Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 |
“Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa
yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering
disalahartikan.
SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu
itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang
berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main
sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang
Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh
Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang
si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea.
“Terkejutlah juga kami
mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun
2003.
Di masa perpeloncoan mahasiswa
di tahun 1950-an itu, kata Roeroe, lagu “Sayang-sayang si Patokaan” sangat
sering dinyanyikan sebagai salah satu lagu daerah oleh mahasiswa baru.
Roeroe ternyata tahu riwayat
lagu rakyat Minahasa ini, bahkan pernah melihat naskah aslinya dengan dua ayat.
“Sebenarnya lagu ini lagu rakyat Minahasa berupa cemoohan orang-orang Tatelu
kepada orang Patokaan,” ungkap Roeroe.
Desa Patokaan terletak di
sebelah barat laut bandar udara Sam Ratulangi di Mapanget kini. Jarak Patokaan
dari bandar udara, jika mengikuti jalan umum sekarang, kira-kira 8 km. Menurut
Roeroe, hingga tahun 1930-an, kawasan yang kemudian menjadi bandar udara itu, termasuk desa Patokaan adalah rawa yang menjadi sarang nyamuk penyebab penyakit
malaria.
Tapi bagi orang-orang
Minawerot dan Tatelu-Laikit, tempat itu baik untuk dibuat
menjadi lahan perkebunan. Maka sejak tahun 1920-an, kata Roeroe, mulailah
orang-orang Minawerot dan Tatelu-Laikit membuka lahan itu untuk ditanami kelapa
dan berbagai jenis pohon buah-buahan.
“Untuk itu mereka yang
mula-mula masih sering pulang, karena sibuk sekarang mulai menginap dan menetap
(= matoka, bahasa setempat), lalu tempat itu mulai digelar Patokaan = Tempat
mampir, menginap atau seperti burung mulai ‘hinggap’ di sana,” urai Roeroe.
Maka, jadilah Patokaan sebagai
kampung pemukiman. Sementara nyamuk-nyamuk yang hidup di rawa juga tetap masih
merajalela di sana.
Di zaman pendudukan Jepang
1942-1945, sebagian daerah rawa itu dibangun lapangan terbang untuk pesawat-pesawat tempur dan gudang-gudang logistik Jepang. Kelak, lapangan
terbang ini disebut lapangan terbang Mapanget mengambil nama desa di sekitar
situ.
H.B. Palar dalam Wajah Baru
Minahasa (2009) mengisahkan bagaimana orang-orang Minahasa di masa
pendudukan Jepang menjadi pekerja paksa (kerja rodi) membangun lapangan terbang
itu. Seminggu, tiap kampung atau beberapa kampung bergabung menjadi
satu rombongan besar mengerjakan proyek perang, yaitu perluasan lapangan udara
Kalawiran, kemudian Mapanget.
Menurut Palar, medan yang
paling berat adalah Mapanget. “Bukit diratakan dan lekuk-lekuk ditimbun
semuanya dengan tenaga manusia memakai peralatan minim seperti gerobak, kalekos
dan sebagainya. Manusia harus berjuang mengatasi rawa dan berperang melawan
nyamuk serta malaria,” tulis Palar berdasarkan rekamannya dari penurutan
orang-orang tua yang merasakan langsung kerja paksa itu.
Setiap pekerja, tulis Palar
harus menyiapkan bekalnya sendiri. Ribuan orang ditampung dalam barak-barak
bambu, tanpa kamar mandi, tanpa WC kecuali semak belukar di belakang
barak-barak. Ketika terjadi pemboman orang harus berlari terbirit-birit. Pada
waktu siang dibom oleh sekutu, pada malam ditimbun oleh para giliran.
“Banyak orang Minahasa mati
karena kerja paksa di situ dan kalaupun ia masih pulang kampung pasti ia
pucat-pucat kuning karena malaria itu,” tulis Roeroe.
Menurut Roeroe, begitupula
keadaan penghuni awal di Patokaan. Ketika mengolah lahan di sana, mereka
pucat-pucat ke kuning-kuningan karena terserang malaria.
“Sewaktu-waktu tertentu si
penderita ini menggigil keras, karenanya, bahasa Melayu Menado disebut
‘totofore’”, tulis Roeroe.
Orang-orang Patokaan yang
pucat dan menggigil karena malaria seperti ini menjadi sasaran olok-olokan atau
cemoohan dari orang-orang Tatelu yang bertemu dengan mereka. Orang-orang Tatelu
menyampaikan olok-olokan itu dalam bentuk lagu yang mereka ciptakan sendiri.
Itulah lagu yang kemudian menjadi sangat terkenal, “Sayang-sayang si Patokaan”.
“Sayang-sayang si Patokaan,
Matigo-tigor-tigor okan,
sayang”
Taan sako mangemo ti tanah
jaoh
Mangemo milek-milek lako,
sayang!”
(Artinya: “Ah kasihan, orang
Patokaan sana!
Menggigil-gigil terus saja
kelihatannya!”
Tapi kalau kau mau berangkat
ke tanah jauh,
Lihat-lihatlah (=
hati-hatilah) diperjalanan
Dalam syair lagu
‘Sayang-sayang si Patokaan’ kata ‘menggigil’ atau totofore muncul dalam
frasa ‘matigo-tigor-gor’.
Kelahiran lagu ini berlangsung
di masa kolonial Belanda. Rupanya, menurut Roeroe, meski orang-orang Patokaan
kurus-kurus, pucat kekuning-kuningan dan sering menggigil karena malaria, tapi
ada juga orang dari sana yang diterima menjadi ‘soldadu’ KNIL (Koninklijke
Nederlandsch -Indische Leger), Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Ada pula
dari sana yang, “Sempat keluar kampung dan menjadi ‘pegawai kecil’ Belanda,”
tulis Roeroe.
Orang-orang Patokaan yang
menjadi tentara KNIL atau pegawai Belanda itu, kemudian membalas cemoohan
orang-orang Tatelu dengan nada yang sama. Menurut Roeroe, kira-kira begini
terjemahan syair balasan itu dalam bahasa Indonesia:
“Memang betul orang Patokaan
ini sering nampak menggigil,
Tetapi biarpun begitu sudah
sempat ia ‘ke Belanda’”
Rupanya, syair balasan ini hendak mau mengatakan
perjalanan lagu ini. Lagu ‘Sayang-sayang si Patokaan” berkelana seantero dunia,
seperti pengalaman Roeroe di tahun 1950-an ketika orang-orang Uni Soviet
menyanyikannya. Orang-orang Belanda juga mengenalnya sejak akhir tahun 1920-an
dan sejak itu memperoleh posisinya sebagai salah satu lagu daerah yang berasal
dari Minahasa.
F.S. Watuseke, dalam artikel berjudul Bahasa-bahasa,
termuat dalam buku Etnik Minahasa dalam Akselarasi Perubahan mengatakan,
bersama lagu Minahasa lainnya, ‘O Ina’ ni Keke’, lagu ‘Sayang-sayang si
Patokaan’, telah dinyanyikan oleh seorang penyanyi dan komponis Minahasa
terkenal, Laan Mogot pada tahun 1928 di Hilversum Nederland. Kemudian direkam
dalam piringan hitam bermerek Decca yang kemudian disebarluaskan di Indonesia
dan luar negeri. "Sekarang kedua lagu yang dimodernisir oleh Laan Mogot
masih tetap populer," kata Watuseke.
Koran berbahasa Belanda, De Sumatra post edisi
17 Desember 1929, misalnya menyebut lagu ini pada iklan sebuah merek piringan
hitam. Lagu ‘Sayang-sayang si Patokaan” yang ditulis “Kasiang si Patokaan”
disebut bersama-sama dengan lagu-lagu lain, seperti, ‘Kole Kole’, ‘Boeroeng
kakatua’, ‘Djoela djoeli’, ‘Bintang Tiga’, ‘Nina Bobo’, dan lain-lain.
Namun, seperti kebanyakan lagu rakyat lainnya,
‘Sayang-sayang si Patokaan’ juga punya nasib tidak beruntung pada hal tertentu.
Para penikmat lagu ini kebanyakan tidak peduli asal-usul kelahirannya dan arti
yang dikandung sehingga sering disalahartikan.
Misalnya dalam buku terbitan Pusat Musik Liturgi,
Yogyakarta, berjudul Folk Song: kumpulan lagu rakyat untuk Trio atau Kor
atau untuk Vocal Group, terbit tahun 1992 menyebut lagu ‘Si Patokaan’,
(nama lain lagu “Sayang-sayang Si Patokaan”) disebut lagu dari daerah Ambon.
Begitu pula dengan buku Kumpulan Terlengkap Lagu
Daerah yang disusun oleh tim Media Puspindo terbit tahun 2016 yang
mengartikan lagu ini sebagai ungkapan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
“Lagu si patokaan merupakan syair kuno yang sering
disampaikan seorang ibu dari daerah Minahasa kepada anak laki-lakinya sudah
baliq, tatkala anak itu telah diwajibkan mencari nafkan sendiri. Syair ini
menunjukkan rasa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang sebenarnya para
ibu tak tega ditinggal anaknya,” demikian dijelaskan dalam buku itu.
Menjadi makin keliru ketika tim penyusunnya
menerjemahkan syair lagu ini dengan kalimat-kalimat seperti ini:
Kasihan si patokahan, alangkah kaku geraknya badannya
Kasihan si patokahan, alangkah kaku gerak badannya
Ia malu dan tak b’rani maju laila ila si patokaa
Ia malu dan tak b’rani maju laila ila si patokahan
Ia malu dan tak b’rani maju laila ila si patokahan
Roeroe sendiri memberi arti lagu itu sebagai gambaran
mentalitas orang-orang Minahasa tempo dulu yang menganggap ‘menjadi manusia’
atau sudah sukses dalam hidup nanti kalau berstatus sebagai ‘soldadu’,
‘ambtenaar’ atau pegawai pemerintah Belanda. Apalagi kalau sudah merantau
melewati pelabuhan Manado.
“Sedikit banyaknya sadar atau tidak sadar itu
diwaris-wariskan kepada generasi-generasi berikut dan jangan-jangan masih
sampai sekarang. Kalau tidak menjadi tentara atau pegawai dia tidak terhitung,
belum ‘menjadi manusia’”, jelas Roeroe.
Lalu, lagu ini dinyanyikan sebagai salah satu lagu
daerah negara ini pada acara pembukaan Asian Games ke-18 tahun 2018 di Jakarta
. Lagu ‘Sayang-sayang si Patokaan’ mengalun indah mengiringi tarian perang kawasaran.
_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan
dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau
penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang
akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk
kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.
Makase banyak.
Makase banyak.
Comments
Post a Comment