Tuesday, February 25, 2020

Beberapa Pokok Pikiran Mengenai Perilaku Politik Warga Sulawesi Utara dari Perspektif Kebudayaan




PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) adalah peristiwa kebudayaan.Keseluruhan proses pelaksanaan Pilkada adalah suatu proses perencanaan kehidupan bersama kini dan masa depan untuk banyak hal. Kepala daerah yang merupakan hasil dari proses itu adalah kepala pemerintahan yang nanti akan memimpin banyak orang dalam upaya mengelola banyak aspek untuk kebaikan bersama.

Dari dasar pemahaman ini maka untuk sementara dapat dikatakan, bahwa dari perspektif kebudayan, Pilkada adalah kegiatan berbudaya (politik) masyarakat secara partisipatif dalam memilih pemimpin untuk bersama-sama merencanakan politik kehidupan berdasar aspirasi dan makna-makna atau nilai-nilai kolektif yang diyakini.

Bagaimana cara dan motivasi warga (perilaku) berpartisipasi tersebut, selalu dipengaruhi oleh konteks dan perubahan-perubahan yang terjadi. Dengan begitu, budaya politik yang dimaksud adalah upaya-upaya manusia dan masyarakat memberi makna pada politik praktis maupun pada politik dalam pengertian yang lebih substansial.

Demikian pula dengan perilaku politik warga di Sulawesi Utara. Jika budaya itu adalah upaya-upaya kreatif dan inovatif manusia dan masyarakat yang selalu kontekstual pada ruang dan waktu, maka bentuk dan cara-cara berpolitik masyarakat di daerah ini juga tak lepas dari pengaruh perubahan-perubahan yang sedang terjadi, yang mempengaruhi setiap orang atau kelompok-kelompok politik memahami arti tujuan kehidupan bersama sebagai warga negara.

Selalu yang terjadi adalah dialektika antara apa yang diidealkan oleh politik secara substansial dengan praktek politik secara faktual. Artinya, teori tentang politik, ideal dari setiap orang atau kelompok selalu berhadapan secara dialektis dengan apa menjadi kepentingan dari orang-orang tertentu dan kelompok lain secara praktis untuk tujuan-tujuan praktis.  Misalnya, idealnya bahwa dalam hal menentukkan pilihan politik, mestinya terjadi secara rasional, bukan transaksional. Tapi, saya kira jelas di depan mata kita, sudah menjadi kenyataan dalam praktek politik di era ini, bahwa memilih pemimpin terutama pertimbangannya adalah: apakah seagama, apakah sedenominasi  apakah sesuku, apakah sekampung, apakah semarga, apakah punya uang dan apakah dapat menjamin karir atau tidak membahayakan karir, dlsb.

Demikian yang praktis dan faktual di daerah kita dewasa ini. Berdasarkan ideal politik, kesemuanya itu bertentangan. Bahwa, mestinya memilih pemimpin politik hal pertama-tama diperhatikan adalah track record dan jaminan bahwa calon pemimpin yang akan dipilih nantinya benar-benar dapat memimpin secara adil dan dapat mengupayakan kesejahteraan bagi setiap orang.

Namun, berdasarkan pengalaman dan laporan-laporan media atau temuan-temuan penelitian para akademisi juga tentu penyelenggara pemilu, bahwa praktik politik masyarakat Sulawesi Utara masih dominan dengan praktek cara-cara politik transaksional.

Di daerah kita ini, politik transaksional itu bukan barang baru. Di masa kolonial misalnya, kepala-kepala atau pemimpin masyarakat terjadi secara transaksional. Dari menjadi tentara Belanda dalam perang  di Jawa, pulang ke Minahasa diberi jabatan kepala. Status pemimpin masyarakat tidak lagi diperoleh seperti masa sebelumnya menurut adat, yaitu dipilih dengan cara komunitas dengan mempertimbangkan kelayakan kualitas memimpin.

Demikian pula, jabatan-jabatan politis yang dikaitkan dengan agama, etnis dan ras. Pemerintah Belanda sebagai pemilik hak kuasa menentukkan jabatan-jabatan pemimpin masyarakat dengan memperhatikan identitas. Kelompok-kelompok masyarakat yang terintegrasi berdasarkan identitas dipimpin oleh pejabat atau pemimpin sesuai dengan identitas kelompok yang dipimpinnya

Pada masa kolonial ini, proses-proses politik tentu berada di bawah kendali kekuasaan. Upaya-upaya di luar itu menurut pemerintah kolonial adalah pembangkangan atau pemberontakan. Tidak ada demokrasi di dalamnya.

Berbeda dengan masa sekarang ini, era pasca orde baru. Setiap warga negara dijamin kebebasan politiknya, tentu dengan ketentuan-ketentuan yang mesti diikuti. Ini adalah antitesis dari politik otoriterianisme Orde Baru. Herannya, baik praktek politik di masa orde lama maupun orde baru, keduanya disebut pula politik demokratis hanya karena menjalankan prosedur-prosedur demokrasi tertentu.

Perubahan di tingkat nasional mempengaruhi daerah-daerah. Paling tidak pasca orde baru Sulawesu Utara sudah beberapa kali melakukan Pilkada langsung, baik tingkat provinsi maupun kabupaten kota. Gejala yang tampak sekali adalah praktek politik transaksional. Di era digital ini, mengikuti metode marketing, orang-orang menentukkan pilihannya antara lain melalui "iklan citra" yang ditampilkan dalam bentuk gambar atau video. Baliho menampilkan wajah-wajah calon pemimpin yang penuh wibawa dengan kesan pemimpin ideal.

Artinya, di era ini, seolah telah tercipta sebuah praktek budaya politik yang lebih mengutamakan: 1. Hubungan-hubungan kekerabatan berdasarkan identitas, 2. Hubungan yang terbentuk melalui citra atau gambar melalui layar yang sudah tentu tidak menampilkan fakta secara lengkap atau benar-benar sebuah manipulasi. 3. Hasil dari kedua hal itu adalah politik dinasti, yang kemudian mempengaruhi orang untuk memilih karena hubungan atau dikendalikan oleh struktur kekuasaan.

Tiga hal di atas setidaknya menurut saya penyebab menciptakan praktik politik uang, politisasi identitas dan penggerahan aparatur sipil dalam Pilkada. Tiga hal ini berkaitan dengan dua hal paling tidak, 1. Intelektualitas dan moralitas; 2. Relasi kuasa. Problem ini terjadi ketika akhirnya kita telah tiba pada masa politik sebagai industri.  

Ketiga hal ini adalah masalah dalam kita mengupayakan politik elektoral yang demokratis secara substansial (tidak sekadar prosedural). Karena ia tercipta dan berlangsung dalam lingkungan kebudyaan kita, maka upaya mengatasinya antara lain dapat melalui mekanisme kultural. Namun, apa yang kita sebut dengan pendekatan kebudayaan, ia tidak seperti pemadam kebakaran yang harus langsung dapat mengatasi kejadian pada waktu segera.

Sebab, pendekatan kebudayaan pertama-tama berurusan dengan pengetahuan dan kesadaran-kesadaran moral-etis pada masyarakat yang terdiri dari individu-individu. Dengan demikian, untuk mengatasi masalah ini, kira-kira berkisar pada dua hal: 1. Pendidikan politik, dan 2. Penguatan peran insitusi-institusi yang berhubungan dengan penyelenggaraan politik elektroral.

Pendidikan politik adalah wacana yang selalu muncul dalam setiap perbincangan kaitan dengan harapan politik yang demokratis. Tapi yang saya maksudkan di sini adalah semacam adanya suatu moral atau etika politik bersama yang dapat memberi edukasi bagi setiap orang yang terlibat dalam Pilkada untuk mengupayakan suatu hasil yang benar-benar demokratis.

Misalnya bagaimana kita merumuskan suatu gagasan yang sederhana secara bahasa tapi substansial secara makna dan dapat memberi efek secara intelektual dan moral bagi banyak orang. Pokok pikiran ini menjadi doktrin politik publik untuk kesadaran bagi publik secara kolektif. Intinya adalah bagaimana kita mengedukasi warga agar ketika menentukkan pilihan lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan bersama sehingga hak suaranya memiliki harga untuk demokrasi. Atau, bagaimana doktrin politik publik itu dapat menggerakan orang untuk secara bebas atau independen/merdeka menentukan pilihannya. Sebab hak suara itu adalah harga diri melampaui harga rupiah.

Tapi, tentu kesadaran moral dan etis itu perlu dibarengi oleh pengawasan berbasis hukum, terutama untuk masalah relasi kuasa. Pengawasan partisipatif masyarakat demi Pilkada yang berkualitas saya kira adalah strategi yang dapat diandalkan. Teknologi digital sangat membantu sekali. Perlu diseriusi pemanfaatan teknologi dalam melibatkan masyarakat untuk pengawasan.

Setiap warga dapat ikut mengawasi, tapi untuk menghindari agar laporan atau informasi itu bukan hoax atau black campaign atau juga karena sentimen, maka pada satu pihak teknologi mempermudah, tapi pada pihak lain mekanisme dan syarat keterlibatan perlu dirumuskan sedemikian rupa tanpa bermaksud membatasi agar prosesnya dapat dipertanggungjawabkan.

Pada akhirnya, Pilkada yang berkualitas adalah suatu yang proses perjuangan politik pula. Lembaga-lembaga penyelengara, warga pemilih dan elemen-elemen masyarakat yang terkait mesti disatukan dalam gerakan politik. Pendekatan kebudayaan untuk hal ini, seperti yang sudah disinggung di atas, terutama adalah melalui pendidikan politik yang menyentuh wilayah pengetahuan intelektualitas dan kesadaran moral.(*)




*Tulisan ini sebelumnya telah disampaikan pada diskusi bersama Bawaslu Prov. Sulawesi Utara pada 6 Februari 2020 di Best Western the Lagoon Hotel, Manado. 


_______________________

Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

Thursday, February 13, 2020

Manusia dan Ciptaannya Bernama Frankensteinisme

Sumber: bbc.com



"Lihat! Itu bergerak. Dia hidup. Dia hidup… DIA HIDUP! Oh… Demi Tuhan! Sekarang saya tahu bagaimana rasanya menjadi Tuhan." (Sumber kutipan: bbc.com)


ADA 600an orang, di antaranya perempuan dan anak dari Indonesia yang bergabung dengan ISIS terdesak di Suriah. Ideologi telah membawa mereka ke medan perang. Kalau tidak mati tertembak, ditawan atau mengungsi. Bagi yang masih hidup tapi terdesak oleh perang, harapannya adalah pulang ke negara asal.

Kabar ini jadi isu kontroversial di Indonesia, negara asal 600an orang itu. Menerima kepulangan mereka, tapi ada alasan takut ideologi ISIS tersebar di sini. Buru-buru menolak, pemerintah diperhadapkan dengan tanggung jawab kemanusiaan. Kedua alasan ini sangat masuk akal.

Fenomena ISIS berdampak pada munculnya sikap negatif warga Eropa terhadap pengungsi dari Timur Tengah. Di Selandia Baru, Maret tahun lalu seorang warga negara Australia bernama Breton Tarrant  menembak secara membabi buta jemaah masjid Christchurch. Sebanyak 49 orang tewas.

Padahal, bagi negara-negara itu, menerima pengungsi dari wilayah yang dilanda perang adalah komitmen kemanusiaan dan HAM. Terorisme dan keberingasan ISIS memunculkan kekhawatiran warga di negara-negara penerima pengungsi itu.

Masyarakat dunia lalu tiba-tiba dikejutkan dengan teror virus Corona dari Wuhan, Cina. Salah satu untuk mengatasi penyebaran virus Corona adalah menutup rute penerbangan dari negara itu ke negara lain. Ini sama dengan menutup masuknya turis dari negara itu. Padahal, bisnis turisme sangat menguntungkan. Data menyebutkan, jumlah wisatawan Cina secara global sebanyak 149,7 juta.

Di Indonesia, kasus penolakan pendirian rumah ibadah tetap saja terjadi. Beberapa waktu lalu masyarakat Sulawesi Utara dibuat heboh dengan aksi pengrusakan bangunan milik kelompok agama Islam oleh sekelompok orang. Alasan kelompok ini bangunan tersebut tak punya ijin sebagai tempat beribadah. Tak lama setelah itu, terdengar kabar bahwa pemerintah akan mengusahkan ijinnya.

Menyusul peristiwa itu muncul lagi berita penolakan massa atas renovasi gedung Gereja Paroki Santo Joseph di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau. Pemerintah pusat meresponnya dengan meminta aparat kepolisian menindak tegas kelompok yang melakukan penolakan tersebut.

Di sini kelompok Islam yang ditolak, penolaknya adalah warga setempat yang membawa identitas budaya dan agama tertentu. Di sana, kelompok Kristen yang ditolak, penolaknya adalah warga setempat dengan identitas tertetu pula.

Konflik-konflik yang mengeksploitasi identas agama, etnis atau ras kerap muncul di musim-musim pemilu. Politik elektoral di era desentralisasi, dengan jaminan kebebasan menggunakan hak memilih dan dipilih bagi setiap warga usia dewasa tak justru membuat demokrasi semakin substansial. Demokrasi prosedural di era ini menghasilkan praktek industri politik. Hak suara yang ditukar dengan uang dan politik kekerabatan (berdasarkan hubungan keluarga, kolega) menghasilkan dinasti-dinasti politik.  

Politik lalu tidak lagi menjadi cara. Politik sebagai sistem pengelolaan kekuasaan kini menjadi tujuan. Orang-orang bersaing untuk menjadi penguasa politik, tapi metamorfosis dari itu, politik lalu menjadi semacam kekuatan yang tka terkendalikan. 

***

Ideologi keagamaan yang diindoktrinasi sedemkian rupa membuat orang lebih memilih perang dari pada hidup biasa dalam masyarakat yang relatif damai. Padahal, dalam sejarah perang selalu berakhir kehancuran banyak aspek dalam kehidupan.

Tapi, ideologi keagamaan apapun tak muncul begitu saja. Ia punya sejarah. Dapat saja ideologi yang membuat orang seolah menjadi tidak waras adalah akumulasi dari kekalahan-kekalahan yang diderita dalam sejarah yang panjang. Ideologi balas dendam muncul dari ketidakmampuan menghadapi truma kekalahan atau kehancuran itu. Dari puing-puing kehancuran muncullah manusia-manusia mutan bertubuhkan senjata yang di dalamnya berdiam roh balas dendam dengan nalar yang rusak.

Lalu, lahirlah perlawanan membabibuta. Ideologi direproduksi, disebarluaskan dan ia lalu mencabut rasa cinta, kasih sayang, kekerabatan dan kewarasan lebih banyak orang lagi. Jadilah bagi orang-orang ini, pergi ke medan perang dengan tujuan yang tak jelas dan entah siapa yang akan dilawan adalah ibadah.

Ideologi yang lahir dari konflik yang tak dapat diselesaikan oleh pengetahuan dan teknologi modern ini, selain melahirkan manusia-manusia mutan, ia kemudian membawa peradaban pada dilema. Situasi di mana hampir tidak ada bentuk pilihan atau pijakan pilihan.

Termutakhir adalah pilihan sulit antara ‘keamanan’ banyak orang dengan hal ‘kemanusiaan’ bagi sekelompok orang. Pada hal ini, narasi modernitas yaitu ‘kemanusiaan’ didekontruksi. Orang-orang cenderung kembali ke narasi primitif, yaitu keamanan. Bukan kita yang salah. Dosa-dosa peradaban telah membawa kita pada pilihan sulit.

Ketika melancong adalah bisnis yang menggiurkan dan ia salah satu yang membuat negara-negara saling terintegrasi sebagai masyarakat global, maka virus dari satu negara tidak mudah diatasi dengan cara memutuskan sementara jalur penerbangan. Turisme sebagai industri modern telah terlanjur membentuk struktur ekonomi dan politik negara-negara global.

Virus lalu tak hanya sekadar isu kesehatan. Ia terutama adalah masalah politik dan ekonomi global. Orang-orang kebanyakan dengan pikiran awamnya, mungkin lebih memilih rute penerbangan dihentikkan sementara, namun tidak bagi elit negara. Pada hal lain, situasi makin sulit karena teknologi informasi yang menyebarkan teks, gambar atau video tentang virus itu hadir setiap detik dalam genggaman tangan orang-orang. Seolah tidak ada lagi pihak yang paling berhak dan dipercaya atas kebenaran informasi tentang itu.

Pada hal inilah, pilihan menjadi sulit oleh karena salah satunya seolah tidak ada lagi pijakan yang dipercayai untuk memutuskan pilihan. Akibatnya, orang-orang berusaha mempertahankan pilihannya yang kabur dengan prasangka. Kasus-kasus penolakan pendirian rumah ibadah adalah fenomena dari ketiadaan pijakan kebenaran. Inilah yang melahirkan prasangka dan polarisasi dalam masyarakat. Fenomena massa berindentitaskan agama tertentu yang turun jalan menolak kelompok lain jadi rujukan untuk melakukan aksi balas dendam di tempat yang berbeda. Reaksi begitu cepat. Seolah dengan penolakan maka identitas yang disangka milik sendiri segera tegak dan unggul.

Maka, lahirlah fenomena penolakan terhadap apa yang sebetulnya diperjuangkan. Kelompok tertentu menolak kelompok yang lain. Kelompok yang lain menuntut negara menjamin kebebasan. Tapi begitu ia dituntut mesti konsisten dengan itu, yang terjadi justru adalah reaksi yang sama dari apa yang ditentangnya dilakukan kelompok lain.

Kita rupanya sedang berada pada situasi yang hampir tidak ada pilihan. Ini akumulasi dari konflik-konflik ideologi, politik dan ekonomi sebelum kita tiba di masa ini. Dulu kita berharap kebebasan politik. Rezim mesti berganti secara demokratis. Setiap orang mesti memiliki hak politik: memilih dan dipilih. Tapi, ketika harapan itu benar-benar terwujud, hasilnya adalah politik dinasti, rezim-rezim politik berdasarkan hubungan keluarga atau kekerabatan muncul di mana-mana. Ini fenomena kebebasan politik yang diharapkan dari masa otoriterianisme.

Setiap orang sudah memperoleh hak dan kebebasan memilihnya. Cuma saja, pilihan seolah tidak ada. Memilih A, sama saja memilih B. Apa arti hak dan kebebasan jika tidak ada yang dapat dipilih?

***
Ideologi dan semua sistem itu, politik, ekonomi adalah ciptaan manusia. Mulanya ia untuk ‘dipakai’ menunjang maksud mengembangkan kehidupan. Tapi, pada perkembangannya termutakhir, ciptaan manusia itu kini telah menjadi ‘monster’ yang memiliki tubuh, roh dan nalarnya sendiri. Apa yang dapat kita katakan dengan testimoni seorang penjagal, yang dengan dengan bangga mengaku telah memenggal kepala ratusan orang, memerkosa ratusan perempuan? Ideologi telah menubuh pada manusia, menguasai dan mengendalikannya. Ideologi itu benar-benar telah hidup dan menjadi monster.

Sistem politik-ekonomi global juga telah membentuk strukturnya sendiri. Negara sebagai institusi politik temuan di era modern yang mulanya adalah masyarakat besar manusia kini sedang dilindas oleh kapitalisme global. Negara A yang sakit, tapi negara B,C, D, dst ikutan-ikutan harus sakit. Bukan hanya karena bahaya virus misalnya, tapi karena sistem dan struktur bernama ‘pasar’ itu telah menjadi ‘makhluk’, ia memiliki tubuh sendiri, roh dan nalarnya sendiri.

Politik di negara-negara bekas jajahan, macam Indonesia, yang katanya merupakan pemutakhiran dari politik primitif atau alifuru yaitu demokrasi, juga sedang menjadi ‘makhluk ganas’. Apa yang dapat kita refleksikan dari seorang atau banyak orang yang kecanduan dengan politik elektroral. Setiap pemilu, pilkada atau pilcaleg dia ada, saudara atau kerabat-kerabatnya ada di kertas suara? Politik bukan lagi cara, tapi kekuasaan telah menjadi sesembahannya. Tak peduli nilai-nilai moral. Tuhan pun dapat dipakai sebagai alat peraga kampanye.

Jadinya, semua yang mulanya ada ciptaan manusia itu kini telah menjadi ‘makhluk’. Ia memiliki tubuh dengan struktur-struktur yang kuat, memiliki roh dan nalarnya sendiri. Manusia, yang dulunya adalah pencipta, tuan atas semua itu kini adalah budak kerja paksa ideologi dan sistem-sistem itu. Tubuh, roh dan nalar manusia telah dirampas oleh ciptaanya.

Inilah era peradaban Frankensteinisme. Pencipta tak lagi berkuasa atas ciptaanya. Tak ada lagi kuasa si manusia mengendalikan ciptaanya. Sebab, ciptaan itu telah menjadi monster hidup. Menjadi ‘tuhan’ baru atas kehidupannya. Dan monster itu dapat benar-benar berkuasa berkat teknologi yang diciptakan oleh manusia. (*)



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.


*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com

 082187097616

Wednesday, February 12, 2020

Bagian Ketiga: Si Mangalitow wo Si Mangalaun




"TOK...TOK..trok..tok..trok..tok...tok..." bunyi tetengkoren menggema.

  ........
  "Palakat...palakat...dengar palakat...

  Palakat dari Hukum Besar Willem Pinutusan...
  Voor penaggong-penanggong kerja mawendu di kobong-kobong kopi...Supaya samua     
  orang yang kena wajib kerja musti pigi ka kobong. Trada boleh ada yang cuma tinggal di  
  rumah.

  Samua orang penanggong musti pigi kobong kopi...

  Demikian palakat. Harap samua orang dengar deng patuhi...."

  .......

Palakat itu memecah malam yang sunyi  ro’ong Tamberan. Hanya satu dua rumah terlihat cahaya lampu minyak. Kecuali di jalan utama, di depan rumah Mandey agak terang. Beberapa orang membawa obor. Mereka kepala jaga dan mandor kebun kopi yang menyampaikan palakat.

Mandey, ayah dan ibunya tetap berada di dalam rumah. Ada firasat, palakat itu sengaja diperdegarkan kepada mereka, terutama Mandey yang telah terkena wajib kerja. Palakat tadi khusus bagi para penanggong.

Urimwene menatap anaknya Mandey yang sedang duduk mengitari sebuah meja.  Sebuah lampu minyak yang ditaruh di rak kayu menerangi ruangan itu. Rimbing, ayah Mandey berdiri lalu berjalan pelan menuju jendela. Ia lalu mengintip dari celah jendela itu.

"Kepala jaga Endi dan Mandor Yopi," ujar Rimbing dengan suara berbisik.

Mandey menyandarkan tangannya di meja. Ibunya lalu berdiri mendekat ke jendela samping suaminya.

"Penanggong..." keluh Rimbing.

"Kamu baiknya menerima tawaran tuang pandita. Tinggal denganya jadi anak piara. Lalu sekolah menjadi guru..." kata Urimwene kepada Mandey sambil kembali duduk berhadapan dengan anaknya.

"Maksudnya...?" Tanya Rimbing.

"Tadi pagi tuang pandita Duverman datang ke sini. Ia menyampaikan tawaran mengajak saya menjadi anak piaranya. Katanya nanti dikirim ke Tanawangko untuk sekolah guru di sana," ujar Mandey.

"Aku mendengar percakapan itu," sambung Urimwene.

"Tidak bisa...Kamu tidak boleh terpengaruh oleh tuang pandita itu. Kamu juga tidak boleh kerja di kebun pemerentah. Cukup amang saja. Kamu harus terus belajar di papendangan," ujar Rimbing.

"Tadi siang, mereka datang ke papendangan. Memaksa kami bekerja. Mungkin juga mereka akan memaksa menghentikan papendangan itu."

"Siapa?" Tanya Rimbing.

"Opas, Mandor dan kepala jaga?"

"Lalu...?"

"Untung ada tuang pandita Duverman yang menegur mereka."

"Mmm...Mengapa pandita itu ada di sana?" Tanya Rimbing.

"Entalah..."

"Orang-orang walanda itu mau hancurkan kita se tou maasa. Tanam paksa kopi bikin orang-orang di sini harus kerja setengah mati tapi tidak dapat apa-apa..." ujar Rimbing.

"Tapi Mandor, opas dan kapala jaga orang-orang kita..."

" penolong Lukas Wioy juga. Dulu ayahnya tonaas. Sekarang dia yang bilang foso itu kaper[1]," sambung Urimwene.

Ketiga orang ini kini berkumpul duduk mengitari meja. Cahaya lampu minyak kekuning-kuningan memberi sedikit penerangan ruangan itu. Hanya sebagian dari wajah mereka yang tampak.

Rumah ini memang hanya dihuni oleh tiga orang. Tapi Mandey sebetulnya bukan anak satu-satunya Rimbing dan Urimwene. Mandey anak keempat dari lima bersaudara. Tiga kakaknya terdahulu meninggal karena terkena wabah penyakit. Adiknya meninggal ketika baru lahir.

"Hot...hot...hot..." terdengar suara bunyi Manguni yang tergesa-gesa dari arah samping rumah. Sepertinya ia sedang bertengger di pohon kemiri.

"Ehem..." serentak mereka berdehem.

***

Pagi-pagi Mandey sudah bangun, namun bukan ke kebun kopi bekerja sebagai penanggong. Ia sudah yakin dengan pilihannya: mangkir dari kerja paksa. Resiko pasti fatal. Dia sudah tahu itu.

Ia keluar dari pintu belakang, menuruni tangga lalu berjalan samping di rumah. Mandey berjalan mengendap. Tak mau ada orang tahu dia ke mana. Hari memang baru akan pagi.

Dia keluar dari pekarangan rumah lalu menyusuri jalan kecil menuju sebuah jalan kecil. Sampai dia tiba di depan sebuah rumah panggung yang memanjang ke belakang. Halamannya cukup rapih. Beberapa jenis tanaman tumbuh di pekarangan.

Tangga rumah berada di sisi kiri dan kanan. Rumah itu beratapkan katu yang ditudungi ijuk enau. Ruangan bagian depan atau pores[2] (serambi rumah) cukup luas. Di situ terdapat kursi dan meja yang bagus. Di sudut balkon terdapat kursi malas (kursi goyang). 

Itu adalah rumah  penolong Lukas Wioy. Di rumah ini tuang pandita Duverman biasa menginap setiap berkunjung ke ro’ong Tamberan.

Di rumah besar itu tinggal  penolong Lukas Wioy dan  istrinya. Keluarga  penolong ini memiliki lima orang anak. Tiga anaknya laki-laki sudah menikah, seorang perempuan juga sudah menikah dengan seorang laki-laki di negeri lain dan tinggal di sana. Anak bungsu mereka adalah seorang perempuan.

Lukas Wioy di masa mudanya adalah anak piara dari zendeling di Amurang. Ia sekolah di Tanawangko lalu kemudian menjadi  penolong. Lukas Wioy adalah  penolong tapi sekaligus diberi tanggung jawab mengurus midras di  ro’ong itu. Istrinya Catotje Kataun adalah anak dari  penolong di negeri sebelah.
 
Batas antara pekarangan rumah dengan jalan adalah pagar bambu. Memasuki rumah itu orang-orang mesti melewati semacam pintu gerbang kecil. Mandey melewati pintu itu untuk masuk ke pekarangan.

Ketika baru melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah, Mandey melihat seorang perempuan muda sedang menuruni tangga. Betapa terkejut Mandey  melihat perempuan muda nan cantik itu. Ini kali pertama Mandey merasakan sesuatu yang sungguh berbeda. Suatu pagi yang tidak disengaja. 

Mandey seketika menjadi kikuk. Mulutnya kaku, sulit sekali berbicara. Rasa-rasanya ia ingin berbalik arah, keluar dari pekarangan itu. Tapi apa boleh buat sudah terlanjur ada orang yang melihatnya, perempuan muda itu.

"Ta...ta...bea...No..na Lena.." kata Mandey gugup. 

"Tabea...Mandey, ada apa?" Lena menyapa dengan ramah.

Perempuan muda cantik itu adalah Magdalena, anak bungsu  penolong Lukas Wioy. Ia murid pertama ketika midrasbaru berdiri di ro'ong Tamberan. Setelah itu ia tinggal dengan keluarga tuang pandita Duverman. Istri tuang pandita, mevrouw Carolina sangat menyukainya. Mevrouw Carolina mengajari dia membaca, sedikit bahasa Belanda dan hal-hal lain yang umum menurut istri-istri zendeling sebagai kecakapan perempuan.

Pagi itu, Lena, begitu orang-orang biasa menyapanya, sangat anggun dengan rambut dikepang dua mengenakan pakaian pengaruh Eropa. Wajahnya yang putih sangat segar di pagi itu. Meski sudah berpenampilan khas tapi jika sedang berada di Tamberan tidak segan-segan ia bergaul teman-teman sebayanya, termasuk ikut dalam kesenangan-kesenangan anak muda dengan mengenakan aroro (kain sarung).

"Saya mau ketemu tuang pandita. Apakah ia ada sekarang?" Ujar Mandey memberanikan diri berbicara.

Setelah berkata begitu, ia berusaha untuk dapat menatap wajah Lena. Tapi begitu ia menatap, ia menjadi gugup. Entah apa artinya.

"Oh, tuang pandita ada di dalam rumah bersama amang. Silakan saja ke atas," balas Lena.

"Terima kasih, Lena..." kata Mandey sambil melangkah menuju tangga rumah.

Saat menaiki tangga, Mandey masih memberanikan diri melihat Lena yang sedang berada di pekarangan. Di saat yang sama Lena juga melihat dia dari arah bawah. Ada waktu sagat singkat mereka saling bertatapan. Mandey tak menyangka itu sehingga ia menjadi serba salah. Syaraf pusatnya menjadi sulit memerintahkan kakinya bergerak membuat ia hampir jatuh setelah kakinya terantuk pada satu anak tangga. Melihat itu, Lena tersenyum kecil.

Insiden kecil itu menyadarkan Mandey, ia kini bukan anak-anak lagi. Sebuah rasa entah bagaimana munculnya itu membuat ia pada satu pihak menjadi kikuk, tapi pada pihak lain dan ini lebih dominan adalah bersemangat. Semangat luar biasa.

Ia pun melangkah dengan penuh percaya diri menaiki anak-anak tangga hingga tiba di pores rumah itu. Dari situ ia mendengar suara orang bercakap di ruang utama. Tanpa ragu ia mengucapkan salam.

"Tabea..."

"Tabea...Sei sia..??" Seorang perempuan lebih dulu membalasnya.

"Oh kau, Mandey..." kata tuang Pandita yang waktu itu sedang duduk di kursi yang agak besar.

Di depanya ada meja bundar. Di seberang duduk  penolong Lukas. Istrinya sedang merapikan kamar.  Di dinding rumah yang terbuat dari papan kayu itu tergantung almanak masehi bertanggal Maret 1860. Di dinding rumah pada sisi seberangya terdapat lemari kayu berwarna coklat kehitam-hitaman.

Mandey masih berdiri di pintu menunggu respon dari orang-orang di dalam.

"O, kau Mandey. Ada apa pagi-pagi begini datang ke sini?"  penolong Lukas menyapanya dengan wajah heran.

"Saya ingin bercakap," kata Mandey.

Di tangan kanannya memegang sebuah buku bersampul warna hitam.

Tuang pandita sempat memperhatikan apa yang dipegang oleh Mandey. Dia kenal buku itu.

"Dengan kami"? Tanya  penolong Lukas.

Mandey tiba-tiba bingung menjawab apa. Sebab mulanya ia hanya ingin bercakap dengan tuang pandita Duverman.

"Eh, dengan tuang pandita. Juga dengan tuang guru," kata Mandey.

Orang-orang kebanyakan mengenal  penolong Lukas sebagai guru atau meester sebab sehari-hari dialah yang mengurus midras di ro'ong itu. Mandey lebih mengenalnya sebagai guru.

"Baik, kita bercakap di depan saja," kata  penolong Lukas sambil berdiri dan menuju ke pores.  

Tuang pandita beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruangan itu. Mandey mundur berapa langkah memberi mereka ruang untuk berjalan.

"Duduk di sini, Mandey," kata  penolong.

Pores itu terbuka. Terdapat trali-trali yang mengitarinya. Pot-pot bunga terpajang di situ. Nyora di rumah ini suka memelihara bunga. Dari situ mereka dapat melihat orang yang lalu-lalang di jalan.

Lalu, entah apa yang menggerakan Mandey sehingga sesaat ia melihat Lena di pekarangan sedang memetik bunga yang ditaruh di loto.[3]

"Jadi, apa yang kau ingin percakapkan?" Tanya tuang pandita.

Mandey yang masih menatap ke bawah, utamanya ke Lena, terkejut.

"Iya tuang pandita. Saya ingin belajar menulis dan membaca bahasa Melayu," balas Mandey sambil meletakkan buku itu di meja.

Mendengar itu,  penolong Lukas menatap tuang pandita. Tatapannya itu seolah meminta jawaban dari tuang pandita kebenaran dari apa yang baru dia dengar.

"Mandey, maksudmu ingin belajar seperti yang kita bicara kemarin?" Tanya tuang pandita.

"Mmmm...Saya ingin belajar tuang pandita,” kata Mandey. “Eh, terima kasih untuk apa yang tuang pandita bikin kemarin..."

Penolong Lukas terperangah. Ia tidak mengerti apa yang dua orang itu sedang bicarakan.

"Penolong, beberapa hari ini saya memang telah bercakap dengan Mandey. Oh ya, tentang kemarin itu di rumah tonaas Pandei. Mandor dan opas memaksa mereka bekerja sebagai penanggong di kebun kopi," tuang pandita menerangkan.

Penolong Lukas masih diam. Ia berusaha mengerti apa yang baru dikatakan tuang pandita.

"Tapi saya minta tuang pandita bikin sesuatu agar orang-orang di ro'ong ini tidak semakin menderita karena kerja penanggong di kebun-kebun kopi," ujar Mandey.

Tuang pandita menatap Mandey.  Penolong Lukas menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Sepertinya ia mulai mengerti apa yang mejadi topik percakapan.

"Mandey, itu juga yang baru kami bicarakan tadi sebelum kaum datang," kata penolong.

"Iya, kami zendeling sebenarnya tidak terlalu setuju dengan cara-cara pemerintah. Cuma, untuk sekarang ini kami tidak dapat berbuat banyak," kata tuang pandita.

"Para kepala di beberapa distrik saya dengar telah membuat petisi kepada pemerintah keresidenan di Manado,"  penolong Lukas menambahkan.

"Tuang pendita, tuang guru. Kita se tou Maasa sudah cukup tersiksa. Beberapa puluh tahun lalu terjadi  tanah goyang hebat menghancurkan rumah-rumah kita. Lalu, wabah penyakit membunuh banyak orang. Sudah berapa keturunan kita seperti budak bagi pemerintah sebagai penanggong. Tapi, apa yang kita dapat?” Mandey berkata penuh semangat.

Tuang pandita dan  penolong Lukas menyimak penuh perhatian. Mereka masih menunggu apa yang akan dikatakan lagi oleh Mandey.

“Orang-orang semakin sulit makan. Mana lagi kita-kita orang dipaksa membayar pajak. Kanaramenta semakin hilang," Mandey menjelaskan.

"Jadi....???" Tuang pandita bertanya.

"Melawan dengan santi..."

"Maksudmu, mau berperang?"  Penolong berkata memotong.

"Bukan itu penolong," balas Mandey. "Melawan dengan santi[4] cuma bikin orang-orang semakin tersiksa. Menderita. Jadi maksudku, tuang-tuang ini kan sering bicara tentang ajaran agama. Apa yang dapat agama tuang-tuang lakukan untuk semua itu?"

Tuang pandita tidak langsung menjawab. Ia menyalakan tembakau di dalam pipa cerutunya. Ia menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Lalu menyikangkan kakinya. Merapatkan pipa cerutu ke mulut, menghisap asap tembakau dalam-dalam lalu menghembuskannya.

Ia menatap ke depan. Tatapannya itu menembus trali-trali balkon rumah melihat ro'ong Tamberan. Memandang rumah-rumah yang ditudungi ijuk enau hitam. Jauh di seberang sana puncak gunung Lolombulan terlihat di antara pohon-pohon yang hijau. Hutan Lolombulan membentuk suatu gambaran tentang kesuburan tapi juga suatu tanda tanya, kehidupan bagaimana yang ada di seberang waktu ro'ong ini?

Tuang pandita jadi berpikir keras. Apa yang baru dikatakan oleh Mandey rasanya sebuah beban berat. Sebagai seorang yang membawa tradisi Kristen pietisme, memang ia diajarkan untuk merdeka dari kekuasaan negara atau kepentingan politik. Namun, di Hindia Belanda, sebagai zendeling yang diminta menyatakan keberpihakan terhadap pribumi yang tersiksa oleh Cultuurstelsel adalah sesuatu yang sulit. Banyak keperluan dan kepentingan badan zending yang mesti berurusan dengan pemerintah kolonial.

Dalam keheningan sejenak itu, tiba-tiba  penolong Lukas berkata, "Jika kamu ingin melakukan sesuatu, kamu harus sekolah Mandey."

"Jika pendidikan dan agama dapat memberi saya kekuatan mengubah, saya siap untuk itu?" Ujar Mandey.

Tuang pandita jadi makin berpikir dengan apa yang baru dikatakan Mandey. Ia lalu berpikir dalam hatinya, “Apa arti Injil di ro’ong Tamberan? Apa gunanya gedung gereja dan midras bagi orang-orang di sini? Apa manfaat khotbah-khotbanya bagi kehidupan orang-orang di sini?” (Bersambung)

Nantikan bagian IV: Metokol



[1] Kafir.
[2] Belanda: Voorhuis
[3] Bakul yang terbuat dari anyaman bambu.
[4] Santi = pedang.