Wednesday, March 18, 2020

Tuhan ke Mana?




AGAMA-agama dan ruang-ruang sosial sepi. Virus Corona menyerang manusia, masyarakat dan peradaban. Hal keagamaan dan kerutinan masyarakat sejenak berhenti. Peradaban memasuki masa hening.

Orang-orang dunia banyak yang terkena penyakit Covid-19. Banyak yang meninggal. Virus Corona menyerang peradaban yang telah dibangun lama. Masyarakat dunia cemas, panik, takut.  

Negara-negara sedunia punya prosedur bersama secara global menghadapi virus ini. Agar virus tidak menyebar, menurut prosedur global itu, masyarakat mesti menjalankan ‘social distancing’. Bentuknya antara lain, mengurangi atau mendiadakan pertemuan-pertemuan dan jabat tangan.

Nah, ini soal bagi orang-orang beragama. Ritual mesti melibatkan banyak orang. Ibadah di gereja Minggu, Sholat Jum’at, sembayang di Klenteng, di Pura, dlsb, dibatasi atau dianjurkan agar tidak dulu dilakukan. Lalu, jabat tangan yang sudah dianggap bagian dari tindakan keaagamaan juga untuk sementara tidak diperbolehkan. Soal terakhir ini masih perlu dicek, di masyatakat kita kapan tradisi berjabatan tangan bernilai religius.

Demi keselamatan bersama, semua yang merupakan tindakan simbolik keagamaan itu mesti dibatasi dan ditiadakan – untuk sementara tentunya.

Hal yang praktis sosial-medis ini ternyata jadi soal besar dan serius bagi sementara orang beragama. Alasannya, iman yang teguh kepada Tuhan Yang Kuasa adalah imunitas terkuat melawan virus dan apa kuasa saya yang dapat menyebabkan kematian. Jadi, tidak perlulah semua itu dibatasi atau ditiadakan. Seolah agama akan segera mati ketika semua tindakan simbolik itu dibatasi atau ditiadakan.

Tapi, seperti juga ketika terjadi bencana yang lain, orang-orang  bertanya pula, “Tuhan ke mana, masakan tidak turun dari surga lalu bertindak memusnakan virus ini?”  “Ah, Tuhan mungkin sudah meninggalkan kehidupan kita.”

Pada situasi ketika manusia diperhadapkan dengan kekuatan yang mengatasi kemampuan fisik, nalar, pengetahuan dan teknologinya yang membuat dia merasa tidak berdaya, respon religius yang muncul paling tidak dalam dua bentuk yang ekstrim ini. Pertama, atas nama iman menjadi fatalistis, pasrah, yaitu berdiam diri, pasif karena yakin Tuhan pasti akan turun tangan menolong memberi kekuatan dan imunitas. Kedua, marah karena seolah-olah tindakan-tindakan religiusnya selama ini sia-sia. Bukankah menurut dokrin agama, orang yang beriman pasti akan dibela atau dijaga oleh Tuhan yang diimani itu?

Setelah semua benar-benar terjadi, akhirnya dua sikap religius ekstrim ini bertemu dalam pertanyaan ini: “Ke mana Tuhan?” “Mengapa Dia yang Maha Kasih itu mendatangkan bencana?”

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mucul dari doktrin yang menganggap bahwa Tuhan itu ibarat kepala pasukan pemadam kebakaran, yang petugasnya adalah malaikat-malaikat. Agama, dalam doktrin itu, adalah unit atau dinas pemadam kebakaran.

Doktrin inilah yang mengajarkan bahwa, bencana alam, wabah penyakit atau keguncangan sosial yang menyebabkan kepanikan dan korban massal adalah kutukan, azab, sebagai hukuman atau kehendak dari Tuhan. Maka, Tuhanlah yang bertanggung jawab atas semua penderitaan yang dialami oleh manusia. Tapi, bukankah Dia Maha Adil, Maha Kasih dan Maha Pengampun? Tidaklah mungkin Tuhan mendatangkan bencana, penderitaan dan kematian massal.

Untuk memahami ini, kira-kira sederhananya begini. Ketika terjadi kebakaran, maka tidak mungkin pihak yang harus disalahkan adalah kepala, petugas dan dinas atau unit pemadam kebakaran. Rumah kita yang terbakar, mengapa yang disalahkan pemadam kebakaran? Sementara, kita meyakini, bahwa pihak pemadam kebakaranlah yang memiliki sumber daya dan kemampuan memadamkan kebakaran.

Mengapa kita tidak bertanya kepada diri sendiri. Kebakaran mungkin karena kita lupa mematikan kompor. Tidak rutin mengecek instalasi listrik. Atau, lalai sehingga mencabut kabel setrika dari colokan listrik. Kemungkinan lain, mungkin juga karena ada orang jahat yang telah membakar rumah kita. Pokoknya, bukan karena pemadam kebakaran.

Demikian yang benar adalah, pada setiap peristiwa kebakaran, yang dilakukan pertama-tama adalah berusaha memadamkan api, orang-orang tetangga bertetangga bahu membahu memdamkan api, dan baru kemudian menghubungi pemadam kebakaran. Pada peristiwa darurat semacam ini, orang-orang tidak pertama-tama mencari siapa yang menyulut api. Naluri dan nalarlah yang menggerakkan orang-orang untuk pertama-tama menyelamatkan diri, melakukan upaya mengatasi masalah, masing-masing orang bergerak menyatakan solidaritas dan lalu meminta bantuan.

Baru setelah bencana itu usai, orang-orang berefleksi. Secara religius, pihak korban biasanya bertanya ke dirinya, menyesali tindakan ceroboh yang telah menyebabkan bencana itu dan menerima itu sebagai kenyataan tapi kemudian membangun komitmen untuk membaharui pola hidup. Secara emosional, mencari pihak lain untuk disalahkan atau menayalakan diri kemudian menganggap kehidupan ini sungguh sia-sia. Secara frustrasi, dua hal, yaitu pertama, menyalahkan pihak yang dianggap memiliki otoritas dan sumber daya yang terlambat atau tidak melakukan upaya. Kedua, menolak eksistensi pihak itu karena menganggap mereka tidak berguna.

Jadi, Tuhan tidak ke mana-mana di situasi pandemi global virus corona ini. Tuhan ada dan hadir. Tapi, bukan karena keyakinan itu, lalu bersikap pasrah untuk tidak melakukan upaya melawan virus corona; mengabaikan anjuran untuk menjaga jarak, tetap berjabatan tangan karena menganggap Tuhan pasti menolong setiap orang yang beriman kepadanya. Dengan membatasi dan meniadakan pertemuan-pertemuan dan kontak-kontak fisik yang beberapa di antaranya dianggap sebagai tindakan religius bukan berarti Tuhan sedang disingkirkan. Bukan pula berarti iman tidak lagi berguna.

Iman dalam situasi ini mungkin dapat dirumuskan dalam pemahaman, bahwaTuhan sedang bekerja melampaui tradisi dan simbol-simbol agama. Pusat-pusat ritual lokal, nasional atau global menjadi sepi. Itu karena Tuhan sedang bekerja di banyak tempat dan di banyak pihak. Tuhan sedang melampaui klaim-klaim tradisi, doktrin, simbol dan tafsir agama-agama.

Tuhan sedang bekerja bersama para medis yang berjuang merawat pasien positif corona di rumah-rumah sakit, jurnalis yang meliput perkembangan wabah ini, otoritas yang sedang berusaha melakukan segala upaya untuk kebijakan mengatasi penyebaran, dan semua pihak yang terkait dengan upaya melawan wabah global ini. 

Dalam hal ini, manusia menjumpai Tuhan  dalam kepanikan, kecemasan, keadaan sakit di ruang-ruang isolasi dan dari rumah bersama keluarga. Agama (-agama) benar-benar menjadi urusan privat, sebagaimana sejatinya ia ada. Dan Tuhan hadir dalam kerapuhan umat manusia dan peradabannya. (dennipinontoan, 18/03/2020)
   

_______________________

Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui:
dpinontoan6@gmail.com
 082187097616 




Friday, March 13, 2020

Covid-19




Oleh Denni H.R. Pinontoan


SALING bersalaman, untuk sekarang ini, dianjurkan baiknya tidak dilakukan dulu. Apalagi cipika-cipiki.

Dulu larangan bersalaman antar orang-orang tertentu terutama karena alasan agama. Alasannya bersifat doktrinal. Sesuatu yang tak dapat diindera.

Terkini, anjuran itu karena bahaya virus yang bernama corona. Itu juga karena sesuatu yang tidak dapat diindera dengan mata telanjang. Kontak langsung berbahaya menyebarnya virus corona itu.

Orang yang terinfeksi virus ini akan terkena jenis penyakit baru bernama Covid-19 (Coronavirus Disease 2019). Bermula di Wuhan, China, kini sudah menyebar ke kira-kira 104 negara. Ia lalu mendapat gelar sebagai "pendemi global".

Virus ini menyebar cepat. Satu orang diketahui dan ditetapkan positif, maka akan muncul dugaan untuk banyak orang. Seorang yang terinfeksi itu, sebelum diketahui dan positif terkena virus, pasti ia pernah melakukan kontak dengan banyak orang. Manusia itu makhluk sosial.

Dan, selanjutnya demikian.

Pertengahan Januari lalu, terkait mulai mewabahnya virus corona itu, Menkes kita berkata, "Kita berdoa jangan masuk lah ke Indonesia..."

Lalu, di Malaysia selama 3 hari, 28 Februari hingga 1 Maret ada acara Tabligh Akbar di Masjid Petaling. Sekira 10 ribu orang hadir, mereka 27 negara. Di Brunei seorang pria berusia 53 tahun menderita gejala Covid -19. Empat hari sebelumnya ia menghadiri tabligh akbar itu. Maka, ribuan orang yang hadir di acara itu diawasi. Mengawasi 10 ribu orang, bukan pekerjaan gampang. Manusia adalah makluk beragama.

Sejumlah tokoh politik, selebritis dan altlet dunia juga terkena virus ini. Lalu, seorang diplomat Pilipina di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) diumumkan sebagai orang pertama yang positif corona di lembaga internasional itu. 

Seorang teman menulis status di wall FBnya. Katanya dia batal ke luar daerah untuk mengikuti suatu kegiatan. Pihak pengundang menunda atau membatalkan kegiatan itu karena wabah virus corona. Teman itu salah satu dari ratusan ribu atau mungkin jutaan orang yang tak dapat melakukan perjalanan lintas daerah dan negara karena epidemi ini.

***
Seorang yang beragama A, dari suku B, memiliki ras C, mustahil tak akan berhubungan secara langsung dengan orang yang beragama D, E, F, yang bersuku G, H, dan ras I, dst. Langsung atau tidak langsung saling kontak antara yang berbeda niscaya terjadi. Cuma saja, sebelum semua ini terjadi, identitas dibuat mengeras sedemikian rupa. Seolah dunia ini hanya milik sendiri, satu kaum dan satu agama saja.

Virus menyebar melampaui apa yang diklaim oleh manusia. Kata para virolog , virus sebetulnya nanti eksis setelah ia menempel pada organisme hidup. Nah, karena organisme hidup itu, misalnya manusia adalah makhluk sosial, ekonomi dan juga makhluk politik, maka ia kemudian juga menyerang sistem jaringan sosial, politik, ekonomi negara dan dunia. Kehidupan sesungguhnya adalah suatu jaringan kompleks. Satu jaringan rusak, putus maka kacaulah organisme global ini.

Oma saya sering menyebut suatu ungkapan yang mungkin menunjuk ke hakekat itu. "Se tou tumou wo se manou-nou", manusia hidup dengan semua yang hidup dan yang menunjang kehidupan. Kira-kira maknanya, bahwa kehidupan manusia itu tidak lepas dari relasinya dengan makhluk hidup yang lain dan semua yang menunjang kehidupan. Kehidupan adalah suatu struktur yang saling menopang.

Siapa dan apalagi yang tidak bermasalah dengan wabah virus corona ini? Manusia sebagai person, keluarga dan masyarakatnya terkena dampak. Sistem-sistem yang dibuat oleh manusia kena dampak. Sistem negara, sistem ekonomi, sistem transportasi, dlsb.

Juga termasuknya di dalamnya sistem agama. Praktek beragama yang mementaskan simbol-simbol yang sebelumnya hampir mengganti iman didekonstruksi. Orang-orang yang berkumpul berdoa, menyembah Sang Khalik tak bebas dari virus. Maka, Tuhan tidak terutama hadir dalam tindakan-tindakan simbolik. Situasi kini mungkin sedang mengingatkan orang-orang beragama bahwa Tuhan justru hadir dalam diri yang terisolasi ketika kehidupan dan kematian itu hanya dibatasi oleh tirai putih. Tuhan hadir dalam kemurnian hati dan kepasrahan mendalam. Dan kesadaran yang benar, bahwa tubuh ini begitu rapuh.

Demikian dengan bumi, tempat manusia dan makhluk lain berdiam. Akhirnya, sejak kira-kira dua milenium sejak manusia menemukan pengetahuan ilmiah, lalu ia berkembang menjadi teknologi, sistem negara, ekonomi, oleh sejenis virus mengingatkan lagi tentang kerapuhan itu.

Sayang, selama ini, kerapuhan itu justru selalu berusaha diatasi dengan menciptakan pengetahuan, teknologi dan sistem untuk saling menguasai. Master Cheng Yen pendiri Budha Tzu Chi yang berpusat di Taiwan menyebut masalah-masalah global yang sementara kita hadapi disebabkan oleh karma kolektif. Dalam istilah lain, mungkin yang dia maksud adalah dosa-dosa kolektif, dosa-dosa peradaban.

Sistem ekonomi yang mengekploitasi, kekuasaan politik yang menindas, penciptaan teknologi yang memusnakan, gerakan-gerakan politik berbasis tafsir doktrinal sepihak, telah menyebabkan kerusakan-kerusakan besar. Semua saling menuding. Tidak ada yang mau jujur dan mengaku dosa.

Lalu, baru setelah virus corona menjadi epidemi global, kita manusia baru sadar betapa pentingnya solidaritas, hidup saling berbagi, pentingnya etika bersama, dan betapa agama, keyakinan dan ideologi apapun tidak mesti menciptakan saling permusuhan. Sebab, setelah beberapa milenium masing-masing orang hidup berkelompok dalam menurut batas wilayah negara, ideologinya, dalam klaim kebenaran agama, superioritas atas dasar kemajuan, gender, orientasi seksual; saling bersaing merebut sumber daya alam, kira-kira baru sekarang ini semua kita sadar, sesungguhnya tidak ada yang paling hebat di dunia ini.

Wabah virus corona membuat semua orang menjadi setara dalam kerapuhan. Ini pelajaran penting, bahwa perlu ada komitmen global untuk mengatasi kerapuhan ini dengan saling bersolidaritas, saling berbagi dan saling memberdayakan. Inilah etika dan kesadaran moral serta spiritualitas kolektif-global yang dapat menyelamatkan kehidupan kita semua di bumi ini. (*)  


Wednesday, March 4, 2020

Wabah Virus Cacar di Minahasa tahun 1908 Rengut 230 Nyawa


Pelabuhan Amurang awal abad 20


PENYAKIT cacar masih membahayakan orang-orang Minahasa hingga awal abad 20. Wabah penyakit terparah terjadi pada pertengahan abad 19. Populasi Minahasa menurun drastis. Sejak beberapa tahun sebelumnya, pemerintah telah berupaya melakukan vaksinasi. Tapi itu ternyata belum dapat menahan penyebaran virus cacar di Minahasa. 

“Pada bulan Desember 1907 - kasus cacar pertama ditemukan di Romoöng (Amurang),” tulis Fred H. Wuller, seorang dokter Belanda dalam Is wettelijke Vaccinatie-en Revaccinatiedwang noodzakelijk, gewenscht en mogelijk? (1915).

Wuller datang ke Keresidenan Manado untuk melakukan upaya pemberantasan penyakit tersebut. Dia juga melakukan penyelidikan terkait penyebab dan tingkat penyebaran wabah tersebut.

Dalam catatannya, Wuller mengatakan, dia lumayan leluasa melakukan pekerjaannya karena kepala di Amurang menyambut dengan ramah dan mendukung pekerjaannya.

Wuller menulis, pada tanggal 1 Januari 1908, jumlah total orang sakit di negeri Sendangan dan Talikuran masing-masing adalah 16 orang 15 dan 1. Dua negeri tersebut berada distrik Romoong, afdeelingen Amurang. Di Rumoong berdiam kepala distrik yang disebut Mayor.

“Setibanya saya di Amurang pada 8 Januari  jumlah penderita cacar mencapai masing-masing 24 dan 5 atau jumlah total 29 orang,” tulis Wuller.

Menurut informasi yang diterima dari kepala distrik atau mayor (districtshoofd), awal mula wabah variola atau virus cacar di Romoöng berasal dari seorang perempuan yang datang dengan menumpang perahu dari daerah yang terdampak wabah pada 4 November 1907. Diduga kuat, perempuan di tempat itu telah terkena virus. 

Wuller menulis, perempuan yang datang dari daerah wabah juga membawa anaknya. Diduga kuat, si anak itu juga sudah terjangkit virus.

“Anak itu, yang telah bersamanya, menerima gejala penyakit pertama tiga hari setelah tiba di Sendangan,” tulis Wuller. 

Pada 29 Desember 1907, petugas vaksin dikirim dari Romoöng oleh kepala distrik setempat untuk memastikan apakah para tersangka benar-benar menderita cacar. Dari hasil pemeriksaan petugas dipastikan bahwa keduanya telah terkena virus cacar. 

Berdasarkan itu maka kemudian ditetapkan bahwa jumlah kasus cacar sebanyak 6. Penularan terjadi karena antara lain, menurut Wuller, orang-orang di dua negeri itu tidak tahu tentang jenis penyakit ini.

“Setelah mendengar ada orang yang sakit terkena wabah, orang-orang datang mengunjunginya,” tulis Wuller.

Upaya mengantisipasi penyebaran wabah waktu itu adalah dengan memberi tanda hitam pada rumah-rumah yang terdapat anggota keluarga yang terkena cacar. Maksudnya untuk mengisolasi yang terkena cacar agar tidak menjangkiti orang lain.

Dari distrik Romoöng, virus lalu menyebar ke distrik Tombasian, yaitu negeri Malikoe. Seorang dari Romoöng yang pergi ke sana untuk urusan keluarga. Gejala terinfeksi muncul dua hari kemudian.

Untuk mengisolasi para penderita, sebuah gubuk sementara dibangun. Beberapa dari mereka yang telah pulih kemudian ditempatkan di sebuah bangunan terpisah. 
Wuller menulis, upaya untuk mencegah agar penyebaran tidak meluas, dan pula menghentikan wabah itu, caranya adalah bekerjasama dengan Mayor Romoong. Sang mayor sangat aktif bekerjasama dengan dia.

“Dia (mayor – red) mengumumkan bahwa, mengingat kematian cacar, sangat penting untuk mengetahui seberapa besar kekuatan populasi sebenarnya. Untuk itu, semua orang, besar dan kecil, harus hadir pada 4 Maret 1908 pukul 6 pagi di depan kantor distrik. Orang yang mengabaikan ini karena kelalaian, keengganan atau sebaliknya akan dihukum,” tulis Wuller.

Maksud pengumuman itu sebetulnya adalah untuk memberikan vaksin kepada mereka. Vaksinasi dilakukan mulai pukul 6 pagi hingga 12 malam.  Sebanyak 552 orang (tua dan muda) memperoleh vaksina. Warga yang datang menerima vaksin sangat banyak. Hampir tidak ada yang menolak.  

Vaksinasi telah dilakukan di Minahasa sejak kira-kira tahun 1860-an. Tapi, menurut Wuller, orang-orang di Rummong kebanyakan hanya divaksin sekali semasa kanak-kanak. Oleh sebab itu banyak di antara mereka yang tidak lagi kebal.  

Selain menggalakkan lagi vaksinasi, pemerintah juga menggiatkan hidup sehat bagi penduduk. Lalu rumah-rumah, perabot, pakaian, dan lain-lain disterilkan dari virus dengan menggunakan larutan sublimate, carbol, dan air mendidih. Hidup disiplin juga digiatkan, antara lain patuh pada instruksi para pekerja medis agar anggota keluarga yang sehat tidak sembarangan berhubungan pasien.

“Kerabat yang belum divaksinasi ... selalu berusaha untuk lewat jalan tersembunyi pergi  ke rumah sakit untuk membawa semacam makanan ringan karena kasihan, tidak tahu bahwa mereka menginfeksi diri mereka sendiri dan menjadi sumber infeksi baru ketika mereka kembali ke kampung,” tulis Wuller.

Masalah yang ditemukan pada upaya pemberantasan wabah cacar ini, bahwa berapa penduduk yang sedang sakit menolak untuk diisolasi dalam waktu yang lama melarikan diri ke kebun. Demikian juga beberapa dari mereka yang ketika didiagnosa positif terkena virus, juga ada yang melarikan diri. Karena itu, tulis Wuller tidak jarang orang-orang yang melarikan diri itu ditemukan di kebun dalam keadaan meninggal.  

Jumlah penduduk di distrik Rumoong yang meninggal akibat virus cacar, yaitu masing-masing di negeri Talikuran, Sendangan, Serani-Kawangkoan periode 1 sampai 31 Januari 1908 sebanyak 19 orang. Periode bulan Februari, ditambah negeri negeri Maliku di distrik Tombasian total yang meninggal sebanyak 8 orang. Periode Maret,  korban meninggal untuk empat negeri itu tinggal satu orang. 

Sampai Agustus 1908, virus cacar sudah meluas meliputi sebagian besar afdelingen, distrik dan negeri se-Minahasa. Data yang dikutip Wuller menyebut, total keseluruhan korban meninggal akibat wabah cacar di Minahasa sampai Agustus 1908 sebanyak 230 orang.(*)



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.


*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com

 082187097616