Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 |
Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan
meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan
Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan
menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka.
PELABUHAN Amurang, 13
Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja
berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan
Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.
Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan
belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen
Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau.
Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah
kelahiran untuk menjalankan misi.
"GPdI masuk di Sulut
ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan
Alexius Tambuwun dengan menumpang kapal motor Van Der Hagen dari Surabaya
menuju tanah Toar Lumimuut, Minahasa. Tanggal 13 Maret 1929, mereka tiba di
pelabuhan Amurang,” kata Pdt. Hendrik Otto Herman Awuy (meninggal 12 Maret
2012), tokoh gereja Pantekosta di Sulawesi Utara pada perayaan HUT GPdI di
Sulawesi Utara ke 82 tahun di Tondano, Selasa (10/5/2011) seperti diberitakan Kabar Gereja.
Di Langowan, waktu itu, kata Pdt. Awuy tiga orang
dalam iman sedang menanti kedatangan dua penginjil dari Surabaya itu. Mereka adalah Daniel Kalangi, Wilhelminus Saerang, dan Alexander Rumondor.
"Orang-orang ini memiliki kerinduan besar untuk
menikmati kebenaran dan kedamaian yang sesungguhnya dalam satu persekutuan
bersama," ungkap Pdt. Awuy.
Tahu bahwa dua pemuda itu akan segera datang, mereka
pun bergegas menuju ke pelabuhan Manado. Setibanya di sana, mereka langsung
masuk ke dalam kapal. Tapi dua orang yang mereka cari itu tak ada. Merekapun bertanya
kepada pegawai kapal.
“Pegawai kapal membenarkan bahwa ada dua orang yang
selalu mempercakapkan hal-hal rohani, selalu membaca Alkitab dan bersaksi
tentang Yesus Kristus, tapi sudah turun di pelabuhan Amurang," Pdt. Awuy
mengisahkan.
Mendengar penjelasan ini, Kalangi dan teman-temannya
segera turun dari kapal dan naik bus pulang ke Langowan.
Pada tanggal 14 Maret 1929 sekitar pukul 09.30,
Wilhelminus pergi ke kantor pos untuk membeli perangko. Di kantor itu ia seolah
mendengar sesuatu. Keyakinannya, bahwa itu adalah suara Allah, seperti yang
didengar sebelumnya. Suara itu berkata, "Lihat di jalan ada dua
orang pengabar injil yang sedang mencari engkau".
Tepat di Desa Wolaang, Langowan di depan rumah Keluarga Manopo-Sumigar, Julianus Repi dan Alexius Tambuwun turun dari mobil. Wilhelminus sangat yakin, dua orang itu adalah yang mereka nanti. Segera ia pun menyambut mereka dengan penuh sukacita.
Tepat di Desa Wolaang, Langowan di depan rumah Keluarga Manopo-Sumigar, Julianus Repi dan Alexius Tambuwun turun dari mobil. Wilhelminus sangat yakin, dua orang itu adalah yang mereka nanti. Segera ia pun menyambut mereka dengan penuh sukacita.
Itulah perjumpaan pertama kali di antara mereka.
“Sejak saat itu, Gerakan Pantekosta benar-benar tidak dapat dibendung lagi,”
ujar Pdt. Awuy dalam kisahya itu.
Kamis, 14 November 1929 di kampung Tondei, Minahasa
bagian Selatan. Seorang perantau di Tanah Jawa, pulang kampung. Jan Lumenta,
namanya. Dia datang bukan sekadar pesiar. Di tanah rantau, dia telah
berketetapan hati untuk menjadi penginjil dalam semangat gerakan Pantekosta.
Bersama dia Julianus Repi.
Di desa ini, mereka mengadakan ibadah pertama
kali di rumah keluarga Ismail Lumenta-Merentek. Orang tua Jan Lumenta. “Ibadah
perdana De Pinkstergemente telah menggunakan alat musik berupa gitar
sehingga banyak yang beribadah,” tulis Ferlandy Wongkar dalam Sejarah
Pertumbuhan Kekristenan, Suatu Kajian Historis Tentang Pertumbuhan Denominasi
Gereja di Desa Tondei Dari Tahun 1908-1986.
Meski di desa Tondei kebanyakan sudah memeluk Kristen
Protestan atau Indische Kerk, namun Lumenta dan Repi
berhasil membaptis sebanyak 37 orang di sungai bernama Rari’ngis.
“Tentunya yang dibaptis berasal dari Jemaat Indische Kerk,” kata Wongkar
mengutip penuturan tokoh-tokoh GPdI di sana.
Para penyebar awal gerakan Pantekosta di Tanah
Minahasa ini berasal dari Tanah Jawa: Cepu, Surabaya, Batavia. Mereka
diutus oleh Pinkstergemeente in Nederlandsch-lndië untuk bekerja sebagai
penginjil di daerah-daerah se Hindia Belanda. Mereka adalah para perantau dari
Minahasa yang bekerja di sana.
Sejak abad 19, memang sudah banyak orang
Minahasa yang merantau ke Tanah Jawa atau daerah lainnya di Hindia Belanda. Ada
yang bekerja sebagai ambtenaar, tentara KNIL, pekerja di perusahaan-perusahaan
milik Belanda, dlsb. Di Cepu masa itu beroperasi sebuah perusahaan minyak, Bataafse
Petroleum Maatschappij.
Pada 23 Februari 1921 tiba di Batavia, D. P. van
Klaveren dan istrinya C. van Klaveren-Lucking, serta Cornelius E.
Groesbeek, isrinya dan dua orang putri mereka Jennie berusia 12 tahun dan Corie
6 tahun. Mereka berasal dari Bethel Pentecostal Temple, di Seatle Amerika.
Dari Jakarta mereka melanjutkan perjalanan ke
Mojokerto, Surabaya, Banyuwangi dan Bali. Mereka tiba di Bali pada Maret
1921 dan menetap di sana untuk beberapa waktu lamanya. Keluarga Klaveren dan
keluarga Groesbeek adalah keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika.
Demikian tertulis pada Bethel Pinksterkerk Nederland.
Di Bali mereka berusaha melakukan penginjilan kepada
orang-orang setempat. Mereka bekerja keras di tengah reaksi penolakan dari
pemimpin umat Hindu. Khawatir terjadi keributan, pemerintah Belanda bikin
aturan yang membatasi ruang gerak bagi para missionaris. Setelah berada di Bali
sekitar 21 bulan, keluarga Van Klaveren dan Groesbeek akhirnya keluar dari
Bali. Keluarga van Klaveren menuju ke Singapura dan keluarga Cornelius E.
Groesbeek pergi ke Surabaya dan Batavia.
Di Surabaya keluarga Groesbeek bertemu seorang
perempuan Belanda bernama Ny. Wijnen. Ia kemudian mempertemukan keluarga
Groesbeek dengan sepupunya bernama Frederik George van Gessel yang tinggal di
Cepu. Gessel sudah lama tinggal di sana. Ia lahir 9 Desember 1892. Gessel bekerja
pada Bataafse Petroleum Maatschappij, Cepu.
Keluarga Groesbeek kemudian tinggal di rumah
Gessel. “Selama periode ini, FG van Gessel menerima semakin banyak
wawasan dan pendalaman Injil,” tulis Bethel
Pinksterkerk Nederland.
Pada Januari 1923 mereka melaksanakan kebaktian
pertama bertempat di Deterdink Boulevard, Cepu. Hadir waktu itu sekitar 10
orang. Kian hari, kian berkembang gerakan Pantekosta di sana.
Pada 30 Maret 1923, sebuah tonggak penting
perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia terjadi. Di Pasar Sore-plein,
Cepu Cornelius E. Groesbeek dan Johan Thiessen, membaptis 13 orang. Di antara mereka yang menerima baptisan adalah FG van
Gessel dan istrinya, SIP Lumoinding dan istrinya, serta Agust Kops. FG
van Gessel kemudian menjadi pemimpin jemaat di Cepu.
C. van der Laan dalam Pinksterbeweging in Nederland
mengatakan, Johan Thiessen (1869-1953) sudah lama berada di Hindia Belanda,
yaitu sejak 1901. Hingga tahun 1912 ia bekerja sebagai misionaris Gereja
Baptis. Namun kemudian, ia beralih ke gerakan Pantekosta. Pada tahun 1923
Thiessen mendirikan De Pinksterbeweging (Gereja Gerakan Pentekosta) di
Bandung.
Pada tahun 1924, berdiri pula De Pinksterkerk in
Indonesië (Gereja Pentekosta di Indonesia). Sumber lain menyebut namanya, Vereeniging
De Pinkstergemeente in Nederlandsch Oost-Indie. Gereja ini menurut van der
Laan lebih berkarakter Indonesia.
Beberapa orang Indonesia lainnya yang dibaptis dan
aktif dalam pengembangan gereja Pantekosta berasal dari Minahasa. H.N.
Runkat, J. Repi, A. Tambuwun, J. Lumenta, E. Lesnusa, G.A Yokom. R. Mangindaan,
W. Mamahit, S.I.P Lumoindong dan A.E. Siwi. Mereka adalah perantau yang
kemudian memilih jalan sebagai penginjil dalam semangat gerakan Pentakosta.
Nederlandsch Zendings-Jaarboekje,1933 mencatat, De Pinksterbeweging in Nederlandsch-Indië atau
Gereja Gerakan Pentakosta di Indonesia sah menjadi sebuah badan hukum pada
tahun 1924 melalui besluit no. 28 tertanggal 4 Juni 1924. Pemimpinnya
adalah Johan Thiessen. Gereja ini berada di 27 wilayah, 11 orang pendirinya
adalah Eropa dan 6 orang pribumi sebagai pekerja awal. Anggotanya
berjumlah 3.514 orang. Daerah cakupan meliputi Jawa, Sulawesi dan Maluku.
Pelayanan dikalukan di kalangan orang orang Eropa dan pribumi.
Lalu De Pinkstergemeente in Nederlandsch Indië atau
Gereja Pantekosta di Indonesia juga mendapat pengesahan dari pemerintah dengan besluit
no. 29 tertanggal 4 Juni 1924. Gereja ini adalah pecahan dari De
Pinksterbeweging in Nederlandsch-Indië yang melayani orang-orang Eropa, pribumi dan orang Timur
asing di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Timor. Sebagai ketua adalah
F. G. van Gessel, Sekretaris H. E. Horstman, dan Bendahara W. Mamahit.
Pada Sabtu, 19 Juli malam di
Litsonlaan, Bandung, seperti diberitakan koran De Preanger-Bode edisi 21
Juli 1924, De Pinkstergemeente in Nederlandsch Indië
melaksanakan sebuah pertemuan untuk pemilihan pengurus. Hadir anggota jemaat
setempat sebanyak 21 orang. Wakil dari Surabaya sebanyak 36, lalu dari Temangung dan Cepu, Makasar, dan lain-lain. Terpilih sebagai
ketua D.H.W. Weenink van Loon, Sekretaris: Ch Saul, bendahara J.P. Barends.
Duduk di dewan adalah Barends Muller, W.M. Bernard, C. Groesbeek, D. van
Klaveren dan FG van Gessel.
Para penginjil De Pinkstergemeente in Nederlandsch
Indië harus mendapat ijin dari pemerintah untuk melakukan pekerjaannya. De
Indische courant edisi 19 April 1930 misalnya menyebutkan, penginjil Jan
Lumenta mendapat izin untuk melaksanakan pekerjaan pelayanan di Amurang.
Disebutkan, Jan Lumenta melakukan pekerjaan di kalangan penduduk Eropa, Cina,
Menado dan Ambon di keresidenan Menado, Amboina dan Ternate.
De Indische courant edisi 16 Mei 1930 H.N. Runkat, penginjil dari
gereja ini mendapat ijin untuk melayani orang-orang Kristen Eropa,
China, Jawa Timur, Jawa Tengah yaitu Yogyakarta, Surakarta. Juga untuk
orang-orang Manado di Sulawesi.
Koran Bataviaasch
Nieuwsblad edisi 04-12-1931 memberitakan, C. A. Jocom, mendapat
ijin untuk melakukan penginjilan di keresidenan Manado. A.W.L.
Pattiradjawane mendapat ijin untuk bekerja di Makassar bagi orang-orang
Eropa, China, Ambon dan Manado.
De Indische Courant dalam terbitan 20 Agustus 1934 menyebutkan,
penginjil Ong Ting Soei mendapat ijin melayani di Jawa Timur.
Koran itu, pada edisi 28 April
1937 juga memberitakan, penginjil A. Palapa mendapat ijin untuk melakukan
pekerjaan di Raanan-Lama. S. Lumenta di Tondei. G. Pesik di Raanan-Baru. C.
Mintalangi Repi di Ranomea. E.C. Tengker di Tompasso-Kawangkoan. R . Wuhilo di
Wiau- Lapi, P. Rumengan di Tambelang, M. Mokolomban di Tombatoe, Ratahan. J.
Pallappa ke Tondano. S.P. Pitoy di Remboken. C. Langitan di Tomohon. E.
Wangke dan JK Wanke, B. Paat di Sawangan.
Langowan, sebuah
kota kecil awal dari gerakan ini berkembang banyak denominasi gereja bercorak
Pantekosta. Perpecahan menjadi bagian dari sejarah gereja ini.
“Sejarah gerakan Pentakosta di Indonesia, dilihat dari
sudut lembaga-lembaganya, sangat rumit disebabkan banyaknya perpecahan yang
terjadi,” kata Th. van den End, dalam Ragi Carita.
_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni
H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com.
Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama
'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk
diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap
terlebih dahulu menghubungi penulis.Makase banyak.
Comments
Post a Comment