Thursday, August 30, 2018

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941
Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka.

PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.   

Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.  

"GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun dengan menumpang kapal motor Van Der Hagen dari Surabaya menuju tanah Toar Lumimuut, Minahasa. Tanggal 13 Maret 1929, mereka tiba di pelabuhan Amurang,” kata Pdt. Hendrik Otto Herman Awuy (meninggal 12 Maret 2012), tokoh gereja Pantekosta di Sulawesi Utara pada perayaan HUT GPdI di Sulawesi Utara ke 82 tahun di Tondano, Selasa (10/5/2011) seperti diberitakan Kabar Gereja

Di Langowan, waktu itu, kata Pdt. Awuy tiga orang dalam iman sedang menanti kedatangan dua penginjil dari Surabaya itu. Mereka adalah Daniel Kalangi, Wilhelminus Saerang, dan Alexander Rumondor.

"Orang-orang ini memiliki kerinduan besar untuk menikmati kebenaran dan kedamaian yang sesungguhnya dalam satu persekutuan bersama," ungkap Pdt. Awuy.

Tahu bahwa dua pemuda itu akan segera datang, mereka pun bergegas menuju ke pelabuhan Manado. Setibanya di sana, mereka langsung masuk ke dalam kapal. Tapi dua orang yang mereka cari itu tak ada. Merekapun bertanya kepada pegawai kapal.

“Pegawai kapal membenarkan bahwa ada dua orang yang selalu mempercakapkan hal-hal rohani, selalu membaca Alkitab dan bersaksi tentang Yesus Kristus, tapi sudah turun di pelabuhan Amurang," Pdt. Awuy mengisahkan.

Mendengar penjelasan ini, Kalangi dan teman-temannya segera turun dari kapal dan naik bus pulang ke Langowan.

Pada tanggal 14 Maret 1929 sekitar pukul 09.30, Wilhelminus pergi ke kantor pos untuk membeli perangko. Di kantor itu ia seolah mendengar sesuatu. Keyakinannya, bahwa itu adalah suara Allah, seperti yang didengar sebelumnya. Suara itu berkata, "Lihat di jalan ada dua orang pengabar injil yang sedang mencari engkau".

Tepat di Desa Wolaang, Langowan di depan rumah Keluarga Manopo-Sumigar, Julianus Repi dan Alexius Tambuwun turun dari mobil. Wilhelminus sangat yakin, dua orang itu adalah yang mereka nanti. Segera ia pun menyambut mereka dengan penuh sukacita.

Itulah perjumpaan pertama kali di antara mereka.  “Sejak saat itu, Gerakan Pantekosta benar-benar tidak dapat dibendung lagi,” ujar Pdt. Awuy dalam kisahya itu.

Kamis, 14 November 1929 di kampung Tondei, Minahasa bagian Selatan. Seorang perantau di Tanah Jawa, pulang kampung. Jan Lumenta, namanya. Dia datang bukan sekadar pesiar. Di tanah rantau, dia telah berketetapan hati untuk menjadi penginjil dalam semangat gerakan Pantekosta. Bersama dia Julianus Repi. 

Di  desa ini, mereka mengadakan ibadah pertama kali di rumah keluarga Ismail Lumenta-Merentek. Orang tua Jan Lumenta. “Ibadah perdana De Pinkstergemente telah menggunakan alat musik berupa gitar sehingga banyak yang beribadah,” tulis Ferlandy Wongkar dalam Sejarah Pertumbuhan Kekristenan, Suatu Kajian Historis Tentang Pertumbuhan Denominasi Gereja di Desa Tondei Dari Tahun 1908-1986.

Meski di desa Tondei kebanyakan sudah memeluk Kristen Protestan atau Indische Kerk, namun Lumenta dan Repi berhasil membaptis sebanyak 37 orang di sungai bernama Rari’ngis. “Tentunya yang dibaptis berasal dari Jemaat Indische Kerk,” kata Wongkar mengutip penuturan tokoh-tokoh GPdI di sana.

Para penyebar awal gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa ini berasal dari Tanah Jawa: Cepu, Surabaya, Batavia. Mereka diutus oleh Pinkstergemeente in Nederlandsch-lndiƫ untuk bekerja sebagai penginjil di daerah-daerah se Hindia Belanda. Mereka adalah para perantau dari Minahasa yang bekerja di sana.

Sejak abad 19, memang sudah banyak orang Minahasa yang merantau ke Tanah Jawa atau daerah lainnya di Hindia Belanda. Ada yang bekerja sebagai ambtenaar, tentara KNIL, pekerja di perusahaan-perusahaan milik Belanda, dlsb. Di Cepu masa itu beroperasi sebuah perusahaan minyak, Bataafse Petroleum Maatschappij.

Pada 23 Februari 1921 tiba di Batavia, D. P. van Klaveren dan istrinya C. van Klaveren-Lucking, serta Cornelius E. Groesbeek, isrinya dan dua orang putri mereka Jennie berusia 12 tahun dan Corie 6 tahun. Mereka berasal dari Bethel Pentecostal Temple, di Seatle Amerika.

Dari Jakarta mereka melanjutkan perjalanan ke Mojokerto, Surabaya, Banyuwangi  dan Bali. Mereka tiba di Bali pada Maret 1921 dan menetap di sana untuk beberapa waktu lamanya. Keluarga Klaveren dan keluarga Groesbeek adalah keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Demikian tertulis pada Bethel Pinksterkerk Nederland.

Di Bali mereka berusaha melakukan penginjilan kepada orang-orang setempat. Mereka bekerja keras di tengah reaksi penolakan dari pemimpin umat Hindu. Khawatir terjadi keributan, pemerintah Belanda bikin aturan yang membatasi ruang gerak bagi para missionaris. Setelah berada di Bali sekitar 21 bulan, keluarga Van Klaveren dan Groesbeek akhirnya keluar dari Bali. Keluarga van Klaveren menuju  ke Singapura dan keluarga Cornelius E. Groesbeek pergi ke Surabaya dan Batavia.

Di Surabaya keluarga Groesbeek bertemu seorang perempuan Belanda bernama  Ny. Wijnen. Ia kemudian mempertemukan keluarga Groesbeek dengan sepupunya bernama Frederik George van Gessel yang tinggal di Cepu. Gessel sudah lama tinggal di sana. Ia lahir 9 Desember 1892. Gessel bekerja pada Bataafse Petroleum Maatschappij, Cepu.

Keluarga Groesbeek kemudian tinggal di rumah Gessel. “Selama periode ini, FG van Gessel menerima semakin banyak wawasan dan pendalaman Injil,” tulis Bethel Pinksterkerk Nederland.

Pada Januari 1923 mereka melaksanakan kebaktian pertama bertempat di Deterdink Boulevard, Cepu. Hadir waktu itu sekitar 10 orang. Kian hari, kian berkembang gerakan Pantekosta di sana.

Pada 30 Maret 1923, sebuah tonggak penting perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia terjadi. Di Pasar Sore-plein, Cepu Cornelius E. Groesbeek dan Johan Thiessen, membaptis 13 orang. Di antara mereka yang menerima baptisan adalah FG van Gessel dan istrinya, SIP Lumoinding dan istrinya, serta  Agust Kops. FG van Gessel kemudian menjadi pemimpin jemaat di Cepu.  

C. van der Laan dalam Pinksterbeweging in Nederland mengatakan, Johan Thiessen (1869-1953) sudah lama berada di Hindia Belanda, yaitu sejak 1901. Hingga tahun 1912 ia bekerja sebagai  misionaris Gereja Baptis. Namun kemudian, ia beralih ke gerakan Pantekosta. Pada tahun 1923 Thiessen mendirikan De Pinksterbeweging (Gereja Gerakan Pentekosta) di Bandung.

Pada tahun 1924, berdiri pula De Pinksterkerk in Indonesiƫ (Gereja Pentekosta di Indonesia). Sumber lain menyebut namanya, Vereeniging De Pinkstergemeente in Nederlandsch Oost-Indie. Gereja ini menurut van der Laan lebih berkarakter Indonesia.

Beberapa orang Indonesia lainnya yang dibaptis dan aktif dalam pengembangan gereja  Pantekosta berasal dari Minahasa. H.N. Runkat, J. Repi, A. Tambuwun, J. Lumenta, E. Lesnusa, G.A Yokom. R. Mangindaan, W. Mamahit, S.I.P Lumoindong dan A.E. Siwi. Mereka adalah perantau yang kemudian memilih jalan sebagai penginjil dalam semangat gerakan Pentakosta.

Nederlandsch Zendings-Jaarboekje,1933 mencatat, De Pinksterbeweging in Nederlandsch-IndiĆ« atau Gereja Gerakan Pentakosta di Indonesia sah menjadi sebuah badan hukum pada tahun 1924 melalui besluit no. 28 tertanggal 4 Juni 1924. Pemimpinnya adalah Johan Thiessen. Gereja ini berada di 27 wilayah, 11 orang pendirinya adalah Eropa dan 6 orang pribumi sebagai pekerja awal.  Anggotanya berjumlah 3.514 orang. Daerah cakupan meliputi Jawa, Sulawesi dan Maluku. Pelayanan dikalukan di kalangan orang orang Eropa dan pribumi.

Lalu De Pinkstergemeente in Nederlandsch Indiƫ atau Gereja Pantekosta di Indonesia juga mendapat pengesahan dari pemerintah dengan besluit no. 29 tertanggal 4 Juni 1924. Gereja ini adalah pecahan dari De Pinksterbeweging in Nederlandsch-Indiƫ yang melayani orang-orang Eropa, pribumi dan orang Timur asing di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Timor. Sebagai ketua adalah F. G. van Gessel, Sekretaris H. E. Horstman, dan Bendahara W. Mamahit.

Pada Sabtu, 19 Juli malam di Litsonlaan, Bandung, seperti diberitakan koran De Preanger-Bode edisi 21 Juli  1924, De Pinkstergemeente in Nederlandsch IndiĆ«  melaksanakan sebuah pertemuan untuk pemilihan pengurus. Hadir anggota jemaat setempat sebanyak 21 orang. Wakil dari Surabaya sebanyak 36, ​​lalu dari Temangung dan Cepu, Makasar, dan lain-lain. Terpilih sebagai ketua D.H.W. Weenink van Loon, Sekretaris:  Ch Saul, bendahara J.P. Barends. Duduk di dewan adalah Barends Muller, W.M. Bernard, C. Groesbeek, D. van Klaveren dan FG van Gessel.

Para penginjil De Pinkstergemeente in Nederlandsch IndiĆ« harus mendapat ijin dari pemerintah untuk melakukan pekerjaannya. De Indische courant edisi 19 April 1930 misalnya menyebutkan, penginjil Jan Lumenta  mendapat izin untuk melaksanakan pekerjaan pelayanan di Amurang. Disebutkan, Jan Lumenta melakukan pekerjaan di kalangan penduduk Eropa, Cina, Menado dan Ambon di keresidenan Menado,  Amboina dan Ternate.

De Indische courant edisi 16 Mei  1930 H.N. Runkat, penginjil dari gereja ini mendapat ijin untuk melayani orang-orang Kristen  Eropa,  China, Jawa Timur, Jawa Tengah yaitu Yogyakarta, Surakarta. Juga untuk orang-orang Manado  di Sulawesi. 

Koran Bataviaasch Nieuwsblad edisi 04-12-1931 memberitakan, C. A. Jocom, mendapat ijin untuk melakukan penginjilan di keresidenan Manado.  A.W.L. Pattiradjawane  mendapat ijin untuk bekerja di Makassar bagi orang-orang Eropa, China, Ambon dan Manado. 

De Indische Courant dalam terbitan 20 Agustus 1934 menyebutkan,  penginjil Ong Ting Soei mendapat ijin melayani di Jawa Timur.  

Koran itu, pada edisi 28 April 1937 juga memberitakan,  penginjil A. Palapa mendapat ijin untuk melakukan pekerjaan di Raanan-Lama. S. Lumenta di Tondei. G. Pesik di Raanan-Baru. C. Mintalangi Repi di Ranomea. E.C. Tengker di Tompasso-Kawangkoan. R . Wuhilo di Wiau- Lapi, P. Rumengan di Tambelang, M. Mokolomban di Tombatoe, Ratahan. J. Pallappa ke Tondano. S.P. Pitoy di Remboken. C. Langitan di Tomohon.  E. Wangke dan JK Wanke,  B. Paat di Sawangan.

Langowan, sebuah kota kecil awal dari gerakan ini berkembang banyak denominasi gereja bercorak Pantekosta. Perpecahan menjadi bagian dari sejarah gereja ini.

“Sejarah gerakan Pentakosta di Indonesia, dilihat dari sudut lembaga-lembaganya, sangat rumit disebabkan banyaknya perpecahan yang terjadi,” kata Th. van den End, dalam Ragi Carita.



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

Saturday, August 25, 2018

Guru Amal Modjo dan Warga Jaton di Gorontalo

Mesjid Al Mutaqqin di Yosenogoro. Bangunan pertama terbuat dari kayu yang didirikan oleh Amal Modjo. Foto: Bulletin Umulolo, 2017

Salah satu lulusan Kweekschool atau Sekolah Guru di Tondano pada tahun 1902 adalah keturunan Kyai Modjo bernama Amal Modjo. Ketika pindah ke Gorontalo, bersama rombongannya mereka mendirikan Kampung Jawa Yosonegoro, Amal Modjo menjadi guru di sana.

KAMPUNG Jawa Tondano (Jaton) berdiri tahun 1830. Di Minahasa, pada masa kolonial,  selain sekolah-sekolah yang didirikan oleh zending, pemerintah juga mendirikan sekolah untuk umum, antara lain Kweekschool atau Sekolah Guru di Tondano.

Dalam perjalanannya, di awal abad 20 lahan untuk digarap oleh masyarakat Kampung Jaton semakin sempit.  Maka, sekelompok orang dari kampung ini bermigrasi ke Gorontalo dengan membawa tradisi, budaya dan pengetahuan-pengetahuan baru yang diperoleh dari interaksi mereka dengan masyarakat masyarakat Minahasa yang mayoritas Kristen dan sistem pendidikan modern Belanda.

“Di antaranya yang pergi adalah keluarga dekat Kiai Modjo, Amal Mojo (disebut dengan nama panggilan “Guru Apo”) seorang cucu dari Kiai Mojo dari anaknya bernama Ghazali, lulusan kweekschool (sekolah Guru) di Tondano dan kemudian diangkat sebagai guru yang ditugaskan ke Gorontalo pada 1902,” tulis Roger Allan Christian Kembuan pada tesisnya di Program Pascasarjana Sejarah UGM tahun 2016 berjudul, Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano (1830-1908).

Majalah Maandberigt van het Nederlandsch Zendeling-genootschap, no 1, 01-04-1874 menyebutkan Kweekschool di Tondano didirikan oleh pemerintah pada April 1873. Kweekschool dimaksukan untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah-sekolah umum. Oleh karena Kweekschool ini milik pemerintah, maka orang seperti Amal Modjo yang berlatar belakang agama Islam dapat diterima di sekolah itu. 

Kyai Modjo, buyut Amal Modjo adalah buangan dari Jawa Tengah karena terlibat dalam Perang Jawa (1825-1830). Bersama rombongannya, mereka kemudian mendirikan Kampung Jawa Tondano tahun 1830. Dalam silsilah keluarga besar Modjo disebutkan, kakek Amal Modjo adalah Ghazaly Modjo, dan neneknya adalah seorang perempuan Minahasa bernama Ringkingan Tombokan. Ayah Amal Modjo adalah anak laki-laki tertua Ghazali dan Ringkingan bernama Djumal Modjo.

Di Kampung Jawa Tondano, seperti dicatat Kembuan, pada tahun 1880-1884 Ghazaly Modjo terpilih sebagai Hukum Tua pertama hasil pemilihan. Sebelumnya, yaitu pada tahun 1859-1880 ia berstatus sebagai penghubung.

Menurut Tim G. Babcock, ketika pindah ke Gorontalo, Amal Modjo bersama Imam Rahmat Tumenggung Ses. Merujuk dari cerita dari masyarakat Kampung Jawa Tondano, bahwa alasan kepindahan itu adalah karena semakin terbatasnya lahan untuk dikelola. “Kekurangan lahan, menurut sejarah lisan sebagai satu-satunya motivasi untuk migrasi,",” tulis Babcock dalam bukunya, Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity, terbit tahun 1989.

Kembuan mencatat,  lahan yang mereka kelola adalah warisan sejak kampung ini terbentuk tahun 1830 berupa  sawah, kebun kopi dan beberapa tanah yang telah ditanami sejak awal.

“Hal ini mengakibatkan tanah menjadi semakin sedikit dan pada tahun 1904 sebagian penduduk mulai berpindah ke Gorontalo untuk mendapatkan tanah pertanian dan tinggal di sana sebagai petani. Mereka membuka sebuah kampung yang baru yang dinamakan Kampung Jawa Yosonegoro,” tulis Kembuan.

Pada tahun 1925, lanjut Kembuan, berdasarkan undangan dari keluarga Kiai Modjo yang telah menjadi "kepala kampung di sana" datang gelombang berkutnya yang berpindah ke sebuah daerah di dekat Limboto, Gorontalo dan membentuk Kampung Jawa Reksonegoro.

Buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978 menyebutkan, pemindahan tersebut adalah program pemerintah sebelum transmigrasi lokal usulan Minahasa Raad. Kelompok dari Kampung Jawa Tondano yang pindah ke Gorontalo tahun 1904 berjumlah empat puluh kepala rumah tangga. Merekalah yang mendirikan kampung Yosonegoro dekat Limboto. Kelompok kedua tahun 1910 sebanyak sepuluh kepala keluarga. Mereka mendirikan kampung Kaliyoso.

“Tahap ketiga yaitu yang terbesar, sebanyak seratus dua puluh lima kepala keluarga yang mendirikan kampung Reksonegoro (Isimu), dilakukan tahun 1925,” demikian dicatat buku itu.

Di kampung Yosonegoro, Reksonegoro dan Kaliyoso Gorontalo, Amal Modjo dan rombongannya tetap membawa tradisi dari kampung Jawa Tondano. Dialek Jaton, pertemuan bahasa Tolour Minahasa dan sebagian bahasa Jawa menjadi bahasa tutur warga asal Kampung Jaton di Gorontalo. ‘Ba’do Ketupat’ atau hari raya ketupat, yang khas masyarakat kampung Jaton, juga terus dirayakan oleh mereka di Gorontalo.

Dalam silsilah keluarga besar Modjo disebutkan, Amal Modjo menikah dengan R.A Bandira Danupoyo dan memiliki 5 orang anak: Aisah Modjo, Hasan Modjo, Saleh Modjo, Ismangun Modjo dan Kamil Modjo. Hasan Modjo, anak kedua Amal Modjo menurut Gina S Noer dalam Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner adalah teman kelas ayah B.J. Habibie ketika bersekolah di Hollandsch Inlandsche School Gorontalo.


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

Wednesday, August 22, 2018

Syekh Mas Mohammad Arsyad Thawil, Hadji Banten di Manado

Haji Moh. Arsyad Thawil
Syekh Mas Mohamad Arsyad Thawil, dikenal sebagai Hadji Banten, menikah dengan perempuan Minahasa dan memilih menetap di Menado sampai akhir hayat. Dengan keislamannya yang ramah, ia dihormati oleh banyak orang, baik muslim maupun Kristen.  


KAMPUNG Kumaraka, 20 Maret 1934. Hari baru lepas subuh. Pukul 5.00 pagi. Orang banyak berkumpul di sebuah rumah. Mereka sedang mengikuti prosesi pemakaman seorang ulama besar. Haji Arsyad Thawil atau Haji Banten, nama ulama sepuh itu. Sekira 40 tahun sudah ia hidup di daerah ini. Tokoh ini diasingkan oleh Belanda dari Banten tahun 1889.

“Pada pukul 5.00 pagi hari ke 20 Maret 1934, jenasah Bapa Hadji diiringi ribuan muslim dan non muslim ke pemakaman Islam di Kokaweg,” tulis Michael Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara, terbit 2015 mengutip sebuah koran berbahasa Belanda.

Berita koran ini menyebutkan, orang-orang yang hadir dalam pemakaman tersebut, selain mereka yang beragama Islam, juga non muslim atau Kristen. Rupanya tokoh ini diterima dan dihormati oleh kalangan luas di Manado dan Minahasa pada umumnya. Koran berbahasa Belanda lain, Provinciale Geldersche en Nijmeegsche Courant edisi 28 Mei 1934, juga memberitakan kematian dan prosesi pemakaman Haji Banten.

Ulama ini bernama lengkap Syekh Mas Mohammad Arsyad Thawil al-Bantani al-Jawi atau lebih dikenal Syekh Arsyad Thawil. Namanya juga sering ditulis ‘Hadji Mohamad Arsad Tawil’. Usianya sudah sangat uzur ketika meninggal pada 19 Maret 1934.

“Pada usia lebih dari 100 tahun, bapa Hadji Banten meninggal dunia di rumah di kampoeng Koemaraka sebagai interniran tertua di Minahasa,” tulis Laffan.

Pada tahun 1912, dengan besluit dari pemerintah Belanda Haji Arsyad Thawil diangkat menjadi Penghoeloe Landraad.  Di Minahasa ia diangkat sebagai penghoeloe landraad dan ia juga bertindak sebagai guru agama Islam di daerah itu,” tulis Provinciale Geldersche en Nijmeegsche Courant.  

Sebagai seorang ulama dan intelektual namanya juga dikenal di seluruh wilayah Hindia Belanda.

“Dikenal sebagai Hadji Arsjad Tawil, dia masyur dalam surat-surat kaum terpelajar di Leiden, dan Bapa Hadji adalah sahabat dekat pakar Islam, Prof. Snouck Hugronje, sang guru besar di Leiden yang mengajar para hakim senior,” tulis Laffan.

Haji Arsyad Thawil lahir di desa Lempuyang, Tanara, Kabupaten Serang. Tidak jelas tanggal kelahirannya, tapi pada batu nisannya tertulis 1851 M, sementara versi Laffan menyebut tahun 1854. Versi terakhir ini agaknya sesuai dengan lampiran daftar nama buangan pada buku berjudul,The Peasants’ Revolt of Banten in 1888 karya Sartonon Kartodirdjo yang menyebutkan, ketika diasingkan Haji Arsyad Thawil berusia 34 tahun. Nama lahirnya, Mas Mohammad Arsyad. Gelar "Mas" di depan namanya adalah singkatan Permas, gelar kebangsawanan Banten dalam garis keturunan sultan.

Ulama ini bukan orang sembarangan. Seorang intelektual muslim pada zamannya dan kritis terhadap pemerintah kolonial. Pengetahuan keagamaan Haji Arsyad Thawil antara lain diperolehnya di Mekkah. Tahun 1867, diusia yang masih sangat muda, ia berguru pada Syekh  Abdul  Ghani  Bima, lalu kemudian  berangkat ke Mekkah. Di Mekah ia belajar langsung dari Syekh Zaini Dahlan dan Kyai Nawawi Albantani. Pada 27 Februari 1879 ia diangkat sebagai ‘syekh’ yang mengurus orang-orang Indonesia yang naik haji. Di sana ia berkenalan dengan Prof. Dr. Snouck Hurgronje yang kemudian menjadi temannya. Pada tahun 1886 Haji Arsyad Thawil kembali ke Indonesia, dua tahun sebelum pemberotakan Cilegon.

Gara-gara terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda di Cilegon, Banten, Jawa Barat tahun 1888, ia dan beberapa ulama lainnya diasingkan ke Tanah Minahasa, mula-mula di Kema.  

Koran Algemeen Handelsblad edisi 3 Agustus 1889 memberitakan pengasingan empat pemberontak dari Banten. Disebutkan, keempat orang itu adalah, “Hadji Mohamad Arsad Toebagoes, Hadji Achmad, Mas Hadji Mohamad Arsad Tawil dan Hadji Koesiu.”

Laffan menyebutkan lagi, Haji Arsyad Thawil adalah seorang yang masih muda ketika dibuang. Sebelum diasingkan ke Tanah Minahasa, bersama beberapa orang lain yang juga dituduh pemberontak, ia terlebih dahulu dipenjara di Glodok, Djakarta. “Mendiang Hadji datang sebagai seorang muda ke Airmadidi via penjara glodok di Djakarta, dengan tuduhan sebagai penghasut pembrontakan Banten,” tulis Laffan.

Tahun 1890, Haji Arsyad Thawil menikah dengan seorang perempuan Minahasa bernama Magdalena Runtu, ketika memeluk Islam berganti nama menjadi Tarhimah Magdalena Runtu. Magdalena Runtu lahir tahun 1850 dan meninggal tahun 1937.

Di Manado, Haji Arsyad Thawil giat melakukan dakwah, sosial dan mengusahakan pendidikan untuk umat Islam di daerah ini.
Pada bulan Agustus 1923, organisasi Sarekat Islam menggelar Nationaal Congres Celebes di Manado. Hadir dan sekaligus memimpin kongres itu adalah pimpinan Sarekat Islam  H.O.S. Tjokroaminoto. Pada waktu itu haji Arsyad Thawil bertemu dengan Tjokroaminoto. Ia kemudian diangkat sebagai adviseur Hoofd Bestuur Locaal Syarikat Islam Menado.

Surat kabar De Preanger-bode  edisi 4 November 1923 dalam beritanya menyebutkan, kongres tersebut dihadiri oleh delegasi dari  Bolang Mongondow, Gorontalo, Boenta, Parigi dan Paloe, selain SI lokal untuk Maroekoe (pulau Tidore). Hadir pula organisasi-organisasi lain, seperti  Perserikatan Minahasa, Perserikatan Celebes Minahasa, Partai Kommunist Nederland Indie. Selain itu, ada pula delegasi dari berbagai masyarakat non-politik, Arab, Cina, Minahasa dan Jawa.

“Fakta bahwa penduduk Minahasa kebanyakan adalah Kristen, Protestan serta umat Katolik, dan bahwa orang-orang dari agama yang berbeda ini telah terjalin pada pertemuan membuktikan bahwa kongres ini benar-benar menanggung nama ‘Nationaal Celebes Congres’”, tulis De Preanger-bode.

Bataviaasch Nieuwsblad edisi 1 Maret 1918 memberitakan ijin dari pemerintah Belanda untuk kepulangan Haji Arsyad Thawil dan beberapa ulama lainnya yang diasingkan. “Hadji Balki, Hadji Muhammad Kanapiab, Mas Hadji Mohamad Arsad, Hadji Mohamad Arsad Tawil dan Hadji Boerak diizinkan untuk kembali ke negeri asal mereka (tempat tinggal Bantam),” tulis Bataviaasch Nieuwsblad dalam bahasa Belanda. 

Namun, Haji Arsyad Thawil memilih tidak pulang lagi ke tanah kelahirannya. Ia memilih menetap di Manado, Tanah Minahasa, di negeri istrinya Magdalena Runtu yang setia hidup bersamanya sampai kematiannya pada tahun 1934. Lagi pula ia telah telah menjadi tokoh, bukan hanya bagi umat muslim di Sulawesi Utara, tapi juga bagi semua orang di sini melalui keislamannya yang ramah. 

Surat kabar Algemeen Handelsblad dalam pemberitaan edisi 1 Desember 1923 mengutip kesan Snouck Hurgronje tentang sahabatnya Haji Arsyad Thawil yang disampaikannya dalam sebuah artikel. Bagi Hurgronje, Haji Arsyad Thawil adalah seorang yang setia dan suka membantu serta tidak suka menonjolkan diri.

"Bagi saya, selama saya tinggal di Saudi, dia adalah seorang teman yang setia dan suka membantu. Dia menolak fanatisme sempit,” kata Hurgronje.



_______________________

Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.