Saturday, May 11, 2019

Masa Kecil Alexius Impurung Mendur di Kawangkoan




Alexius Impurung Mendur, seorang fotografer jurnalistik asal Talikuran, Kawangkoan, di masa kecil adalah seorang anak yang rajin, pinter dan memiliki semangat yang tinggi untuk maju


TALIKURAN, Kawangkoan, 7 Nopember 1907. Di sebuah rumah, terdengar tangisan seorang bayi. Seorang bayi laki-laki baru lahir. Ayah si bayi bernama August Mendur. August lahir pada 25 Juli 1888 dan ibu si bayi bernama Ariance Mononimbar (Kel. Mendur-Mononimbar). Orang tua August Mendur, kakek dan nenek si bayi, ayah bernama Robert Mendur, ibunya Yohana Masengi (Kel. Mendur-Masengi).

Kelak bayi laki-laki ini menjadi orang hebat di dunia fotografi. Namanya Alexius Impurung Mendur atau dikenal dengan nama Alex Mendur. Seorang fotografer jurnalistik yang telah mendokumentasikan beberapa peristiwa penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. Alex bersama saudara dan teman-temannya asal Minahasa, kemudian mendirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS).

Buku berjudul Alexius Impurung Mendur (Alex Mendur) yang ditulis Wiwi Kuswiah (diterbitkan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1986) mendokumentasikan kisah hidup Alex sejak lahir hingga ia menjadi fotografer jurnalistik yang profesional.

Sumber data buku tersebut adalah hasil wawancara penulis (Wiwi Kuswiah) dengan keluarga dekat dan teman-teman Alex yang masih hidup pada tahun 1985. Antaranya L.R. Mendur  dan F.F. Umbas (diwawancarai pada tanggal 28 Mei 1985 di Jakarta). Ibu Meity Mubagio Mendur dan ibu Emmy Wowor (diwawancarai pada tanggal 30 Mei 1985 di Jakarta).

Pada tanggal 26 dan 27 Juni 1985 Wiwih Kuswiah datang ke Keluarahan Talikuran, Kawangkoan. Di sini ia mewawancarai adik-adik Alex Mendur dan keluarga dan teman Alex
Mendur sewaktu masih sekolah, aantara lain: Ibu Rita Manesa Mendur (anak Bernath Mendur) dan Rudolf  Manese (suami ibu Rita). Berikut Ibu Anneke Pinontoan (cucu Bernath Mendur); Max R. Buyung (anak Yulianan Mendur);  Lurah Talikuran Bernath Rumengan, Kepala Depdikbud Kec. Kawangkoan, N. Palaar; Camat Kawangkoan, Drs. J.R. Mewo; Stinee Mendur dan Konstansye Mendur (keduanya adik Alex Mendur). Berikut  Willem Wokas (suami Konstansye dulu bekas wartawan;  Lidya Mendur (anak Bernath Mendur); Abraham Lapian Assa, teman sekolah Alex Mendur).

Di Bandung, Jakarta, Bogor, ia mewancarai ibu Maya Mawengkang Mendur (diwawancarai pada tanggal 5 Juli 198S di Bandung); Ines Mendur diwawancarai pada tanggal 9 Juli 1985
di Jakarta. Paul A. Mendur diwawancarai pada tanggal 29 Juli 1985 di Pondok Kopi. Piet Mendur (Keponakan Alex Mendur) diwawancarai pada tanggal 2 Agustus 1985 di Depok, Bogor.

Alexius adalah anak tertua dari sembilan bersaudara. Adik-adiknya adalah Juliana Mendur, Bernard Mendur, Frans Mendur, Hein Mendur, Paul A Mendur, Margoce Mendur, Constanse Mendur, Tientje Mendur dan Catoce Mendur.

Kuswiah menulis, Kakek dan Nenek Alexius, Robert dan Yohana adalah keluarga petani. Mereka juga beternak babi. Hal lain yang juga dimiliki oleh Robert adalah kemampuan mengobati orang secara ‘makatana’. Ia sering menolong orang dengan cara-cara tradisional. Cara hidup keluarga ini, termasuk kemampuan mengobati orang terwarisi juga pada August, ayah Alexius.

Kuswiah melanjutkan, sebagai anak dari keluarga “ma’leme”, dan begitu tradisi yang masih umum berlaku di Kawangkoan masa itu, maka sekira 14 hari kelahiran, bayi Alexius dimandikan dengan air uap rebusan berisi rempah-rempah.Tradisi memandikan bayi dan ibunya itu disebut “sosopen”. Ketika melahirkan, ibunya dibantu oleh seorang biang kampung. 

Alexius bertumbuh sebagai seorang anak yang sehat dan kuat di bawah asuhan kedua orang tuanya. Alex Mendur dibaptis pada usia kurang-lebih tiga bulan oleh Pendeta Riemper di Gereja Protestan (lndishe Kerk) Kawangkoan.  

Pekerjaan orang tua Alexius adalah pedagang di pasar. Sebagai seorang anak yang tertua, Alexius suka membantu orang tuanya berjualan barang-barang keperluan sehari-hari seperti piring, gelas, sapu, sabun dan sebagainya di pasar. Selain berdagang barang jadi, ayah Alex Mendur juga berjualan babi dan bertani.

Jika bukan hari pasar, maka kedua orang tua Alexius bekerja di kebun. Alexius juga membantu orang tuanya bekerja di kebun. Mereka menanam kacang tanah, ubi kayu, dan sebagainya. 

"Di kebun dalam membantu pekerjaan orang tuanya, Alex Mendur suka berburu tikus kebun bersama teman-temannya," tulis Kuswiah. 


Sekira tahun 1914 Alexius mulai bersekolah. Di Kawangkoan waktu sekolah dasar bernama Volkschool GouvernementAlexius disekolah oleh orang tuanya di sekolah itu. Sebagai kepala sekolah adalah E. Lapian, ayah dari B.W. Lapian. Sekolah ini berada di pusat kota, sekarang kantor kecamatan Kawangkoan. Alex Impurung Mendur tamat tahun 1918.


Begitu selesai sekolah dasar tidak dilanjutkan karena ayah Alex tidak mampu untuk membiayainya. Kehidupan keluarganya bertambah lagi dengan kelahiran adik-adik Alex, sehingga beban ayahnya bertambah berat,” tulis Kuswiah.

Ketika maksud itu disampaikan kepada orang tuanya, mereka keberatan. Ayah dan ibunya merasa Alex belum cukup dewasa untuk hidup jauh dari mereka. Tapi, Anton kemudian berusaha meyakinkan mereka. Dengan penjelasan dan jaminan yang disampaikan Anton, maka kedua orang tua Alex akhirnya setuju anak mereka tertua ini merantau ke Tanah Jawa. Maka, segera setelah itu dilakukan persiapan keberangkatan Alex ke Jawa.
Abraham Assa, teman sekolah dan sepermainan Alex Mendur mengatakan, ia lebih rendah satu kelas dari Alex Mendur. Alex, kata dia adalah anak yang rajin dan pandai, periang, suka berkelakar dengan teman-temannya dan selalu gembira. Ia cekatan dalam segala hal dan situasi, penurut dan patuh pada perintah kedua orang tuanya.

Watak Alex diturunkan dari ayahnya yang keras dan disiplin. Alex senang bermain kelereng, main bola, main 'sarukeke' atau 'ciplek gunung', yakni suatu jenis permainan anak-anak Minahasa,” tulis Kuswiah mengutip tuturan Abraham.  

Jarak dari rumah keluarga Alex ke ke sekolah kurang-lebih 700 meter. Menurut tuturan orang-orang dekat alex yang diwawancarai Kuswiah, sepulang sekolah Alex ganti pakaian lalu makan. Kata mereka, Alex suka makan menu dari daging babi atau ikan laut kering. 

Merantau ke Tanah Jawa
Alex tamat dari Volkschool Gouvernement tahun 1918, di usia 11 tahun. Tapi Alex tidak dapat melanjutkan ke sekolah menengah. 

Meski masih kanak-akan menuju remaja, namun Alex harus bekerja membantu kedua orang tuanya. Sambil itu ia mengambil waktu belajar bahasa Inggris secara mandiri dan membaca beberapa buku yang tersedia.

Ketika memasuki usia pemuda, Alex mulai berpikir bagaimana ia dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan membantu ekonomi keluarganya. 

Pada suatu hari, ia mendengar kabar ada saudaranya di Jawa yang pulang ke Kawangkoan. Alex berpikir sekiranya ia dapat pergi ke Jawa untuk bekerja di sana. Saudara Alex itu bernama Anton Nayoan berasal dari Desa Tondegesan. Di Jawa Anton Nayoan bekerja sebagai karyawan pada perusahaan Belanda yang menjual alat-alat dan bahan-bahan keperluan dan perlengkapan fotografi.
Anton melihat Alex mempunyai kemauan keras dan bakat yang tinggi untuk maju. Maka dia kemudian mengajak Alex untuk bersama dengan dia ke Jawa. Alex senang sekali dengan ajakan itu.
 

Keluarga Alex lalu menggelar acara perpisahan dengan anak mereka. Keluarga besar mereka di Talikuran atau Kawangkoan diundang hadir pada acara jamuan makan bersama. Teman-teman Alex juga diundang berkumpul. Tradisi ini biasa dilakukan di Kawangkoan pada waktu itu. Keluarga biasanya akan menggelar acara kumpul-kumpul dan makan bersama bagi anggota anggota keluarga yang pulang kampung dari tanah rantau atau yang akan merantau.

Pada acara itu, Alex menerima nasehat dari keluarga atau juga teman-temannya sebagai bekal baginya nanti di tanah rantau. Mereka juga memberi dia ucapan selamat jalan, berharap sukses di sana.

Datanglah hari keberangkatan itu. Anton dan Alex berangkat ke Manado dengan menumpang ‘gerobak’. Waktu tempuh Kawangkoan-Manado dengan gerobak (roda sapi atau roda kuda) selama 1 hari 1 malam. Meski mobil sudah ada sejak tahun 1912 di Kawangkoan, namun tidak setiap hari atau setiap minggu beroperasi. 

Anton dan Alex tiba di pelabuhan Manado. Dari sini mereka menumpang kapal laut menuju ke Batavia. Selama satu bulan mereka berada di atas kapal mengarungi samudera baru tiba di tanah Jawa. Alex berangkat ke tanah Jawa bersama Anton pada tahun 1922, waktu itu usianya 15 tahun. Di sana Alex tinggal bersama Anton. Inilah awal dari perjalanan hidupnya menjadi seorang fotografer jurnalistik. (**)
·.


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

Thursday, May 9, 2019

Nyanyian Para Soldadu dalam Perang



 
Tentara KNIL di Batavia tahun 1930. (Sumber: http://www.indonesia-dutchcolonialheritage.nl)

Para soldadu di medan selalu dibayang-bayangi oleh kesedihan, putus asa dan kematian, mereka butuh hiburan, maka sebuah buku berisi kumpulan nyanyian diterbitkan untuk mereka


TANGGAL 1 Januari 1800, secara resmi VOC dibubarkan. Sejak pertama kali datang ke kepulauan ini, VOC memang mengandalkan militer. Tahun 1630, dengan militernya yang maju, Belanda (VOC) mulai berhasil merebut hegemoni perdagangan melalui jalur laut di kepulauan ini. Dari Ambon, ia kemudian ke Batavia dan melebarkan kekuasaanya hingga banyak tempat.

Setelah VOC dibubarkan, datanglah bentuk kekuasaan baru: Pemerintah Hindia Belanda. Militer tetap menjadi ujung tombak dalam menaklukan dan menguasai. Perlawanan kerjaan-kerajaan atau komunitas-komunitas pribumi mesti diredam dengan kekuatan militer yang terlatih dengan jumlah yang terus bertambah.

Tentara pemerintah Hindia Belanda tidak semua orang Belanda atau Eropa. Orang-orang Jawa, misalnya juga menjadi tentara untuk mengamankan kekuasaan Belanda. Tahun 1808 misalnya, atas perintah Daendels, Mangkunegera II yang sudah bersekutu dengan Belanda membentuk ‘Legiun Mangkunegara”. Legiun ini terdiri dari prajuritnya sendiri dengan bantuan keuangan pihak Belanda.

“Dia dianugerahi pangkat kolonel dan diberi 10.000 ryksdaalders lebih setiap tahun sebagai gaji dan dukungan terhadap legiun yang beranggotakan 1.150 orang prajurit,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi, 2008).

Menurut Ricklesf, legiunnya itu kelak melaksanakan tugas membantu Belanda dalam penyerangan ke Yogyakarta pada tahun 1812, Perang Jawa 1825-1830 dan perang Aceh tahun 1873-4.

Di Minahasa sendiri, minat pemuda-pemuda menjadi soldadu terutama nanti mulai tahun 1825. Salah satu sebabnya adalah sistem tanam paksa yang menyiksa.

“Namun tanam paksa kopi di sekitar dataran tinggi Tondano menguba hal itu. Sejak saat itu pilihan untuk menjadi soldadu di ‘tanah orang’ menjadi suatu alternatif lain dari kerja keras di kebun-kebun kopi,” tulis R.Z. Leirissa dalam Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia: Peristiwa Merah Putih dan Sebab-musababnya (Jakarta: Sinar Harapan, 1997).

Akhir tahun 1830, Gubernur Jenderal van den Bosch membentuk Tentara Kerajaan di Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Mulanya, jumlah pasukan KNIL yang terdiri dari orang-orang Jawa, Ambon, Madura selain orang-orang Belanda sendiri sebanyak 14.000 orang. Pada masa perang Aceh, jumlah tentara meningkat hampir tiga kali lipat. Menurut Leirissa, sejak saat itu jumlah pasukan yang berasal dari berbagai daerah di nusantara, hampir 5 kali lipat dari yang berasal dari Belanda. Jumlah tentara KNIL pada tahun 1900 sebanyak 38.105 orang.


***
Tentara dalam perang selalu dibayang-bayangi oleh kesedihan dan putus asa. Kerinduan pada tanah kelahiran atau orang-orang yang dicintai menjadi bagian dari kehidupan para tentara. Kematian bisa datang kapan saja.

Tentara dalam perang membutuhkan hiburan dan penyemangat.

Bagaimana soldadu-soldadu atau tentara-tentara di masa Pemerintah Hindia Belanda menghibur diri di medan perang? Bagaimana cara mereka diberi semangat untuk berperang? Bagaimana jiwa heroisme dan patriotisme tertanam dalam jiwa mereka? Jawabannya adalah melalui nyanyian.

Tiada b'rapa lama
Saja masoek perang
Deng' sateman jang brani

Kami doea djalani
S'perti boeroeng terbang.

Itulah salah satu bait syair lagu berjudul Kameraad Jang Satia. Lagu ini adalah salah satu lagu dalam buku kumpulan nyanyian berjudul Kitab Njanjian Goena Soldadoe Kompeni, terbit tahun 1899. Buku ini dikhususkan bagi para tentara di medan perang Hindia Belanda. Buku yang disusun oleh Letnan Clockener Brousson, dalam bahasa Belanda berjudul Voor Janmaat en Soldaat. Terjemahan dalam bahasa Melayu dikerjakan oleh E. Tehupeiory, seorang dokter Jawa.

Njanjian-njanjian itoe diboeat atas diaorang dan atas Baginda Maharadja WILHELMINA, jang perentah dengan lemboet manis akan bala bala, baik di negeri Wolanda, baik di Hindia dan atas tempat-tempat dimana bandera Wolanda (merah, poetih, biroe) berkibar-kibar,” demikian tulis Tehupeiory dalam pendahuluan buku itu.

Buku ini berisi nyanyian-nyanyian yang mengisahkan kehidupan para tentara di medan perang. Kebanyakan lagu-lagu itu berbentuk mars, yang baik dinyanyikan penuh semangat sambil memegang atau megibarkan vaandel atau panji perang.

Baginda Maharadja Wilhelmina adalah yang diagung-agungkan pada beberapa lagu. Dalam salah satu nyanyian ia digambarkan sebagai raja yang mulia. Kesetian, keberanian, kemenangan semata-mata adalah untuk hormat dan kemulian bagi sang baginda. Berikut bait pertama nyanyian berjudul “Wilhelmina, Radja Nederland”:

Wilhelma, Engkau Radja
Radja jang moelia!
Tinggal maut ambii sadja
Saja bersatia
Padamoe, Jang terindah
Dimata balamoe.
Koe anak negri jang rendah
Sembahkan hormatkoe

Tehupeiory sendiri mengakui, semangatnya menerjemahkan buku itu ke bahasa Melayu adalah untuk menyatakan kesetian kepada Sang Raja. “Saja, saorang anak Hindia, seperti anak bala jang satia deri Maharadja Wolanda, soedah salinkan njanjian-njanjian itoe dalam bahasa Melajoe,’ tulis Tehupeiory.

Nyanyian-nyanyian itu rupanya terutama diperuntuhkan bagi soldadu-soldadu bukan orang Belanda atau Eropa. Tehupeiory menyebut tentara-tentara dari Jawa, Ambon, Ternate, Manado, Madura,  Sunda dan dari Timor. Merekalah tentara-tentara yang direkrut tekeng suraro oleh Belanda berperang demi kemenangan dan keagungan Negeri Belanda.  

“Sopaja kamoe soedara-soedarakoe jang tjinta, jang datang deri Djawa atau Ambon, deri Ternate atau Menado, deri Madoera atau Soenda, deri Timor atau Celebes, sopaja kamoe djoega bisa menjanji seperti teman-temanmoe Wolanda ditengah-tengah marsch, di tempat brenti dalam prang (bivak) atau di
dalam tangsi
,” Tehupeiory.

Bait kedua lagu berjudul “Wilhelmina, Radja Nederland” itu tampaknya bermaksud mengajak para tentara untuk menyatakan hormat dan setia kepada Sang Raja.  

Poetri jang teroetama!
Koehormat namamoe
Kau bergelar
Pertama"
Oentoeng Karadjaanmoe".
Di W'landa dan Hindia
Samoea bertetap
Padamoe, Jang termoelia
Tida laloe s'kedjab.

Keagungan bendera Belanda, putih, merah, biru dinyatakan dalam lagu berjudul “Hormat Bagi Bandera Wolanda”.

Bandera Wolanda jang elok permai,
Warna merah, poetih, biroe;
Bawahnja kami hidoeplah berdamai:
Tiada berhara-hiroe.
Kasihlah naik pandji Radja ini
Didarat, dilaoet, disana, sini,
Di benteng, di kapal, dimana-mana
Berkibar bandera tanah.
.
 
Di dalam bait berikut lagu itu memuat arti masing-masing warna. Warna biru berarti “setia”. Putih artinya “bersih”. Merah diartikan “darah” sebagai simbol pengorbanan jiwa dan raga. 

Bendera ‘Tanah Nederland” ini, oleh syair nyanyian diminta untuk dijaga dengan sekuat tenaga. Bendera atau panji menjadi simbol pengharapan.

Didalam pap'rangan jang amat lebat
Kau simpan bandera ini!
Maskipon moesoehmoe terlaloe koeat
Djangan ingat sana-sini.
Pandji jang elok itoe pengharapan,
Biar moesoeh besar di tanah lapang
Bri hormat pada pandji tanah W'landa

Hai kawan, tinggi dan rendah!

Bagi tentara dalam perang, jiwa patriotisme dan heroisme bagi cita-cita kemenangan dan kemahsyuran penguasa yang memberi perintah adalah yang paling penting. Namun, dalam situasi yang jauh dari keluarga atau orang-orang yang dicintai, melihat kawan sepasukan tewas ditembak, kesedihan dan putus asa membutuhkan penghiburan rohani. Buku kumpulan nyanyian itu menyediakan pula lagu yang bernuansa religius. Judul nyanyiannya adalah “Sombahjang Bala Dan Soldadoe”. Berikut salah satu bainya:


Toehan palihara Dia,
Jang kami bersatia,
Tjinta, kasih dan hormati
Dengan sagenap hati.
Dengar djoega, minta-an kami
Bri Berkat, kapadanja
Permaisoeri Wilhelmina
Jang perentah kami hina.


Perang Aceh tahun 1873-4 ternyata begitu membekas dalam dunia kemiliteran Belanda. Sampai-sampai pengalaman dalam perang itu juga dibuat lagu. Judul nyanyian itu “Bersendjata!”. Berikut syairnya:

1.
Mari, teman! kami djalan,
Lekas, djangan bertatalan
Bersendjata lawan Atjih!"
Djangan kami takoet mati!
Djangan- takoet, kami menang
S'bentar poelang, hati senang
Pakai tanda kaberanian. (2 kali)

2.
Lekas sadia, deng' tjepat,
Djangan kasih moesoeh rapat!
Tembak dia sampai djatoeh,
Djangan kasih tinggal satoe
Djangan takoet, kami menang:
S'bentar poelang hati senang
Pakai tanda kaberanian. (2 kali)

3.
Baik Atjih djadi rendah
Taalok bawah Wolanda
Dan hormat Maharadja grang
Sopaja hidoep dengan s'nang
Djangan takoet, kami menang:
S'bentar poelang, hati senang
Pakai tanda kaberanian. (2 kali)

4.
Di pertengah medan perang
Pakailah snapan dan pedang;
Djangan hilang pengharapan,
Lihat moesoeh dihadapan.
Djangan takoet, kami menang:
S'bentar poelang, hati senang
Pakai tanda kaberanian. (2 kali)

5.
Tagal itoe, ketjil besar
Djang' takoet, tetapi dengar:
Atjih haroes dihabiskan
Dan djoega di taklokkan.
Djangan takoet, kami menang:
S'bentar poelang, hati senang
Pakai tanda kaberanian. (2 kali)

Bukan cuma syair-syair nyanyian yang termuat di buku itu. Pantun yang dinyanyikan, juga dirasa dapat memberi hiburan bagi para tentara di tengah waktu senggang.

1.
Kapal Ambon djalan Menado
Ha, were, were, were, were bom bom bom
Haloean soensang ka tandjong Allang
hoera! hoera! Victoria, hoera!
Victoria! Victoria! were, were, were, were, bom
bom bom.
(2 kali).

2.
Anak Ambon teeken soldadoe
Ha, were d.
l.l.
Doea ratoes belandja djalan
Hoera! hoera! Victoria d.
l.l.(**)  




_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.


Wednesday, May 8, 2019

Pelabuhan Manado Pada Awal Abad 20



Pelabuhan Manado di masa kolonial. (https://id.pinterest.com)




Pada awal abad 20, pelabuhan Manado ramai dikunjungi kapal-kapal untuk melakukan aktivitas perdagangan, kopra adalah produk andalan yang diekspor dari pelabuhan ini



PELABUHAN Manado di awal abad 20 memegang peranan penting bagi ekonomi di jazirah utara Celebes. Kapal-kapal dari berbagai daerah dan negara ramai berlabuh di pelabuhan ini. Kopra adalah barang ekspor andalan.

Jumlah koprah, salah satu barang ekspor utama, yang dikirim pada tahun 1914, 1915 dan 1916, adalah 142.000, 89.000 dan 120.000 pikul,” demikia buku berjudul Netherlands East Indian Harbours, diterbitkan oleh Netherlands-East-Indian Government,Batavia 1920.

Disebutkan, pelabuhan Manado memiliki pengaruh dalam arus perdagangan di Hindia Belanda. Muara Sungai Tondano adalah penopang utama pelabuhan itu. Dulunya, muara ini tidak terlalu baik untuk navigasi. Muara sungai yang semakin dangkal ke arah bibir pantai, membuat pelabuhan itu sebelumnya tidak terlalu baik. Namun, berkat pembangunan muara sungai itu akhirnya dapat menjadi penopang untuk pelabuhan.

Di masa itu, ada tiga rumah adat besar yang dibangun di lokasi pelabuhan.Lebar dan kedalaman pantai yang tidak maksimal, membuat aktivitas bongkar muat tidak efektif. 

“Terlepas dari situasi di atas, perdagangan dan navigasi terus meningkat sebagai akibat kemakmuran wilayah Menado dan sekitarnya,” demikian tercatat di buku itu.

Daerah-daerah di semenanjung utara Sulawesi, seperti Minahasa, pulau Sangihe dan Talaud dan Bolaang (Mongondou) menjadi bagian dari aktivitas pelabuhan Manado.  Kapal uap besar yang berlayar ke Jepang dan Asia Timur mengangkut produk dari Gorontalo, daerah-daerah di sepanjang teluk Tomini dan Ternate.

Sirkulasi barang yang khusus berasal dari Manado,nilainya adalah: tahun  1913 sejumlah 8,500,000 gulden; tahun 1914 sejumlah 9,300,000 gulden; tahun 1916 senilai 7,200,000 gulden.Tahun 1918 meningkat menjadi 11,600,000 gulden.

Nilai impor adalah 60-70 persen dari total dan sebagian besar terdiri dari beras dan barang-barang kain.Pada tahun 1914, 1915 dan 1916 masing-masing 95.000, 91.000 dan 108.000 pikul.

Di tahun-tahun itu, produk ekspor yang utama adalah kopra. Pada tahun 1914, 1915 dan 1916 jumlah yang diekspor adalah 142.000, 89.000 dan 120.000 pikul.

Seperti dicatat pada buku itu, pedangkalan sungai Tondano adalah salah satu yang menjadi masalah bagi perusahaan-perusahaan komersial di Menado yang menggunakan pelabuhan ini. Aktivitas pelabuhan,terutama kapal yang berlabuh untuk melakukan bongkar-muat sering terganggu. 

Pada tahun 1919 biaya untuk pembangunan pelabuhan yang lebih modern yang bersama dengan itu adalah perbaikan muara sungai telah disiapkan oleh pemerintah. Perbaikan meliputi pembangunan dermaga yang agak menjorok ke laut dan pembangunan bendungan di tepi kanan sungai.

Dengan begitu, maka perlu dilakukan pengerukan sungai, sehingga saat air surut kedalamannya bisa mencapai 2 M. Dengan kedalaman seperti itu, dirasa akan lebih memungkinkan kapal berlabuh. Biaya yang dibutuhkan menurut perkiraan, sebanyak 1 juta gulden.   

Dengan modernisasi yang akan dilakukan itu, pemerintah Belanda terutama departemen yang bertugas mengurus pelabuhan memperkirakan akan terjadi peningkatan nilai ekspor sebesar 20 juta gulden. Ditambah dengan kenaikan harga kopra dan lagi dengan semakin banyak perkebunan kelapa yang dibuka, maka jumlahnya akan naik hingga 25-30 juta.

“Peningkatan yang sangat diinginkan ini juga akan sangat penting bagi penduduk Minahasa, yang kesetiaannya untuk Belanda dan Ratu telah berkali-kali diungkapkan dengan cara yang mencolok.”


Buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 1978 menyebutkan, di tahun 1920, pelabuhan Manado dan Amurang merupakan dua pelabuhan yang paling ramai dikunjungi di jazirah utara Celebes ini. Kapal-kapal yang membawa dan mengirim komoditi banyak yang berlabuh di pelabuhan itu.

Komoditi yang dibawa masuk antara lain, berbagai jenis kain, barang pecah belah, arak, garam, beras, bir, teh, gula. Lalu berbagai macam barang dari karet, juga semen, kapur, makanan kaleng, seng, ikan asin, kulit sepatu, korek api, pisau dan barang- barang dari logam lainnya. Kemudiaa sabun, tepung terigu, susu, kertas dan alat tulis menulis, rokok dan sebagainya.   Buku itu menyebutkan juga, pedagang-pedagang Cina dan Arab adalah yang paling diutungkan waktu itu. Mereka berada di hampir semua pelosok.

Dengan pelabuhan Manado yang ramai, maka penduduk di kepulauan Sangihe dan Talaud mendapat berkah. Dua daerah ini bahkan dijuluki sebagai daerah ringgit karena hasil kelapanya yang banyak.


Kopra dijual dengan harga F. 25,- sepikul yang dibeli oleh pedagang-pedagang antaranya oleh pedagang-pedagang Jepang yang mulai masuk ke sana kira-kira tahun 1919. Selain kopra, mereka juga membeli pala terutama dari pulau Siau, dan ayam yang dipasaran harganya sekitar 15 sen, dibeli orang Jepang dengan harga sampai f. 2,50 seekor,” demikian dijelaskan di buku itu Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara.


Pelabuhan Manado berakhir masa kejayaannya kira-kira mulai tahun 1950-an. Yaitu ketika aktivitas bongkar-muat barang dialihkan ke Bitung. Sebuah pelabuhan baru yang besar sedang dibangun di sana. Peletakan baru pertama pelabuhan Bitung dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1953.  



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.