Monday, September 12, 2022

CILEGON

KAMPUNG Kumaraka, Manado, 20 Maret tahun 1934. Seorang ulama berusia seratus tahun lebih baru saja meninggal sehari sebelumnya. Ini adalah hari pemakamannya.

Ribuan orang ikut mengantar sang ulama ke pemakaman. Bukannya hanya kaum muslim, tapi juga orang-orang Kristen di kota itu. Sepertinya, mereka sangat kehilangan seorang tokoh yang dihormati. Separuh lebih usianya dihabiskan di Manado.
Ulama itu adalah Arsyad Thawil. Seorang yang telah melewati masa-masa sulit di usia mudanya. Pernah di penjara Glodok, Batavia. Lalu tahun 1888 ke Kema, kemudian akhirnya menetap di Manado
Suatu masa ia adalah orang asing di sini. Ia beda agama dengan kebanyakan orang-orang di mana dia hidup. Dia juga di bawah pengawasan pemerintah kolonial. Namun, sang ulama rupanya suka berkawan. Dia dekat dengan tokoh-tokoh setempat.
Arsyad Thawil mesti dibilang sosok ulama yang berani. Ia tak takut keislamannya luntur hidup di daerah di mana para zendeling Eropa sedang bergiat dengan misi Kristennya. Ketika ia datang tahun 1888 itu, kekristenan di sini sedang dalam perkembangan yang signifikan.
Karena keberaniannya itu pula, sehingga ia adalah ulama Islam yang juga diterima dan dihormati oleh orang-orang Kristen. Kematiannya di bulan Maret tahun 1934 adalah juga duka bagi banyak orang berbeda-beda agama itu.
Orang-orang akrab menyapanya dengan nama Haji Banten. Haji Arsyad Thawil adalah seorang yang diasingkan Belanda dari Banten. Ia dihukum oleh Belanda karena memimpin pemberontakan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1888. Dikenal sebagai "Pemberotakan Petani Banten". Atau pula "Geger Cilegon".
Sejarawan Roger Kembuan dalam bukunya menyebutkan, sebenarnya para pelaku pemberontakan tidak semua dari kalangan petani. Justru banyak dari mereka adalah ulama atau tokoh masyarakat.
Para pemberontak ditangkap oleh pasukan tentara Belanda. Mereka dipenjara, lalu beberapa di antaranya diasingkan.
Haji Banten, atau Haji Arsyad Thawil adalah satunya. Ia dibuang ke Manado hingga meninggal jauh dari tanah kelahiran. Jauh dari Cilegon, kota ia dan ratusan orang lainnya melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Waktu sudah jauh bergerak. Tapi kenangan terhadap sang tokoh terus hidup. Umat muslim di Manado mengabadikan namanya pada sebuah mesjid yang terletak di Jln. Sudirman, Kel. Komo Luar, Kec. Wenang. Mesjid bernama KH. Arsyad Thawil ini berdiri di Manado, "Kota Seribu Gereja", seperti judul buku Ilham Daeng Makkelo, sejarawan dari Makassar itu.
Para peminat sejarah keulamaan dan kepahlawanan Banten, terutama yang masih tergolong masih terikat darah selalu merindukannya. Beberapa kali mereka datang berziarah ke makam KH Arsyad Thawil di Manado.
Tanggal 26 April 2021 terbit di media online Serangnews .com sebuah berita berjudul "Arsyad Thawil, dari Geger Cilegon hingga Potret 'Dakwah' Toleransi di Tengah Komunitas China dan Nasrani". Foto pada berita salah satunya menampilkan gambar Helldy Agustian, kini walikota Cilegon yang ikut berziarah di makam Arsyad Thawil di Lawangirung, Manado.
Tertulis pada berita itu: Helldy Agustian adalah Cicit KH Arsyad Thawil.

--oo00oo--

(dennipinontoan, 12/092022)