Sunday, September 30, 2018

Sejarah Tsunami di Sulawesi Utara


Daerah pesisir Sulawesi Utara yang berdekatan dengan laut Maluku Utara rawan terkena tsunami jika terjadi gempa di laut itu.

HARI sudah malam, kira-kira pukul delapan. Sebuah gempa berkekuatan 8,0 skala richter terjadi di Laut Maluku. Jaraknya ± 72 km dari Kema, sebuah kota pelabuhan di bagian utara Minahasa. Hari itu, Jumat, 6 September 1889.  

“Tsunami muncul segera setelah gempa, “ tulis Kevin McCue dalam tulisannya berjudul Historical earthquakes in the Northern Territory.

Tinggi gelombang tsunami di Kema, kata McCue, sekitar 3,5 sampai 4 meter. Di Manado setinggi 2 meter. Amurang juga mengalami. Tsunami ini mengakibatkan kerusakan pemukiman di Kema dan banjir di Bentenan.

“Tiga puluh blok pemukiman (distrik) hancur di Kema. Di Bentenan, satu distrik perumahan mengalami banjir 15 kali dalam 2 jam. Air naik 0,5 m (2 kaki) di pekarangan rumah di pantai selama tiga gelombang pertama,” tulis McCue. 

Di pulau Ternate gelombang air laut tiba-tiba meninggi.  Di Pulau Sangihe terjadi banjir besar. Di Tahuna, terjadi  kenaikan ketinggian air sekitar 1,5 m. Air naik dalam waktu sekitar 2 menit dan surut  dalam 3 menit.

McCue mengatakan, menurut seorang saksi mata, pergerakan air dimulai semenit setelah gempa bumi dan diiringi  oleh suara seperti ombak yang kuat. Jembatan di seberang sungai Tahuna terangkat oleh banjir dan sebagian menabrak tiang-tiangnya. Gelombang berulang sepanjang malam sampai pagi, secara bertahap meningkatkan interval: dari 5 menit hingga 30 menit.

“Sebagian besar warga Tahuna bergegas ke bukit-bukit yang berdekatan setelah gempa bumi dan bermalam di sana. Pada tanggal 9, banyak ikan mati ditemukan di Tanjung Tahuna,”  kata McCue.

Sebelum tsunami September 1889 itu, tercatat enam kali terjadi gempa di laut Maluku Utara yang menyebabkan tsunami di Kema, Belang, Manado dan beberapa daerah pesisir lainnya di Tanah Minahasa. Tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi dan letusan gunung berapi itu terjadi sejak November 1857, demikian seperti dicatat dalam buku Air Turun Naik di Tiga Negeri, Mengingat Tsunami Ambon1950 di Hutumuri, Hative Kecil dan Galala, terbit tahun 2016. Lalu berikutnya Desember 1858, Oktober 1859, Desember 1959,  Maret 1871, dan Maret 1888. Sampai Desember 1939 juga terjadi beberapa kali tsunami.

Menurut Slamet Suyitno Raharjo, Gybert E. Mamuaya, dan Lawrence J.L. Lumingas dalam penelitian mereka berjudul Pemetaan Daerah Rawan Tsunami di Wilayah Pesisir Kema, Sulawesi Utara yang dipublikasikan Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1, Mei 2013, laut Maluku berpotensi terjadi gempa bumi dengan magnitudo 8,5 Skala Richter yang dapat menimbulkan tsunami hingga melanda di pantai wilayah pesisir Kema pada menit ke 10 setelah kejadian gempa bumi, dengan ketinggian run up tsunami mencapai 13,9 meter.

“Pemetaan run up tsunami tersebut menunjukkan bahwa seluruh wilayah pesisir Kema adalah daerah rawan tsunami,” tulis Raharjo, dkk.


 
_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.



Saturday, September 29, 2018

Sejarah Kata ‘di’ dalam Nama GMIM



Bakal Sinode GMIM 1934. Foto: Kitab Peringatan Pendirian Gereja Protestan Minahasa

Kata ‘di’ dalam nama Gereja Masehi Injili di Minahasa punya sejarahnya. Debat tentang perlu tidaknya digunakan kata itu dalam nama GMIM adalah debat tentang keberadaannya

HARI itu, Minggu, 30 September 1934 di ‘Roemah Geredja Tomohon’. Pada sebuah kebaktian agung berdirilah seorang pendeta Kristen Minahasa menyampaikan pidato, Albertus Zacharias Runturambi Wenas. Sebelum gilirannya berturut-turut para pembesar gereja dan pemerintah Hindia Belanda telah menyampaikan pidatonya masing-masing. Saat itu, Wenas kira-kira berusia 37 tahun.

“Demikian hari ini adalah hari lahirnja Geredja Masehi Indjili Minahasa jang berdiri sendiri,” kata Wenas dalam pidatonya sebagai Ketua II Sinode Geredja Masehi Indjili Minahasa (G.M.I.M). Ia adalah satu-satunya orang Minahasa dalam struktur kepeminpinan sinode awal gereja ini. Pidato Wenas ini termuat dalam Kitab Peringatan Perihal Perajaan Pendirian Geredja Protestan Minahasa 30 September 1934.

Hari Minggu itu adalah hari perayaan berdirinya G.M.I.M. Ketua Sinode pertama yang ditunjuk adalah E.A.A. de Vreede yang sebelumnya adalah predikant-voorzitter. Dalam masa persiapan pendirian G.M.I.M, antara Wenas dengan de Vreede seorang pendeta Belanda itu sempat terlibat debat mengenai nama gereja ini.

G.P.H. Locher, ketua sinode G.M.I.M keempat dalam tulisannya berjudul Djalan dan Tugas Geredja termuat dalam Ds. A.Z.Wenas (1897-1967) Pelajan Geredja di Minahasa, Bulletin Dewan Gereja-gereja Sulutteng terbit tahun 1968 menceritakan kisah perbantahan antara Wenas dan de Vreede tersebut.

“Dr. de Vreede mengusulkan akan menamai geredja itu ‘Geredja Masehi Indjili di Minahasa’. Akan tetapi ds. Wenas memperdjuangkan dengan kuat akan meniadakan kata ‘di’,” kata Locher yang mendengar langsung dari Wenas tentang hal itu pada Juli tahun 1941 di Rurukan. Wenas menyampaikan itu dalam sebuah pertemuan yang dihadiri pemuda-pemudi dari seluruh Minahasa.  

Nama G.M.I.M tanpa kata ‘di’ memiliki arti tersendiri bagi keberadaan gereja ini. “Hal itu berarti bahwa jemaat-jemaa di luar daerah Minahasa, yang beranggotakan suku Minahasa, dapat pula bergabung di dalamnya. GMIM menjadi gereja bangsa, bukan hanya gereja-daerah,” tulis Th. van den End dalam Ragi Carita: 1860-sekarang.

Maksud Wenas ketika mengusulkan nama menurut pendapatnya agar supaya gereja Minahasa ini dapat berdiri di mana-mana di Indonesia.

“Maka pada perhimpunan Besar Geredja Hindia Djakarta telah kami tjetuskan kerinduan kami akan mendirikan dimana-mana di Indonesia Djemaat2 Minahasa,” kata Wenas pada tahun 1963 dalam tulisan  “G.M.I.M Sekarang Ini” terlampir dalam Bulletin Dewan Gerejagereja Sulutteng itu.

Sementara bagi de Vreede, nama G.M.I.M dengan kata ‘di’ memiliki arti sebaliknya. “Pemikiran de Vreede sangat erat dengan pandangan bahwa Gereja itu ada di mana-mana yang universal. GMIM tidak lain adalah perwujudan Gereja universal itu di konteks Minahasa. Jadi bukan gereja suku Minahasa,” tulis D.M. Lintong dalam Apakah Engkau Mengasihi Aku? Sejarah GMIM Jilid 1, terbit tahun 2004.

Dengan begitu, dapat dipahami pemikiran de Vreede yang hendak mengusulkan G.M.I.M sebagai bagian dari gereja universal yang ‘ada di mana-mana’, tapi bukan G.M.I.M itu sendiri yang ‘ada di mana-mana’.  

Tentang pengertian ini tampak juga dalam pidato T.J. van Oostrom Soede, jurutulis dan utusan Badan Pengurus Gereja Injili di Hindia Belanda pada ibadah agung peresmian G.M.I.M di ‘Roemah Gerejda Tomohon’, kini Gereja Sion itu.

“Keesaan Geredja seanteronja dikoeatkan disitoe dengan sengadja. Hal itoe nyata djoega dari nama geredja antero jang tidak menoenjoek satoe bilangan yang melebihi satoe, namanja: Geredja Masehi Indili di Hindia-Wolanda,” kata van Oostrom Soede.

Tentang keesaan dalam gereja yang universal atau am, van Oostrom Soede menegaskan, bahwa G.M.I.M yang berdiri sendiri adalah bagian dari persekutuan dengan Gereja Am di Hindia atau bahkan seluruh dunia.

“Sekarang inilah hendakja tjita-tjitamoe bahwa kamoe, menoeroet tabi’at kamoe sendiri jang diberikan Toehan, sesama dengan orang Masehi bangsa lain, atau bahagian lain dari Geredja Masehi itoe, dengan tabi’atnja jang diberikan Toehan Allah kepadanja, djoega hendak meroepakan soeatoe keesaan jang lebih tinggi adanja, sehingga kamoe sekarang ini dan disini, soedah tahoe menjatakan separoehnya kemoeliaan Geredja Masehi jang esa, jang moekadas dan jang ‘am, bagi kehormatan Toehan dan akan berkat saban manoesia,” kata van Oostrom Soede.  

Wenas kemudian menyadari pendapatnya. “Akan tetapi kata beliau, sekarang ini saja hendak menjatakan dengan terang bahwa pendapat Dr. de Vreede benar dan pendapat saja tidak,” tulis Locher mengutip tuturan Wenas.

Wenas sendiri dalam tulisannya pada tahun 1963 berjudul “G.M.I.M Sekarang Ini” terlampir dalam Bulletin Dewan Gerejagereja Sulutteng itu menyatakan secara langsung pengakuannya itu. Bagi Wenas, kemenangannya di tahun 1934 sebetulnya adalah kekalahan.

“Kemenangan ditahun 1934 itu bukan kemenangan melainkan se-benar-benarnja kekalahan. Sjukur keadaan sekarang ini telah dirobah oleh GMIM sendiri mendjadi kemenangan,” kata  Wenas.

Wenas dalam tahun 1963 itu kemudian memproklamasikan lagi tentang hakekat keberadaan G.M.I.M sebagai gereja berdiri sendiri yang menjadi bagian dalam keesaan dengan Gereja yang universal.

“Djadi nama jang tepat bagi geredja kita itulah: ‘Geredja Masehi Indjili di Minahasa’,” seru Wenas.  

Tokoh-tokoh yang berperan penting di masa awal  berdirinya G.M.I.M  sepertinya sudah dalam kesadaran penuh mengenai hakekat keesaan ekumenis gereja di Minahasa ini. G.M.I.M adalah bagian dari Gereja Kristus yang ada di mana-mana, sehingga bukan lembaga atau jemaatnya yang ada di mana-mana. 

“GMIM ada didalam dunia Minahasa tetapi bukan dari Minahasa, melainkan dari Jesus Kristus,” tegas Wenas. 


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.



Tuesday, September 18, 2018

Pemilu di Minahasa tahun 1951, Pemilihan Langsung Pertama di Indonesia

Pemilu pertama di Indonesia dengan sistem pemilihan langsung dilaksanakan di Minahasa pada tahun 1951.  

“Rakjat! Pilihlah Jang Berani dan Djudjur” begitu bunyi sebuah iklan kampanye di Minahasa tahun 1951. Sampai bulan Juni tahun itu, rakyat sibuk dengan kampanye dan propaganda politik oleh partai politik maupun para calon anggota dewan daerah tingkat II Minahasa.

Suasana selama kampanye sangat ramai. Siapapun yang memiliki hak dipilih terbuka untuk mencalonkan diri melalui partai-partai politik. Propaganda dilancarkan oleh para pendukung. Orang-orang berkumpul dalam acara pesta-pesta yang dibuat oleh para calon.

Partai dan calon bahu-membahu membiayai kampanye. Pamfel dan spanduk-spanduk kampanye dipajang menghiasi tempat-tempat umum. Panitia pemilihan giat melakukan sosialisasi kepada rakyat Minahasa, antara lain menggunakan bendi.

Mobil-mobil ditempeli plakat-plakat yang menarik perhatian banyak orang. Murid-murid sekolah juga dimobilisir. Keramaian ini disebabkan adanya anggapan umum, bahwa menjadi anggota DPR adalah suatu kehormatan besar. 

“Mobil2 dipakai djuga dalam mendjalankan kampanje ini, dengan menempelkan plakat2 jang menjolok mata, untuk propaganda. Sampai murid2 sekolah dibajar dibudjuki oleh guru2nja jang menguntungkan partainja, sehingga hari2 itu segala perhatian rakjat tertudju kepada hasil pemilihan umum itu,” demikian tulis Majalah Merdeka, 1 Desember 1951 dalam laporannya berjudul, “Pemilihan Umum: Dari Rakjat, untuk Kepentingan Rakjat” seperti dikutip M. Nazir Salim dalam bukunya Membayangkan Demokrasi Menghadirkan Pesta, Pemilihan Umum Yogyakarta Tahun 1951  terbit tahun 2013. 

Berita itu mengutip laporan pemantauan kampanye Pemilu tahun 1951 di Minahasa oleh utusan kementerian dalam negeri Suwarno.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia masa itu, Mas Sartono memberi komentar tentang persiapan Pemilu di Minahasa setelah melakukan tinjauan langsung di daerah ini. “Tur saya ke Indonesia Timur terutama bertujuan untuk merekam situasi di Minahasa. Daerah ini dihuni oleh 95% penduduk yang melek huruf, sehingga memberi harapan bagi kondisi yang sangat menguntungkan untuk kelancaran pemilihan, " kata ketua parlemen Mr Raden Mas Sartono seperti diberitakan Algemeen Indisch Dagblad edisi 18 Mei 1951.

Ini adalah pemilu pertama di Indonesia. Di Minahasa sendiri, sebelumnya sudah dilakukan dua kali pemilu dalam skala lokal. Selain Minahasa, daerah lain yang melakukan pemilu pada tahun itu adalah Yogyakarta.

Berbeda dengan di Yogyakarta yang menggunakan sistem pemilihan bertingkat, di Minahasa sistem yang dipakai adalah ‘langsung’. Sebab adanya perbedaan karena sebetulnya Pemilu tahun 1951 ini adalah ‘Pemilu Uji Coba’.

Menurut Salim, soal di belakangnnya begini. Pada bulan Februari 1951, kabinet Natsir memperkenalkan rancangan undang-undang (RUU) pemilihan umum dengan sistem pemilihan tidak langsung (bertingkat). Namun RUU itu tidak jadi disahkan karena kabinet Natsir keburu bubar. Kabinet Sukiman sebagai penerus juga tidak melanjutkan karena parlemen menolak RUU itu. Itulah sehingga akhirnya dilakukan ‘uji coba’ pemilihan guna untuk mendapatkan rujukan dalam merumuskan sistem pemilihan. Jadilah,  pemilihan lokal Minahasa menggunakan sistem pilihan langsung, Yogyakarta secara bertingkat, dan Kota Makassar tahun 1952 secara langsung.

Kamis, 14 Juni 1951 tibalah hari H pemungutan suara. Masyarakat Kabupaten Minahasa beramai-ramai menuju ke tempat pemungutan suara. Para pemilih ini akan memilih 25 anggota di dewan.  Jumlah pemilih di Minahasa waktu sebanyak 209.992, pemilih aktif ± 150.000. Sementara jumlah total penduduk, sebanyak  503.929 jiwa. 

“Satu anggota DPR Daerah Minahasa dipilih oleh 6.000 pemilih,” tulis  Salim.

Jadwal memilih antara perempuan dan laki-laki berbeda. Pukul 08.00-12.00 khusus kaum laki-laki.  Pukul 12.00-17.00 khusus untuk pemilih perempuan.  Cara pemilihan dilakukan secara langsung.

Menurut Salim, cara pemilihan langsung dapat diterapkan dalam Pemilu di Minahasa karena mempertimbangkan tingkat melek huruf yang tinggi dan pengalaman mengikuti pemilu sebelumnya.  

“Pemilihan umum di Minahasa adalah yang pertama diadakan di Indonesia,” kata  Raden Mas Sartono.

“Pemilihan langsung di Minahasa dirasa jauh lebih hangat dan memiliki pengaruh luas bagi masyarakat,” kata Salim.



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

Friday, September 14, 2018

Riwayat ‘Gelar Adat Minahasa’, Diskusi Panjang Antara Kelompok Kawanua dan Kelompok Minahasa

Kliping Koran tentang pemberian gelar kepada Siti Hardiyanti Rukhmana. Foto: dr. Bert A. Supit

Diskusi tentang ‘gelar adat Minahasa’ antara kelompok Kawanua dan Kelompok Minahasa diwarnai oleh perbedaan-perbedaan pendapat. Di saat diskusi masih berlansung pemerintah Kabupaten Minahasa justru telah menganugerahkan gelar adat kepada sejumlah tokoh nasional, militer maupun sipil.

“Mengenai gelar adat, kita tidak mengenal gelar tetapi jabatan, yang dimaksud ‘gelar’ itu seperti (di Jawa) Kiay Panembahan, Pangeran....” kata sejarawan Minahasa, F.S. Watuseke pada sebuah pertemuan yang digagas oleh Yayasan Kebudayaan Minahasa (YKM) Minggu, 15 September 1986 di hotel Kawanua City Manado.

Watuseke adalah seorang yang memiliki pengetahuan luas tentang sejarah Minahasa. Sejak tahun 1950-an ia banyak menulis tentang sejarah Minahasa. Tulisan-tulisannya antara lain terbit pada majalah terbitan KITLV Belanda. Tua-tua Minahasa lainnya yang hadir adalah H.M. Taulu, budayawan dan penulis. Ny. Watuseke-Politton. Wies Lalamentik. F. Walandouw. Kotambunan. Ny. R. Pattynama-Tanos dan Rob Warouw, ketua Lembaga Adat Toar-Lumimuut. Di tahun itu, mereka rata-rata berusia 80-an tahun.

Dari YKM atau kelompok Kawanua di Jakarta hadir Ny. M. Tengker-Rombot. Ia adalah ketua organisasi kawanua itu yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin rapat. Lainnya, Dr. Genaard Paat, ketua Forum Cendekiawan Kawanua, dan Jessy Wenas yang waktu itu sebagai notulis serta Jaap Gerungan.

Percakapan ini adalah lanjutan dari serangkaian pertemuan sebelumnya, baik di Jakarta maupun di Minahasa antara ‘kelompok Minahasa’ dan ‘kelompok Kawanua’. Pokok yang dibahas  antara lain tentang institusi yang akan memberi gelar adat, tentang klasifikasinya, bahasa subetnik Minahasa yang akan digunakan dan lain sebagainya. Karena belum ditemukan kata sepakat, maka dibuatlah pertemuan 15 September itu.  

Sementara di Minahasa sendiri terdapat dua lembaga atau semacam dewan adat, yaitu Lembaga Adat Toar-Lumimuut dan Dewan Adat Minahasa.

“Karena melihat bahwa ada kelompok budayawan dan dua dewan adat di Minahasa, maka bulan September 1985, Ketua YKM Ibu Non Tengker-Rombot membuat program ke Manado guna bertemu dengan tua-tua adat Minahasa kelompok Rob Warouw,” tulis Jessy Wenas dalam artikelnya berjudul “Perkembangan Gelar Adat di Minahasa Periode 1985-2000” termuat dalam buku Gelar Adat Minahasa, terbit tahun 2011.

Hal lain, menurut Wenas, karena Tim Jakarta, maksudnya YKM belum meresa puas dengan percakapan-percakapan dengan kelompok Minahasa sejak tahun 1983.

“Desember 1983, ‘Pinasungkulan’ dijadikan Forum Konsultasi Budaya Minahasa, pimpinan BKDH A.L. Lelengboto. Pertemuan tim budaya KKK Jakarta dengan Tim Budaya Minahasa ternyata mengecewakan tim budaya KKK Jakarta walau masing-masing membawa makalah tulisan,” kata Wenas.

Pasca Permesta berdiri sejumlah organisasi yang memberi perhatian terhadap budaya Minahasa. Tahun 1968, sejumlah tokoh Minahasa, antara lain J.H. Tamboto, B. Tungka, H.L.L. Lumanauw membentuk wadah ‘Pakasaan Mawakanua’. Tanggal 21 Mei 1973, orang-orang Minahasa di tanah rantau, terutama di Jakarta mendirikan Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK). Bulan Desember 1980 dibentuk pula Komisariat Budaya Korps Pembangunan.

Tahun 1981 terbentuk Lembaga Adat/Kebudayaan Toar-Lumimuut Masyarakat Minahasa, sebagai ketua Rob Warouw. Lalu Januari 1982 W. Lasut membentuk pula organsasi ‘Pinasungkulan’. Keanggotannya terdiri dari perwakilan dari Tonsea, Tolour, Tombulu, Rahatan, Tontemboan dan Manado.

Gagasan Awal Pemberian Gelar Adat

Lalu, sejak kapan muncul ide pemberian gelar adat ini? Jessy Wenas mengatakan begini, “Gagasan Gelar Adat itu lahir di ASMI Pulo-mas Jakarta ketika terjadi pertemuan antara wakil Bupati Minahasa Alex Lelengboto dipimpin Wim Tenges dan ketua tim kesenian KKK Ny. M. Tengker-Rombot beserta stafnya bulan Agustus 1984.”

“Gelar Adat itu sebenarnya ikut-ikutan, tapi apa salahnya kalau kita mau bikin,” ujar Ny. Watuseke-Politton melanjutkan pendapat pembicara lainnya pada pertemuan 15 September di hotel Kawanua City Manado itu.

Wenas merekam tanggapan Dr. Geraard Paat terhadap pendapat-pendapat kritis dari ‘kelompok Minahasa’ pada pertemuan itu. “Saya terkesan sekali mendengarkan uraian-uraian Ibu Politton...umur hampir 80 tahun, om Taulu 83 tahun, om Rob Warouw 84 tahun. Supaya nyanda baku salah mangarti torang Kerukunan Keluarga Kawanua, bukan suatu organisasi ‘Over Couplings Organisatie’, kami bersifat ‘Akomodatif’ terima siapa saja kami tidak menghendaki perpecahan,” ujar Paat.

Pihak YKM, atau ‘kelompok kawanua’ sepertinya sejak tahun 1985 telah berencana memberikan gelar adat. Namun, itu belum terlaksana karena belum ada kata sepakat. “Bapak dan ibu-ibu melihat dorang so mondar-mandir tiga kali, Juni, November ’84, Juli ’85, sebenarnya November 1985 juga direncanakan pemberian gelar adat, tapi kami dari Jakarta waktu pertemuan di hotel Indonesia (16 Agustus ’85) minta tunda dulu, karena belum ada persesuain,” terang Ny. M. Tengker-Rombot pada pertemuan itu seperti direkam Wenas. Disebutkan pula, rencananya para penerima gelar adat itu adalah semua bupati.

Sampai tahun 1986 rupanya belum ada kesesuain pendapat antara ‘kelompok Kawanua’ di Jakarta dengan ‘kelompok Minahasa’ mengenai pemberian gelar adat. Tanggal 8 Agustus 1986 di ASMI, Jakarta YKM menggelar diskusi kalangan internal yang membahas semua hal terkait pemberian gelar adat. Tanggal 17 November 1986 di Jakarta YKM menggelar pula seminar tentang ‘Perang Tondano’. Hadir pada seminar itu beberapa orang dari ‘kelompok Minahasa’.

“Pihak Minahasa yang datang menghadiri sseminar itu tidak tertarik lagi membahas soal Gelar Adat, dengan demikian Y.K.M. menghentikan program penelitian Gelar Adat,” ungkap Wenas. Kata Wenas melanjutkan, hubungan antara YKM dan kelompok Minahasa justru makin merenggang pada seminar itu.

Sementara ketegangan antara kelompok Kawanua dengan kelompok Minahasa berlangsung, Bupati Minahasa, waktu itu dijabat oleh Alex Lelengboto justru telah menerima Surat DPRD II No. 8/KPTS/DPRDM/V/1985 untuk hak pemberian gelar adat.  Majelis Kebudayaan Minahasa (MKM) kemudian mendapat tugas untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan gelar adat tersebut.

Maka, sejak tahun 1986 sampai tahun 1998, masa orde baru itu, MKM telah menganugerakah gelar adat Minahasa kepada 22 tokoh. Menurut dokter Bert Supit seperti termuat dalam buku Gelar Adat Minahasa, enam di antaranya lahir di masa kepemimpinan Bupati Alex Lelengboto. Kemudian, musim masa paceklik ‘tonaas’ saat JO Bolang menjabat Bupati Minahasa. Waktu itu MKM hanya memberi gelar kepada kepada dua orang, yaitu  JO Bolang dan HN Eman, yang disebut dokter Bert Supit ‘orang dalam’ dan dari ‘kandang sendiri’.

“’Panen raya’ tonaas ketika Drs. KL Senduk dipercayakan memimpin Minahasa. Ada 14 tonaas yang dilahirkan,” kata Supit.  

Nama-nama tokoh penerima gelar waktu itu antara lain, Letjen TNI Try Sutrisno menerima gelar adat ‘Tonaas Wangko ang Katanaan’. Jenderal TNI LB Moerdani, menerima gelar adat ‘Tonaas Wangko um Banua’. Tak ketinggalan, putri Presiden Soeharto, Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, juga menerima gelar adat. Ia menerima gelar adat, ‘Walian Ina Kowene’.

Itulah gelar-gelar adat, yang disebut oleh sastrawan Yapi Tambayong sebagai, “Tradisi baru mengatasnamakan tradisi lama’, seperti judul tulisannya yang termuat dalam buku Gelar Adat Minahasa.  



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.