah militer dan hukum. Itulah ‘kota’ di masa itu, tapi juga berlanjut hingga masa kini.

“Kampung” dalam pengambaran Graafland dalam bukunya itu adalah semua negeri atau wanua, dan juga komunitas-komunitas yang terbentuk kemudian, baik di sekitar pusat kekuasaan maupun pinggirannya, seperti ‘kampung Cina’, ‘kampung Burger’, ‘kampung Sarani’, ‘kampung Arab’ dlsb.

‘Kampung’ berada di dalam subordinasi struktur kolonial yang berpusat di ‘kota bendar’. Sekaligus ia menggambarkan perbedaan status ekonomi, pendidikan, agama, sosial. Atau relasi ‘kota-kampung’ menggambarkan kesenjangan peradaban.

Dikotomi kampung-kota tetap diwarisi di masa orde baru. Kampung menjadi objek untuk dimodernisasi dalam posisi sebagai struktur paling ujung dalam jaringan birokrasi. Ia berada dalam posisi pinggiran jauh dari pusat kekuasaan di Batavia (Jakarta), kota besar yang juga dibentuk di masa kolonial.

Kota semakin menjadi harapan bagi banyak orang dalam mimpi mengubah nasib. Maka, terjadilah urbanisasi besar-besaran, yang makin memperkokoh konstruksi relasi dikotomis 'kota-kampung'. Kota dalam bayangan orang kampung adalah pusat peradaban, tempat mengubah nasib, di sana cita-cita hidup sejahtera dapat diraih. Sebaliknya kampung adalah citra dari keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan.

Kota adalah modern, kampung adalah tradisional. Dalam paradigma pembangunan ala orde baru, kampung sebagai yang tradisional mesti dimodernkan karena ketradisionalan padanya tidak mendukung pembangunisme yang kapitalistis, politis dan birokratis.

Tapi, setelah semua proyek pembangunisme yang memicu urbanisasi besar-besaran tak dapat menjawab cita-cita sejahtera secara ekonomis itu, maka dengan sendirinya kota memperoleh citra terbalik. "Sekejam-kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibu kota", dan "Sapa suruh datang Jakarta" adalah ungkapan-ungkapan yang mungkin merefleksikan kejenuhan terhadap 'kota'.

Tapi kota tetap penting bagi banyak orang, demikian halnya dengan kampung. Di era pasca kolonial, Pulkam adalah suatu ritual kehidupan yang menghubungkan 'kota-kampung'. Sebagai ritual, Pulkam memiliki sensasi tersendiri. Kampung memiliki daya magisnya, justru semakin kuat ketika kota adalah ruang pertarungan nasib bagi banyak orang. Kampung seolah dianggap sebagai oase. Tapi sensasi itu akan benar-benar terasa ketika Pulkam atau mudik dipasangkan dengan balik lagi ke kota.

"Kampung" yang dibayangkan hijau, sejuk di pagi hari, tenang di waktu siang, teduh di malam hari, dengan bayangan garis-garis gunung dan bukit yang membentuk suatu lukisan alam yang indah dalam imajinasi eksostik sebagai kerinduan orang-orang kota modern. Bau tanah, asap yang mengepul dari dapur-dapur, rumah-rumah kayu, anak-anak yang riang bermain membuat bayangan tentang kampung sebagai surga. Dan akhirnya, seolah-olah kehidupan kampung bebas dari masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dlsb.

Orang-orang kota yang asal leluhurnya dari kampung kemudian merindukan semua itu. Keindahan itu diceritakan dalam gambar, video, tulisan dan omongan-omonganya sepulang dari liburan. Ini kemudian menyamarkan semua masalah di kampung akibat modernisasi dan kapitalisme dari kota yang mesti mengeksploitasi sumber daya dari kampung.

Sebaliknya orang-orang kampung mendengar dari mereka yang Pulkam cerita-cerita tentang kota yang dipenuhi dengan fasilitas teknologi canggih, tentang tuang-tuang dan nyora-nyora hebat, tentang gedung-gedung bertingkat, tentang kesuksesan, tentang kemewahaan, tentang popularitas, dlsb. Jadilah seolah-seolah surga adanya di kota.

Tapi orang-orang kampung juga mendengar cerita dari media tentang kampung-kampung kumuh di kota yang kena gusur dengan alasan penataan kota. Dan ketika pada suatu hari mereka berkesempatan ke kota, mereka diajak makan di restoran yang menyajikan cita rasa kampung. Keluarga mereka pun tinggal di kompleks mewah tapi nama gangnya menggunakan kata "kampung".

Fenomena ini sepertinya mau menunjukkan bahwa relasi ‘kampung-kota’ pada akhirnya menjadi relatif, melampaui dikotomi yang tersimpan dalam kesadaran-kesadaran palsu kita. Di kampung-kampung ada tanda-tanda kehadiran modernitas, seperti supermarket-minimarket waralaba; orang-orang kampung semakin melek teknologi digital, politik elektroral membuat mereka juga mesti punya pengetahuan politik, dan terutama kapitalis-kapitalis di level lokal juga ada.   

Jadi, ‘pulkam’, adalah cara untuk terus mengikatkan diri dengan asal, merawat ingatan dan kekerabatan, tapi ia juga adalah negosiasi dan dialog serta mekanisme pengaturan relasi ‘kampung-kota’, yang di dalamnya juga merupakan proses pertukaran budaya. Orang-orang Kota yang mewarisi ingatan budaya ‘kampung’ kemudian menjadikan moment Pulkam untuk ‘waktu senggang’ dari kepenatangan menjalani hidup perkotaan.

Fenomena Pulkam beramai-ramai dan terjadi di mana-mana di negara ini pada setiap momen hari raya, sepertinya juga hendak mau mengatakan, bahwa Indonesia sebetulnya adalah ‘negara kampung’. (*)   


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.


*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com
 Denni Pinontoan

 082187097616

Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan, dan Memelihara Sejarah*





PIHAK Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara meminta saya untuk berbicara pada kegiatan Lawatan Sejarah Daerah 2019 ini diseputar topik, “Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan, Memelihara Sejarah”. Topik ini memuat tiga variabel yang dapat dibicarakan sendiri-sendiri yaitu: “pendidikan’; “kebudayaan’, dan “Sejarah”. Tapi sesungguhnya tiga variabel ini memiliki hubungan satu sama yang lain. Dalam konteks ini, saya membicarakan tiga variabel tersebut dalam konsep, bahwa upaya memajukan kebudayaan, salah  satu cara, dan ini penting, adalah menguatkan pendidikan dan memelihara sejarah. 

Saya akan membicarakan topik ini dalam alur pemikiran seperti yang terumus di atas. Olehnya, saya akan mengawali keseluruhan pembahasan dengan subtopik tentang pendidikan, lalu sejarah yang kesemuanya akan bermuara pada konsep tentang memajukan kebudayaan sebagai sebuah proses. Karena hal-hal ini saling berkaitan, maka alurnya tidak akan bergerak dari satu penjelasan ke penjelasan yang berikut. Tetapi dalam rangka untuk mensistematisasi pembahasan, sub-sub topik hanyalah untuk memudahkan alur pembahasan. 

Pendidikan sebagai Praktek Kebudayaan
“Sekolah adalah pusat kebudayaan”. Ini moto yang sering kita baca di atas pintu gerbang sekolah-sekolah kita. Sekolah yang dimaksud di sini tentu adalah wadah atau ruang di mana proses belajar-mengajar dilakukan. Dan keseluruhan hal yang terkait dengan hal berpengetahuan, proses, metode, maupun paradigma itulah yang disebut pendidikan.

Secara filosofis apa yang kita sebut ‘sekolah’ (dari kata Latin schole, yang berarti ‘waktu senggang’) adalah ruang di mana orang dapat menggunakan waktu yang terbebas dari beban-beban kerja atau kehidupan pada umumnya untuk memberdayakan sumber daya yang dia miliki, yaitu akal, fisik, intuisi, imajinasi, kepekaan, cita rasa, kreatifitas. Kesemuanya itu adalah untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan bersikap.

Kata Latin ‘educare’ (Inggris: education; Indonesia: pendidikan) – secara harafiah berarti ‘memunculkan dan menyuburkan, melatih atau membentuk.’ Pada pengertian ini, educare, education, pendidikan menunjuk pada sebuah upaya memberdayakan, mengembangkan. Atau dengan kata lain, ia adalah upaya memaksimalkan pengetahuan dan daya yang manusia miliki dalam kehadirannya di tengah realitas kehidupan. Sebagai bagian dari praktek kebudayaan, pendidikan dapat diartikan sebagai keseluruhan proses manusia dalam memberdayakan hidupnya melalui dengan cara berpikir dan berimajinasi untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan.  

Paulo Freire mendefinisikan, “pendidikan sebagai proses pemerdekaan atau kesadaran akan kebebasan hidup yang memiliki potensi-potensi tertentu dalam hidupnya berhadapan dengan alam sekitarnya.” Definisi pendidikan Freire tampaknya berorientasi pada kesadaran intelektual dan mental yang memungkinkan seorang individu bersama kelompoknya melakukan tindakan-tindakan dan praxis pembebasan.

Menurut H.A.R. Tilaar, “Hasil pendidikan demikian adalah manusia yang kreatif yang menjadi pendukung dari kebudayaan dinamis”.[1] Jadi, dengan pendidikan yang berorientasi pada pemerdekaan, dengan antara lain melalui upaya memampukan manusia memiliki kesadaran kritis, maka ia adalah juga praktek kebudayaan. Maksudnya, dengan pendidikan maka manusia secara rasional, kreatif, kritis tapi etis mengusahakan keberlanjutan hidup bersama.

Dengan demikian, perlu ada upaya terus menerus untuk mengusahakan revitalisasi atau penguatan makna, arti dan siginifikansi pendidikan bagi masyarakat. 


Pendidikan mesti selalu berorientasi pada upaya untuk menjawab segala problem kehidupan, memberi alternatif-alternatif yang kreatif terhadap kebuntuan-kebuntuan hidup, memberi pencerahan pada kesuraman hidup, memberi kemampuan mengusahakan hal-hal baru untuk meneruskan kehidupan, dan tentu pendidikan mesti menghasilkan nilai-nilai etis yang hanya berorientasi makna kehidupan yang luhur.  

Memelihara Sejarah untuk Merencanakan Masa Depan
Tak ada kehidupan di masa kini yang tak punya awal. Kehidupan kini akan kemudian menjadi sejarah pada masa depan. Perencanaan kehidupan masa depan mesti selalu memiliki wawasan sejarah. Jadi, ketika kita berbicara sejarah, posisi kita tidak di masa lalu, tapi masa kini. Tujuannya bukan untuk kembali ke masa lalu, melainkan untuk ke masa depan.

Sejarah adalah sumber pengetahuan yang tak terbatas, seperti tidak terbatasnya bayangan kita dalam memandang masa depan. Sejarah sudah terjadi, ia telah meninggalkan banyak jejak dan warisan, namun masa depan masih ada dalam perencanaan. Jadi, ketika kita berbicara upaya ‘memelihara sejarah’ itu sama dengan upaya untuk memelihara kehidupan. Mengapa?

Sejarah adalah ‘teks’ kehidupan. Ada yang sudah terungkap, ada yang masih misteri, ada yang akhirnya hanya dapat diterima sebagai ‘cerita’. Meskipun, keseluruhan sejarah bagi kita kini semuanya adalah ‘cerita’. Ia terdokumentasi dalam banyak hal, tulisan, lisan, aftefak, seni, agama, praktek ekonomi, politik, kuliter, dlsb. Jadi, sejarah adalah kehidupan yang kompleks itu, yang waktu kejadiannya pada masa lalu, yang kebanyakan di antara masih memengaruhi kehidupan kita kini.

Handphone/smartphone yang kita miliki sekarang ini ia adalah jejak sejarah tentang upaya manusia di masa lalu untuk maksud berkomunikasi secara jarak jauh pada lalu. Dari telegram, ke telepon, lalu ia ke handhone. Smarthpone, juga menjadi penanda, untuk sejarah itu tadi, dan sejarah internet.

Demikian pula dengan gedung gereja tua, sebuah tempat, rumah tua, goa buatan manusia, makam tua,  dlsb sebagainya, baik ia berbentuk artefak maupun situs, kesemuannya menceritakan kepada kita tentang apa, bagaimana, siapa dan kapan, dan mengapa itu semua dibuat atau ada di masa lalu.

Tentu agar semua itu bermakna, maka kita tidak hanya berhenti dengan dengan berselfie ria di tempat-tempat itu. Kita perlu belajar sejarah. Itu dapat kita lakukan melalui pendidikan. Dengan demikian, dapat kita katakan, belajar sejarah atau segala hal yang meliputi upaya manusia untuk meneliti, menganalisis/menafsir, menulis/mempublikasikan, membaca, mendiskusikan dan merefleksikan peristiwa-peristiwa masa lalu adalah upaya manusia untuk memahami keberadaan dirinya di masa kini, yang bersama dengan itu dalam upayanya merencanakan kehidupan di masa depan.

Kesadaran terhadap sejarah, menghasilkan pengetahuan dan sikap yang selalu berupaya memelihara apa saja yang menjadi penanda atau jejak-jejak sejarah.

Dengan memelihara sejarah, belajar sejarah maka kita akan memiliki pengetahuan, wawasan dan kemampuan kritis memahami masa kini.  Contoh: Masyarakat Indonesia masa kini sedang terpolarisasi berdasarkan identitas agama, etnis, ras, gender, yang bukan pertama-tama kehendak kelompok-kelompok masyarakat itu, melainkan karena apa yang diistilahkan dengan ‘polisasi identitas’. Wawasan historis menjadi penting untuk menyikapi polarisasi itu, karena dengan belajar sejarah, maka kita akan sadar bahwa di lampau kita memiliki satu jaringan kebudayaan bersama, antara lain melalui perdagangan, bahasa, dlsb. (Coba cari tahu mengapa kata-kata ini dikenal di banyak wilayah di Indonesia: ‘wanua-banua-benua’; ‘to-ta-tou’; ‘wale-bale-balai’, ‘tabik-tabe-tabea’, dlsb. Sejarah kuliner: Contoh: sup brenebon, peda’al-miedal-tinutuan-bubur Manado’, dlsb.


Akhirnya adalah Upaya Memajukan Kebudayaan
Kegiatan manusia/masyarakat dalam memajukan kebudayaan adalah upaya untuk membuat kehidupan bersama menjadi lebih baik, lebih bermakna, lebih berdaya guna.  

Memajukan kebudayaan, berarti upaya yang tak pernah henti untuk memberdayakan, mengoptimalkan, mendayagunakan pengetahuan, yaitu antara antara lain sarana dan proses berpengetahuan, yaitu pendidikan, lalu sumber pengetahuan yang tanpa batas yaitu sejarah.

Jadi, baik upaya menguatkan pendidikan, maupun upaya memelihara sejarah, keduanya bertemu pada upaya untuk memajukan kebudayaan, itu sama dengan upaya untuk membuat kehidupan lebih bermakna, lebih berarti, lebih berdayaguna.

Ahli filsafat, C.A. van Peursen, seorang yang di tahun 1948-1950 menjabat wakil ketua pada Kementerian Pendidikan Belanda, pada tahun 1970 dalam bukunya The Strategy of Culture, dengan sangat yakin mengeluarkan pernyataan, “Seluruh kebudayaan merupakan satu proses belajar yang besar.” Belajar, menurut Peursen, berarti mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dari pertanyaan-pertanyaan biasa dan praktis hingga pertanyaan-pertanyaan mendalam.[2] Keseluruhan proses belajar itu tujuannya untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru bagi masa depan yang lebih baik dalam kehidupan bersama manusia.

Melalui pendidikan kita difasilitasi untuk belajar dan memelihara sejarah. Proses ini adalah upaya untuk memajukan kebudayaan. Pendidikan yang kontekstual di masa ‘post truth’ ini mestilah memiliki wawasan historis. Artinya, dengan memahami dan memelihara sejarah maka kita memiliki pengetahuan dan ketrampilan bersikap untuk menemukan alternatif-alternatif dalam menjawab masalah-masalah kehidupan kini yang kompleks.(*)

______________________________ 
* Makalah yang disampaikan diskusi kegiatan Lawatan Sejarah Daerah (Laseda) di Provinsi Sulut dengan topik “Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan, Memelihara Sejarah” , Senin, 29 April 2019 di Balai Pelatihan Teknis Dan Penyuluhan Pertanian Kalasey, Sulut (BLPP)
[1] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 52.
[2] C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 141-147.

Wednesday, December 18, 2019

Soekarno, Sinterklaas Hitam dan Natal



Soekarno, Sinterklaas dan anak-anak di Istana tahun 1951. (Sumber: Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen: Sisi Lain Putra Sang Fajar yang Tak Terungkap terbit 2013/ANRI).


Soekarno pernah melarang perayaan Hari Sinterklaas di Indonesia, pemicunya adalah pertentangan politik dengan Belanda, tapi dia sangat menghargai perayaan Natal



DESEMBER 1957, seorang menteri asal Minahasa, Gustaaf A. Maengkom mengeluarkan pengumuman yang memerintakan seluruh orang Belanda segera meninggalkan Indonesia. Tradisi merayakan Hari Sinterklaas juga dilarang.  

Saat itu Maengkom adalah menteri Kehakiman. Ia lahir di Tondano, daerah pusat kekristenan di abad 19 pada 11 Maret 1907. Pengumuman tersebut adalah atas perintah Presiden Soekarno.

Tradisi Sinterklaas di Hindia Belanda diperkenalkan oleh orang-orang Belanda Kristen. Pada masa kolonial, setiap tanggal 5 Desember Batavia selalu diramaikan dengan kehadiran Sinterklaas.

“Setibanya di Pelabuhan Sunda Kelapa, Sinterklaas dijemput Wali Kota Batavia dan diajak berkeliling kota dalam arak-arakan yang meriah sampai finish di Gedung Societeit Harmoni, yang sudah didandani untuk menyambut kedatangannya,” demikian dicatat dalam buku Soekarno Poenja Tjerita, diterbitkan oleh Bentang, Yogyakarta 2012.

Hingga penyerahan kedaulatan tahun 1949, di era Indonesia merdeka, tradisi orang-orang Kristen Eropa ini masih dilaksanakan setiap tanggal 5 Desember.

Tapi, demikian tercatat di buku Soekarno Poenja Tjerita itu, “Lantaran kemarahan terhadap Belanda, pada tahun 1957, Sinterklas tak lagi menyambangi anak-anak Indonesia. Tak ada lagi hadiah di sepatu.”

____________________________________________
BACA JUGA

Asal Usul Pohon Terang dalam Perayaan Natal di Minahasa

____________________________________________

Masalah hubungan politik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dengan Belanda, negeri bekas penjajah itu adalah satu-satunya penyebab pelarangan Sintkerlaas.

“Soekarno melarang tradisi khas Belanda itu,” demikian disebutkan dalam buku itu.

“Kejadian kelam ini terjadi tepat pada hari perayaan Sintkerlaas 5 Desember 1957. Kata ‘hitam’ pada istilah ‘Sinterklaas Hitam’ (Zwarte Sinterklaas) bermakna simbolik. Ini adalah ungkapan atas peristiwa kelabu pada hari Sinterklaas tahun 1957,” tulis Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen: Sisi Lain Putra Sang Fajar yang Tak Terungkap (terbit 2013).

Soekarno memerintahkan agar seluruh orang Belanda di Indonesia segera meninggalkan Indonesia. Tapi dia memberi pengecualian bagi pemimpin agama.

Bagi Soekarno, pelarangan itu tidak berkaitan dengan perayaan keagamaan Natal umat Kristen. Ini lebih sebagai sikap protes politik terhadap Belanda.   

“Sebagai perayaan tradisi budaya, Hari Sinterklaas sebetulnya bukanlah perayaan yang asing di istana presiden ketika itu. Bahkan, Bung Karno sendiri tidak canggung ikut merayakan hari Sinterklaas. Ada foto yang menunjukkan Bung Karno pada tahun 1951 mengundang Sinterklaas ke istana, ikut berpesta bersama anak-anak,” tulis de Jonge.

Penyebab utama larangan itu adalah gara-gara Belanda ngotot untuk merebut Irian Barat. Soekarno sebagai presiden menolak keinginan Belanda itu. Sikap Soekarno itu memicu munculnya gerakan anti Belanda pada masyarakat Indonesia. Warga Belanda atau keturunannya ketakutan dan tak berani keluar rumah. Hari Natal pun dirayakan tanpa kehadiran Sinterklaas.


Sikap ini agaknya tak mempengaruhi hubungan Soekarno dengan umat Kristen. Surat kabar De Volksrant edisi 31 Desember 1965 menampilkan foto Soekarno menghadiri ibadah Natal di Senayan, Jakarta. Soekarno duduk di tengah tokoh-tokoh dan pemimpin umat Kristen Protestan dan Katolik. Ia mengikuti ibadah dengan khusyuk.

Ini bukan pertama kali bagi Soekarno. Tahun 1947 ia juga menghadiri ibadah perayaan Natal di Gereja Protestan Yorgyakarta. Pada kesempatan itu Soekarno menyampaikan sambutan.

Desember tahun 1955, Soekarno menghadiri pula ibadah Natal ekumenis di Jakarta. Surat kabar De nieuwsgier edisi 23 Desember tahun 1955 melaporkan kehadiran Soekarno di ibadah Natal itu. Soekarno menyampaikan sambutannya yang bertemakan tentang Pancasila. Situasi politik waktu itu cukup menegangkan.

Tapi Soekarno berkata di hadapan orang-orang yang hadir di ibadah Natal itu, “Suasana di sini menenangkan dan mendinginkan pikiran saya.”

Soekarno juga berkata, di tempat itu semua orang menyembah satu Tuhan dari semua agama.

"Pada malam ini saya kembali melihat penderitaan yang harus dialami oleh Yesus Kristus, penderitaan Muhammad, Gandhi yang semuanya mengabarkan persaudaraan, kedamaian dan toleransi," kata presiden Soekarno.

Di akhir pidatonya, Soekarno menyampaikan makna Pancasila sebagai dasar negara yang memberi tempat bagi semua kelompok yang berbeda-beda. 

Di negara ini, yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, kita harus membangun sebuah rumah besar, Republik Indonesia, untuk 80 juta jiwa rakyat Indonesia dengan keragaman kelompok populasi, sebuah rumah tempat mereka dapat hidup bersama secara harmonis, dan itulah sebabnya Pancasila adalah fondasi terbaik untuk rumah seperti itu, "kata Presiden Soekarno.(*)



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui:  
dpinontoan6@gmail.com
 Denni Pinontoan

 082187097616


Makase banyak.