Sunday, March 20, 2022

PAWANG


MOTOLING, di tahun 1980an awal, waktu itu saya masih kanak-kanak. Bersama oma ke kebun milik keluarga satu-satunya. Nama perkebunan itu Mawale. Di kebun yang tidak terlalu luas ini tumbuh pohon kelapa, cengkih, enau dan sedikit pohon kopi.

Tiba di kebun, oma menengadah ke langit yang sedang mendung. Ini pertanda akan turun hujan. Lalu, dia menengada ke tanah, meraih satu jenis rumput lalu mengikat batangnya dan mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Tontemboan. Saya tidak lagi ingat persis kata-katanya. Namun, itu semacam doa memohon kepada Yang Ilahi agar sekiranya mendung boleh berlalu sehingga tidak turun hujan.

Saya tidak pernah tanya, mengapa harus mengikat batang rumput. Tapi, dari kata-kata dalam doa yang saya ingat, itu sepertinya adalah simbol yang menjadi tanda bahwa dia sebagai manusia yang memohon menyatakan lagi ikatannya (hubungannya) dengan Apo Kasuruan (Yang Ilahi) bersama alam. Karena, mungkin dengan adanya ikatan atau hubungan spiritual tersebut maka Apo Kasuruan dapat mengambulkan permohonannya agar hujan tidak turun.

Karena jika hujan jadi turun, maka kami yang baru tiba di kebun pasti tidak bisa berbuat apa-apa selain segera bersedia untuk basah kuyup. Hujan memang tidak segera turun. Oma masih sempat memetik buah kopi yang tumbuh di antara pohon seho (enau), lalu gerimis datang. Kami berteduh sementara di bawah pohon pisang karena di kebun tidak dibuat pondok seperti umumnya kebun-kebun di Minahasa.

Apakah karena tindakan oma mengikat batang rumput dan doanya itu yang membuat hujan lebat tidak turun atau karena memang alamiahnya begitu, itu tidak dapat dipastikan. Namun yang jelas, dalam perenungan saya kemudian, itu adalah suatu tanda betapa dekatnya oma saya secara spiritual dengan alam dalam keyakinannya terhadap kuasa Yang Ilahi.

Apa yang oma saya lakukan di kebun itu, kira-kira mirip dengan apa yang dilakukan oleh apa yang umum disebut "pawang". Sebab, sesungguhnya praktek shamanisme ini umum di banyak tempat sebagai suatu tradisi leluhur. Pada masa-masa tertentu dari mana istilah "pawang" berasal, yaitu pulau Kalimantan (Indonesia dan Malaysia) praktek ini shamanisme (perdukunan), oleh komunitas-komunitas adat tertentu dipraktekkan bersama-sama dengan agama import.

Dalam mite asal kehidupan yang menjadi tradisi lisan kaum tertentu di kepulauan itu disebutkan nama "Pawang Asal" dan "Pawang Sadia". Pawang asal hadir dalam wujud burung. Darinyalah semua berasal, di antaranya, tentang yang tidak baik dan penangkalnya. Mungkin, dari narasi mite inilah, di kemudian hari mereka yang disebut “pawang” adalah mereka yang memiliki kemampuan mengendalikan alam, termasuk hujan.

Namun, dalam masyarakat yang sudah banyak berubah, telah jauh dari tradisi atau itulah yang disebut masyarakat modern (atau setengah modern), arti “pawang” pun berubah. Ia pada akhirnya lebih menunjuk pada orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan gaib, lalu dalam tuntutan modernitas ia diubah menjadi profesi untuk kebutuhan efektifitas dan efisiensi. Jadilah “pawang” adalah nama untuk suatu profesi, misalnya untuk kebutuhan agar sesuatu dapat berlangsung tanpa terganggu oleh hujan, maka ia berfungsi untuk menolak hujan.

“Pawang” dalam masyarakat agamis setengah modern menjadi demikian “membingungkan”. Ia dibutuhkan secara praktis, tapi tradisinya ditolak, dan orang-orang bahkan tertawa lucu dalam nada mencibir sambil menikmati apa yang memang dari awal diharapkan hasil kerja dari si pawang.

Itulah yang terjadi pada Rara Istiani Wulandari, seorang perempuan berprofesi pawang hujan di Internasional Mandalika Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jelang balapan, sirkuit itu diguyur hujan. Ini bikin khawatir penyelenggara, pembalap dan juga penonton. Rara tidak muncul begitu saja. Ia memang sudah disiapkan sebagai pawang hujan oleh penyelenggara. Jadi, ritualnya itu resmi bagian dari kegiatan itu. Dan, hujan pun reda.

Sekali lagi, tentu macam-macam pendapat orang tentang kejadian itu. Apakah hujan reda karena memang sudah begitu adanya, ataukah karena keberhasilan si pawang. Ada yang berusaha memperoleh atau menjawab sendiri secara eksak, bahwa tidak ditemukan ada bukti antara ritual Rara dengan hujan reda sehingga menganggap aksinya itu hanya sekadar tontonan saja. Tapi, ada yang melihatnya sebagai suatu tradisi dan menyakininya, itu akan menemukan hubungannya. Yang lain, bukan soal benar atau tidak, melainkan menganggapnya sebagai kekayaan tradisi Indonesia yang pantas di hargai.

Begitulah kira-kira yang terjadi dengan fenomena pawang hujan di masyarakat kontemporer kita. Mereka yang mencibir, ya juga dengan macam-macam alasan. Ada yang rupanya atas nama rasionalisme, yang lain justru dari kutub berseberangan, yaitu atas nama agama. Apapun alasannya, ini sebenarnya fenomena dari masyarakat yang ambigu.

Ya, sebab sesungguhnya, entah ia seorang yang sangat percaya sains, entah ia seorang yang mengklaim diri sangat agamis, semua kita manusia memiliki naluri: melakukan ini agar memperoleh itu. Semua tindakan manusia selalu memiliki tujuan. Seorang beragama yang anti tradisi pawang karena menganggapnya tahayul, pun sering sekali bertindak sebagai “pawang”, yaitu berdoa untuk mengharap Yang Ilahi bertindak agar apa yang menjadi kepentingannya tercapai. Seorang ilmuwan, melakukan eksperimen di laboratorium berharap apa yang diyakininya secara teori dapat dibuktikan.

Tapi, karena ambiguitas yang disebabkan oleh perkawinan silang antara tradisi, agama dan modernitas itu maka cara berpikir, berperilaku dan bahkan beriman kita pada banyak hal “bermuka dua”. Untuk tindakan ini adalah benar karena ia langsung memberi dampak keuntungan kepada kita, tapi untuk hal itu tidak benar karena ia tidak berkaitan dengan kita atau bahkan menuntut bayaran moral dari kita.

Sementara, “pawang” dari tradisinya ia tentang suatu keutuhan dan keseimbangan. Karena, menurut narasi mite ini, semua yang ada, dan yang tidak ada, yang baik dan yang jahat, berasal. Kehidupan berasal dari “Pawang” dari segala pawang itu. (dennipinontoan, 21 Maret 2022)