Wednesday, April 29, 2020

Flu Spanyol di Minahasa tahun 1918 dan Medis yang Minim



Rumah Sakit Sipil di Manado yang dibangun tahun 1902 (sumber: colonialhospitals.com/KITLV)

Flu Spanyol atau pandemi influenza yang melanda dunia tahun 1918 juga menyebabkan banyak korban meninggal di Minahasa. Ini terjadi di masa baik tenaga maupun fasilitas medis masih sangat minim


FLU Spanyol atau pandemi influenza yang disebabkan oleh virus H1N1 yang menimpa masyarakat dunia pada tahun 1918 juga menyebar hingga ke Minahasa. Diperkirakan pandemi ini telah menyebabkan 20 sampai 40 juta orang sedunia meninggal dunia. Sementara jumlah korban meninggal di Hindia Belanda diperkirakan mencapai 1,5 juta.  

Menurut Priyanto Wibowo, dkk dalam buku mereka Yang Terlupakan, Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda (terbit tahun 2009), virus influenza telah hadir di Hindia Belanda pada bulan Juli. Pada bulan Januari, Konsul Belanda di Hongkong melaporkan kepada konsul Belanda di Singapura bahwa penguasa koloni Inggris di sana telah mengeluarkan peringatan kepada warga untuk mewaspadai penyebaran virus influenza tersebut. Itu berarti virus telah menyebar hingga ke Hongkong.

Lalu pada bulan April, Konsul Belanda di Singapura memberi peringatan kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia untuk mencegah kapal-kapal dari Hongkong. Tapi peringatan itu tidak diindahkan oleh pemerintah. Pada bulan Juli, dilaporkan telah ditemukan sejumlah pasien influenza di beberapa rumah sakit.  

A. C. N. Bouvy, seorang dokter Belanda yang bertugas di Minahasa selama 4 tahun pada artikelnya “De Minahassa En De Geneeskunst” dalam  Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-IndiĆ« Deel 80, 2/3de Afl terbit tahun 1924 menulis, flu Spanyol di wilayah keresidenan Menado mulai menular pada Juli dan Agustus 1918. Itu artinya bersamaan dengan Batavia atau kota-kota pelabuhan lainnya di Hindia Belanda.  

Bouvy menulis, penyakit ini dimulai di Manado, sebagai pusat keresidenan dalam skala yang kecil dan jinak. Sudah pasti, orang-orang pembawa virus datang ke Manado melalui jalur laut. Pada bulan Oktober ia telah meluas dan menjadi sulit dikontrol dan ditangani.

Epidemi Influenza rupanya sangat berdampak pada orang-orang Minahasa. Ketika saya memeriksa epidemi atau penyakit menular mana yang berkobar di Menado selama saya tinggal, gambar dalam memori yang berlaku saat ini dibentuk oleh penyakit Flu Spanyol,” tulis Bouvy.

Kata Bouvy, oleh karena penyakit ini tidak memiliki obat, maka perawatan dilakukan dengan cara simtomatik atau pengobatan untuk mengurangi rasa sakit. Kesembuhan terutama adalah dengan perawatan dan cara pasien menghadapi penyakit tersebut.

Pandemi Flu Spanyol di Minahasa, dan begitu pada umumnya di Hindia Belanda terjadi pada masa fasilitas dan tenaga medis masih sangat minim. Bouvy menggambarkan keadaan ini dengan mengatakan, di Minahassa masa itu terdapat seorang dokter Eropa, dua dokter Pemerintah dan beberapa orang perawat. 

Rumah Sakit Sipil Menado yang dibangun tahun 1902, sebagai satu-satunya rumah sakit pemerintah waktu itu, sungguh memprihatinkan. Terdapat empat bangsal, tapi dengan loteng yang buruk. Menurut penilaian Bouvy, rumah sakit ini sebenarnya tidak memenuhi syarat.

Nanti setelah pandemi itu, baru terjadi perubahan. Ada enam enam gadis pribumi yang dilatih sebagai perawat, juga penunjukkan seorang seorang perawat berkualifikasi Eropa ditunjuk. Rumah sakit diperluas; nutrisi ditingkatkan, dan pembangun ruang khusus untuk penyakit serius.  

Karena minimnya tenaga medis, maka banyak pasien Flu Spanyol yang meninggal karena terlambat dirawat. “Saya telah menyelidiki dan merawat ribuan kasus, sering disebut ketika sudah terlambat,” tulis Bouvy.

Tidak terdapat jumlah pasti orang Minahasa yang meninggal karena flu ini. Tapi berdasarkan sejumlah sumber menyebutkan bahwa kematian di Menado dan Minahasa cukup tinggi, terutama pada gelombang kedua yaitu dimulai bulan Oktober. David Henley dalam Fertility, Food and Fever: Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930 mengutip F.H.W.J.R. Logeman (dalam laporannya berjudul ‘Memorie van overgave van de residentie Menado’, terbit tahun 1922) menyebutkan, salah satu penyebab tingkat kematian di Menado tinggi adalah karena infeksi penyakit malaria yang sebelumnya adalah pembunuh nomor satu di daerah ini. Malaria telah melemahkan imunitas atau daya resistensi terhadap virus yang menyebabkan penyakit flu tersebut.

Selain warga yang meninggal, Bouvy menyebutkan, penyakit ini juga telah membunuh banyak rekan pekerja medisnya. “Banyak rekan telah meninggal secara terhormat dalam perjuangan melawan penyakit ini, meninggalkan janda mereka tanpa pensiun yang cukup,” tulis Bouvy.

Di kalangan orang-orang Minahasa sendiri, menurut Bouvy, kebanyakan tidak mengerti penyakit ini. Ketika terpapar virus banyak yang tidak mengetahui apa yang terjadi. Ketika gejala mereda di masa awal sejak pertama terpapar virus, banyak yang merasa sudah sembuh. Padahal, bahaya dari penyakit ini baru dimulai. “Selama demam dan setidaknya delapan hari setelah itu, seseorang harus tetap beristirahat,” tulis Bouvy. 

Orang-orang belum mengerti pentingnya ‘bed rest atau tirah baring, yaitu beristirahat di tempat tidur secara berkualitas untuk merawat penyakit yang diderita di rumah sakit. Menurut Bouvy, salah satu penyebab orang-orang tidak betah tidur lama karena tempat tidur yang tidak diperuntukkan bagi orang sakit. Tempat tidur yang disebut Bouvy itu terdapat di rumah sakit yang menurutnya tidak layak itu. Tapi, ternyata orang pribumi yang sakit suka tidur di ranjang yang berkasur.

Dalam pengalaman saya, pribumi yang sakit selalu merasa nyaman di ranjang dengan kasur,” tulis Bouvy.

Setelah beberapa tahun pandemi Flu Spanyol usai, yaitu tahun 1924, jumlah penduduk Minahasa mengalami peningkatan cukup signifikan. Abdul Rasyid Asba dalam bukunya berjudul Kopra Makassar: Perebutan Pusat Dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia terbit tahun 2007 mengutip data P. Boomgaard dan A.J. Gooszen (dalam buku mereka berjudul Population trends 1795-1942:  Changing Economy in Indonesia, terbit tahun 1991) menyebutkan, bahwa pada tahun 1915 jumlah penduduk Minahasa adalah 200 ribu jiwa, pada tahun 1924 meningkat menjadi 250 ribu jiwa.(*)  



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com

 082187097616