Sunday, January 26, 2020

Bagian Kedua: Papendangan





PERCAKAPAN yang tak menyenangkan dengan tuang pandita Duverman tak membatalkan rencana Mandey pergi ke rumah tonaas Pandei. Ia terlambat.

Mandey kini berada di depan sebuah rumah panggung. Pekarangan rumah ini ditumbuhi beberapa jenis tanaman. Tanaman tawaang terdapat di hampir setiap pinggiran pekarangan.

Tepat di bagian depan rumah, sebuah patung manusia terbuat dari kayu setinggi orang dewasa berdiri. Patung ini menandakan bahwa pemilik rumah ini adalah tona’as atau walian sebab ia terkait dengan foso-foso yang dilakukan.

Sebuah watu lonjong meruncing ke atas berdiri di sudut pekarangan. Saat melakukan foso tertentu yang dipimpim walian, orang-orang mengitari watu itu.  

Di sebelah rumah panggung itu,  seorang lelaki tua sedang duduk di bale-bale bulu[1]. Pohon-pohon yang tumbuh di situ membuat sinar matahari tak langsung mengenai orang-orang di bawahnya. Lelaki tua itu  mengenakan celana setinggi lutut. Kepalanya ditutupi poporong[2] terbuat dari kain Bentenan. Tabaku terselip di jari jemarinya. Bau tembakau, kemenyan dan karimenga khas di  rumah ini. Sekira empat orang muda membentuk setengah lingkaran duduk berhadapan dengan Tonaas Pandei. 

Mandey tampak ragu memasuki pekarangan rumah.  Tapi suara seorang perempuan tua menyapanya. Nenek Ringkan. Ia istri tonaas Pandey. Nenek Ringkan adalah salah satu walian di  ro’ong Tamberan. 

"Mandey, mengapa baru datang. Sudah terlambat," kata Nenek Ringkan yang dari mulutnya kentara ia sedang mengunyah sirih-pinang.

Mandey hanya diam. Dia tak mungkin berterus terang kalau dia terlambat karena bercakap dengan tuang pandita tadi.

Nenek Ringkan lalu diam. Tapi dari gerak tubuhnya seolah memberi isyarat agar Mandey segera bergegas masuk. Tanpa bertanya lagi, Mandey pun segera merapat ke kelompok papendangan.

Ketika Mandey mengambil posisi duduk, tonaas Pandei sedang berbicara serius. Diapun tidak memedulikan kehadiran Mandey yang terlambat. Di samping tempat duduknya terdapat wadah kecil berisi sirih-pinang.

“Koemiit in sisil, se touw ririor an tana im Malesung. Sapake, ‘se tou Maasa’, sera se mësembo-sembongan sumaru se Mongondou wo se Tasikela kaapa Walanda[3],” tonaas Pandei menjelaskan tentang arti maasa.

Sebelum datangnya kompeni atau VOC lalu kemudian pemerintah Hindia Belanda, orang-orang di Tanah Malesung beberapa kali berperang besar melawan kekuatan-kekuatan dari luar. Namun, di saat tidak ada musuh atau kekuatan dari luar yang mengancam, perang justru terjadi antara walak-walak.

Maasa adalah persatuan dari walak-walak dan pakasaan-pakasaan Minahasa di masa berperang melawan pasukan kerajaan Mongondow, lalu Tasikela dan kaum Bantik. Kaum Toumpakëwa, Tombulu, Toulour dan Tonsea bersatu menghadapi kekuatan-kekuatan musuh.

Tonaas Pandei rupanya sedang memberi pelajaran tentang sejarah asal mula se Maasa. Sebagai pelajaran yang penting bagi para pahayowan[4] yang nanti akan menjadi bekal pengetahuan bagi mereka untuk menjadi tonaas atau walian.

Para murid yang lain mendengar secara seksama apa yang dituturkan oleh tonaas Pandei. Hanya Mandey yang tampak tak tenang, meskipun dia berusaha untuk menunjukkan bahwa dia menyimak secara seksama pula.

“Tumötol ai a niïtu se touw isera itumuul in ngaran era kaapa imindo ngaran ‘Maësa’ kaapa ‘Maasa’. An somoj oka mai ja ën ngaran anió imamuali ‘Minahasa kaapa Minaesa’[5]," kata tonaas Pandei sambil mengunyah sirih-pinang.

Di masa Spanyol, leluhur yang mendirikan negeri Tamberan dan beberapa negeri lainnya adalah pemasok tali gomutu[6] untuk dipakai di kapal. Beberapa negeri lainnya di lembah memasok padi. Kesemuanya itu dibawa ke  Benteng di Uwuran, Amurang.

Pada suatu masa orang-orang se Maasa di bagian Selatan tanah Malesung merasa bahwa hubungan mereka dengan Spanyol tidak adil. Maka, merekapun menyatakan perlawanan, yaitu menolak memasok tali gomutu[7] dan beras. Spanyol marah, lalu kemudian terjadi perang yang hebat.

Salah satu pemimpin perang itu adalah leluhur Mandey bernama Ririmbeng. Ia terkenal dengan kemampuannya menggunakan wengkow[8]. Meski waraney-waraney yang dipimpin teterusan dari negeri dan walak-walak lain datang membantu, tapi perang itu dimenangkan oleh Spanyol. Mawale, pemukiman pertama leluhur Tamberan hancur dibakar oleh pasukan Spanyol. Meski kalah, orang-orang Maasa tidak mau tunduk. Mereka kemudian menyingkir ke hutan. Setelah Spanyol tidak lagi memiliki kuasa karena dikalahkan oleh pasukan Belanda, para leluhur kemudian mendirikan pemukiman baru yang tidak jauh dari Mawale. Itulah Tamberan kini.

Setelah menguraikan panjang lebar tentang Se Maasa, tonaas Pandei lalu berhenti berbicara. Istrinya walian Ringkan kini telah duduk di sampingnya di bale-bale itu.

Kecuali Mandey, para murid yang lain segera mengerjakan apa yang mereka bisa kerjakan  sebagaimana biasanya mereka di rumah itu. Tonaas Pandei kemudian memanggil Mandey untuk duduk di sampingnya.

“Kaitu, Mandey[9]?” Tanya tonaas Pandei.

“Raica sapa-sapa, tonaas.[10]

Keluarga Mandey dan keluarga tonaas Pandei sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga. Suru[11] mereka adalah teterusan Ririmbeng. Sehingga, bagi tonaas Pandei dan walian Ringkan, Mandey adalah seperti anak mereka sendiri. 

Lantaran itu juga Mandey akrab dan sering tidak segan-segan mengutarakan apa yang dia gelisahkan. Mandey lalu cerita soal percakapannya dengan tuang pandita Duverman, kemarin dan tadi pagi.

Se waraney tumeir  ro’ong wo kanaramenta. Sera si pekua kelung um banua. Se tou maasa rior, sera apota keter, niatean, wo nga’asan. Si’itu sera mamuali apo[12],” kata tonaas Pandei.

Mandey lalu mengatakan yang dia dengar dari tuang pandita Duverman tentang luasnya dunia ini. Mandey berkata lagi, bahwa menurut tuang pandita itu, foso dan kanaramen kaumnya tidak memberi faedah sebab banyak yang tidak benar.

“Sia si ca wutul. Sia si lumewo  ro’ongta. Lumewo kinatowanta wo kanaramenta[13],” tegas tonaas Pandei.

“Ne, sapa ema’anta?[14]

Sementara mereka bercakap, tiba-tiba terdengar suara orang masuk ke pekarangan. Empat orang datang dengan marah-marah. Dua kepala jaga, satu opas, seorang yang lain adalah mandor kebun kopi.

Tonaas Pandei dan Mandey serta beberapa orang lainnya di situ segera berkumpul dan menemui orang-orang yang datang itu. Nenek Ringkan tampak berdiri di dekat suaminya.

“Slamat siang, tuang,” sapa tonaas Pandei kepada rombongan itu.

“Apa yang sedang tuang buat ini? Ini hari kerja, bukan kumpul-kumpul,” kata Mandor Jopi.

“Orang-orang muda ini adalah penanggong. Marika harus karja di kebun kopi,” kata opas Brons menyambung.

Dua kepala jaga yang beserta mereka hanya diam. Mereka berdiri di belakang opas dan mandor.

“Kapala jaga, kita orang harus bawa ke kebun ini orang-orang muda,” ujar mandor sambil menunjuk kepada para murid papendangan.

“Tuang-tuang. Marika itu belum kena wajib karja,” kata tonaas Pandei.

“Apa kamu orang trada dengar plakat malam tiga hari lalu. Kepala jaga, coba liat nama-nama penanggong di negeri ini,” kata mandor.

“Iya tuang. Ini ada nama Mandey, Endos, deng Wongken,” kepala jaga membacakan daftar nama wajib kerja.

“Mana orang yang punya nama-nama tadi?” tanya Mandor tegas.

Ketiga nama yang disebut menyahut serentak.

“Capat, pigi ka kobong kamu-kamu orang,” opas berkata sambil hendak menarik Mandey dan teman-temannya.

“Nembole, tuang. Marika itu ada sama kita,” kata tonaas Pandei sambil maju ke depan menghalau opas.

“Eits, tetek tua mo melawan pemerentah?!”

“Nyanda bagitu tuang.”

“Persetang...!!! Capat, bajalang.”

“Mari maso jo dulu. Torang bacirita bae-bae, tuang-tuang,” kata tonaas Pandei.

“Trada carita, tonaas!” kata opas mulai marah.

“Kita orang trada mau karja siksa itu,” kata Wongken yang tampaknya mulai berani.

“Apa ngana bilang! Kamu orang mo suka maso bui? Mo malawang!” Mandor marah.

Walian Ringkan mencoba menenangkan Wongken yang mulai panas hatinya. Endos tampak berdiri dengan sigap.

Tapi opas ternyata sudah marah betul. Dia maju ke depan mendekati Wongken dan memegang tangannya dengan kasar. Wongken lalu menarik tangannya dan terlepas.

“Ngana ini mo malawang!” opas berkata marah. Suaranya meninggi.

“Tabea tuang-tuang, sodara-sodara. Ada apa ini?” Tuang pandita yang kebetulan lewat di situ menyapa mereka.

“Eh, tuang pandita. Siang bae, tuang pandita,” mandor menyapa tuang pandita Duverman.

Melihat kedatangan tuang pandita Duverman, opas melangkah mundur.

“Ini orang-orang muda nyanda ka kobong. Dorang itu penanggong, tuang pandita,” kata mandor.

Tuang pandita Duverman melangkah maju dan mengambil posisi di tengah kerumunan itu.

“Maar, trada boleh baku-baku hela bagitu, tuang mandor. Nyanda bagus toh?” kata tuang pandita.

Tonaas Pandei dan walian Ringkan tampak tidak nyaman dengan kehadiran tuang pandita. Mandey merapat ke Wonken dan Endos.

“Kamu-kamu orang, pulang jo dulu, nanti kita orang yang bacirita dengan dorang,” kata tuang pandita menenangkan.

“Maar, tuang pandita...” Mandor mencoba menyanggah.

“Sudahlah tuang. Nanti saya yang bicara sama marika,” ujar tuang pandita.

Tuang pandita Duverman berhasil membujuk mandor, opas dan dua kepala jaga agar tidak memaksa Mandey, Wongken dan Endos bekerja di kebun kopi. Rombongan itu pun pulang dengan kecewa. Bagaimanapun mereka menghormati tuang pandita Duverman sebagai pendeta mereka.

Tonaas Pandei agaknya tidak terlalu terpengaruh oleh tindakan tuang pandita yang untuk sementara menyelamatkan murid-muridnya dari wajib kerja di kebun kopi. Mandey menjadi serba salah. Jika ia mendekat ke tuang pandita untuk katakanlah menyapanya, mungkin akan timbul kecurigaan dari tonaas Pandei bahwa ia sudah terpengaruh oleh tuang pandita. Tapi, di hati kecilnya Mandey sejujurnya merasakan sedikit kebaikan dari tuang pandita. Terhadap tuang pandita ia justru sedikit merasa terbeban karena percakapan tadi pagi ia bilang akan ke kebun tapi kedapatan ia ada di pendangan tonaas Pandei.

Tuang pandita diam-diam memperhatikan suasana itu. Pada satu pihak ia merasa ini kesempatan baik untuk berbicara dengan tonaas Pandei dan istrinya. Ini rencananya yang sudah lama. Tapi, ia merasakan ada penolakan dari suami istri itu. Tuang pandita Duverman pun berlalu dari situ.

Selain tonaas Pandei dan istrinya, tuang pandita Duverman juga sudah lama ingin bertemu dan bercakap dengan hukum tua  ro’ong itu. Orang-orang inilah yang bagi tuang pandita masih kuat dengan kepercayaan fosonya.

Memang sudah berdiri gereja dan midras di Tamberan, serta sudah semakin banyak orang-orang yang menjadi Kristen, tapi bagi tuang pandita Duverman, kunci untuk makin membuat Kristen di sini kuat adalah dengan mendekati pemimpinnya, tonaas, walian dan hukum tua. Untuk kaum mudanya, ia sementara berusaha mendekati Mandey.

Ketika tuang pandita Duverman berlalu dari tempat itu, tonaas Pandei kemudian mengumpul murid-muridnya. Walian Ringkan juga bersama mereka di bale-bale.

Ia lalu berbicara kepada mereka dalam bahasa Tompekawa. Ia mengatakan, bahwa situasi mereka yang mau terus menjaga kanaramen se Maasa semakin sulit. Orang-orang ditekan untuk bekerja rodi di kebun kopi. Zendeling terus memaksa mempengaruhi setiap orang agar menerima kekristenan.

"Kita berhadapan dengan ka ro’ong kita sendiri. Lihat tadi itu, kepala jaga, opas dan mandor mereka-mereka itu adalah saudara-saudara kita sendiri," ujar tonaas Pandei.

"Tapi tadi malam masih banyak orang yang mengikuti pesta foso," sambung walian Ringkan.

"Betul. Tapi sebagian dari mereka sudah Kristen.   Berapa lama lagi mereka tetap mempertahankan kanaramenta," balas tonaas Pandei.

"Untung hukum tua masih tetap mempertahankan kanaramen," kata Mandey.

"Apakah kita perlu mengatakan ini kepada hukum tua?" Kata Wongken.

"Iya..Perlu itu," sambung Endos.

"Tapi, hukum tua kita, seperti kapala-kapala di  ro’ong lain, mereka itu bekerjsama dengan mandor. Bukankah tanah-tanah kita yang sekarang telah menjadi perkebunan kopi karena hukum tua telah bekerjsama dengan mandor?" Kata Mandey.

"Ia menikmati kedudukannya. Karena ia juga mendapat untung dari pemerentah," kata tonaas Pandei.

"Hukum tua kita tidak dipilih lagi seperti apo kita memilih ukung atau pamatuan," ujar walian Ringkan.

"Mereka pasti akan kembali lagi ke sini," sambung Endos.

"Sampe papedangan ini tidak ada lagi," kata Mandey.

"Apakah kita harus melawan?" Kata Wongken.

"Jangan. Percuma. Ingatkah kalian apa jadinya Ruindung dan teman-temannya di  ro’ong Lowatan yang melawan pemerentah waktu lalu," tonaas Pandei berkata.

Sambil menyalakan tabakunya, ia melanjutkan, "Lowatan ditembak oleh opas. Teman-temannya dibui. Kita perlu memikirkan cara lain."

Lalu semua terdiam.

Dalam diam itu, tiba-tiba terdengar bunyi burung dari arah belakang rumah. Bunyi suara mulai dengan pelan dan perlahan lalu menyusul suara yang kuat dengan tarikan panjang. Bunyi itu berasal dari burung yang berbulu hitam, paruh kuning, ekor panjang berbuku kuning, leher berwarna merah.

"Wara ni endo..." kata walian Ringkan.

"Ehemm..." tonaas Pandei berdehem sambil menghetakkan kakinya tiga kali ke tanah.

Mandey, Wongken dan Endos terdiam.

"Awean kelewoan mamuali ang  ro’ongta[15]," kata walian Ringkan.(bersambung)


Nantikan bagian III: Si Mangalitow wo Si Mangalaun



[1] Bambu.
[2] Penutup kepala dari kain.
[3] Menurut tuturan, para pendahulu di tanah Malesung (sebutan lain untuk tanah Minahasa). Bahwa, ‘se tou Maasa’, mereka adalah telah saling membantu melawan orang-orang Mongondow, dan Tasikela (Spanyol/Portugis) atau Belanda.
[4] Sebutan untuk murid papendangan.
[5] Mulai sejak itu mereka memulai dengan menyebut diri atau mengambil nama ‘Maesa’ atau ‘maasa’. Nanti kemudian nama ini menjadi ‘Minahasa’ atau ‘Minaesa’.   
[6] Tali yang terbuat dari ijuk enau.
[7] Tali dari ijuk enau.
[8] Tombak khas Minahasa.
[9] Mengapa kau Mandey?
[10] Tidak apa-apa, tonaas
[11] Leluhur.
[12] Para prajurit yang menjaga kampung dan dan tradisi kita. Mereka disebut kelung um banua. Orang-orang maasa di masa lalu, mereka adalah leluhur kita kuat, teguh dan cerdas/pandai. Karena itulah mereka menjadi pendahulu kita.
[13] Dialah yang tidak benar. Dialah yang akan merusak kampung kita. Merusak kehidupan dan tradisi kita.
[14] Jadi, apa yang akan kita buat?
[15] Ada yang tidak baik akan terjadi di kampung kita.

Friday, January 24, 2020

Frederik Kasenda, Pelukis Terkenal Asal Remboken-Minahasa




Frederik Kasenda,  pelukis asal Remboken - Minahasa membawa bakat alamiah melukis, juga empati pada perjuangan orang-orang Cina melawan Jepang


SEORANG yang terlahir dengan bakat alamiah asal Remboken, Minahasa pernah melukis potret Chiang Kai-Shek dan Dr. Sun Yat Sen, dua tokoh revolusioner Tiongkok Modern. Dia adalah Frederik Kasenda, seorang pelukis terkenal di masa kolonial.  

Waktu itu Chiang Kai-Shek (lahir 31 Oktober 1887) adalah seorang tokoh Partai Kuomintang (KMT). Sun Yat Sen adalah tokoh pemimpin besar Tiongkok. Ia pejuang revolusioner untuk Tiongkok modern yang meninggal pada tahun 1925. Posisinya lalu digantikan oleh Chiang Kai-Shek. Rupanya, tole Minahasa ini menggagumi dua tokoh itu.   

Meski lebih terobsesi melukis lanskap, tapi selain dua tokoh besar tadi, Kasenda juga pernah melukis potret Ratu Wilhemina.

Frederik Kasenda lahir di  Remboken, Minahasa pada 31 Mei 1891. Kasenda membawa bakat alamiah. Di waktu masih masa kanak-kanak, Kasenda kecil suka menggambar di mana saja.

John Ernest Jasper  (1874 – 1945), seorang pegawai negeri yang memiliki minat pada seni dan kerajinan tangan ketika berkunjung ke Menado dan Minahasa ternyata sempat memperhatikan bakat Kasenda itu. Jasper rupanya tahu, Kasenda memiliki potensi menjadi pelukis hebat. Jasper lalu mengajaknya pergi ke Jawa untuk belajar. 
Pada tahun 1928 Jasper menjadi Gubernur Yogyakarta.

Ketika melakukan perjalanan di banyak tempat di nusantara, termasuk di wilayah Utara Sulawesi: Minahasa, Sangihe, Talaud dan sekitar sekira tahun 1904 sampai 1907 Jasper ditemani Mas Pirngadie seorang pelukis Jawa. Mas Pirngadie lahir Desember 1878 di desa Pakirangan Purbalingga Jawa Tengah. 

“Ngawi adalah tempat pertama di mana Kasenda mendirikan studionya. Dia kemudian pindah ke Kediri, ke Madiun,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad edisi Sabtu, 3 Januari 1942.
Di Ngawi, Jawa Timur Kasenda menemukan guru lukisnya. Sebelumnya dia sudah belajar beberapa bulan.   

“Ia terkenal karena karya bentang alamnya, terutama di Jawa dan Bali, sementara di samping itu beberapa cityscapes Singapura dibuatnya olehnya,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad.

Kasenda adalah pelukis yang khas. “Terkadang dia nakal, terkadang lembut, kadang romantis dan sentimental, terkadang rumit,” tulis De Indische Courant edisi 19 Maret 1935 dalam artikel berjudul Kunst of Geen Kunst?.

Karya Kasenda kelak dihargai sangat mahal. Lukisan-lukisannya menampilkan keindahan alam nusantara. Ada lukisan tentang sawah dengan padi yang menguning. Sungai dengan gunung yang tampak dari kejauhan. Ada pula pura di Bali waktu malam. Kasenda akrab dengan kehidupan orang-orang biasa dan alam yang perawan.

Tapi ia juga melukis orang-orang hebat. Juga melukis kota dengan bangunan-bangunan modern.

“Terkadang dia mengingatkan orang primitif dan terkadang kepada para futuris,” demikian komentar penulis di  De Indische Courant.

Kasenda dikagumi, tapi ia juga dikritik. Seorang yang lahir dari bakat alami, dan pergi dengan karya-karya yang mengagumkan.

Pada hari pertama tahun 1942 (1 Januari) setelah menderita sakit beberapa bulan, Frederik Kasenda meninggal di Batavia pada usia 53 tahun.

Semasa hidupnya, Kasenda adalah seorang yang memiliki empati pada perjuangan. Ia memiliki perasaan mendalam dan solidaritas bagi orang-orang Cina dalam perjuangan mereka melawan Jepang.

“Dia mengadakan pameran di Singapura beberapa tahun yang lalu, yang hasilnya seluruhnya diserahkan kepada Dana Bantuan Tiongkok. Pameran ini sukses besar,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad. (*)


_______________________

Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com

 082187097616





Tuesday, January 21, 2020

Bagian Pertama: Kelung um Banua




CAHAYA purnama menyinari seantero wanua Tamberan. Di pekarangan rumah hukum tua yang luas itu sedang berlangsung pesta foso. Ramai orang berkumpul di situ. Ini malam terakhir foso panen padi yang dilaksanakan selama dua minggu.

Para gadis dan pemuda menari maengket. Musik kolintang gong terdengar hingga di kejauhan. Di tengah keramaian pesta itu seorang walian perempuan memegang tawaang di tangannya. Walian lainnya mengitarinya. Doa-doa dipanjatkan.  

Obor-obor yang ditaruh di hampir setiap bagian perkarangan membuat malam itu terang benderang. Seolah tidak ada orang yang berdiam diri. Semua larut dalam pesta.

Lantai dua rumah panggung besar milik hukum tua sedang ramai. Sang makawale sedang menjamu beberapa kepala dari negeri sekitar. Sejumlah lampu minyak menerangi ruangan itu. 

“Hoot.....hooooot...............hoooooot...” suara Manguni yang bertengger di pohon we’tes[1] terdengar berulang-ulang...

“Kaawii yaku meteop wo si tuang pandita Walanda[2],”  kata Mandey membuka percakapan dalam sebuah kelompok kecil pemuda wanua di salah satu sudut keramaian itu. Mereka adalah bagian dari tumpukan Kawasaran yang membuka pelaksanan foso tadi.

"Sapa kuana?[3],” tanya Rimbing.

"Pute pekue i penolong Lukas Wioy.[4]"

"Foso-foso kanameranta, rai’ca wutul kine[5],” kata Mandey. "Sia tumowa yaku smicola ang Tanawangko. Taan, yaku mentowo ambalena. Mamuali anak piarana[6]."  

"Mmm...Sa ko mamualiwo guru Sarani, putewo si pandita Walanda nitu[7]?" Kata Wongken sambil meneguk saguer.

"Woondo yaku tumawoi an numa i pemerentah. Musew copi[8]," kata Endos.

"Pute kua si amangku. Sa wobaso pute cita kine, mamuali se mawendu. Pekua i era penanggong [9]kata Wongken.

Tanah-tanah kalakeran di wanua Tamberan semakin habis. Sejak tahun 1840-an, perkebunam kopi dalam rangka Cultuur Stetsel pemerintah, perkebunan kopi mengganti kalakeran-kalakeran warisan leluhur wanua itu. Para pemuda dipekerjakan di kebun-kebun kopi.

Endos, Wongken, Mandey dan teman-teman sebaya mereka akan segera mendapat giliran sebagai penanggong[10].

Kopi dari wanua mereka biasanya dikumpul di ibu kota distrik. Seorang pakhuismeester atau kepala gudang kopi berdiam di situ. Dari gudang itu, kopi lalu dikumpul di pusat Afdeelingen Amurang, lalu dibawa ke Manado.

***
Puncak gunung Lolombulan masih tertutup awan putih. Asap dari awu setiap rumah mengepul ke udara. Udara dingin tak membuat orang-orang wanua Tamberan terlambat bangun pagi. Pesta foso baru selesai subuh.

Bunyi tambur Mapalus terdengar seantero wanua Tamberan. Mandey menuruni tangga rumah mereka. Dia hendak ke rumah belakang atau kakus. Ayahya sudah lebih dulu bangun dan telah pergi ke kebun.  Ibunya di dapur menghadap dodika (perapian di dapur) sedang memasak beras milu dan lauk pauk seadanya untuk walun[11].

Semakin pagi, geliat di wanua Tamberan semakin terlihat. Gerobak-gerobak sapi menuju ke kebun melewati jalan utama wanua itu. 

Hari ini Mandey berencana pergi ke rumah  tonaas Pandei. Ia salah satu murid dari papendangan yang dipimpin tonaas Pandei dan istrinya walian Ringkan.

Baru saja bersiap keluar rumah, tiba-tiba Mandey mendengar suara orang memberi salam. Suara itu terden gar dari arah kolong rumah. Mandey rupanya cukup mengenal suara itu, baik aksen maupun bunyinya.

“Tabea...,” suara itu terdengar jelas hingga hingga ke bagian belakang rumah.

Mendengar suara khas itu, Mandey terdiam sejenak. Kala itu ia sedang mengenakan poporong kain Bentenan pemberian kakeknya di dalam rumah. Mandey tak lagsung menyahut. Ia merapa ke jendela rumah lalu mengintip ke bawah memastikan siapa yang datang itu. Dugaan Mandey tak meleset. Seketika ia menjadi tak bersemangat.

Lalu tendengar suara langkah orang menaiki tangga. Rupanya sang tamu tak menunggu sahutan balasan dari makawale untuk segera memasuki rumah itu. Mandey semakin kesal. Tapi, ia tak ada pilihan lain. Pintu rumah sudah terbuka sejak ia bangun tadi. Tangga itu langsung terhubung dengan bagian depan rumah yang tak terlalu luas. Di situ biasanya mereka menyambut tamu yang datang.

Mandey menuju ke pintu rumah dengan langkah yang berat. Tepat  di depan pintu sudah berdiri seorang bertubuh tinggi besar, berkulit putih, juga  berambut putih. Matanya biru dengan pakaian putih yang sangat rapi. Rambut brewok putih menutupi hampir setengah wajahnya.

“Tabea...”

“Ta...tabea tuang pan..di...ta,” Mandey membalas dengan suara terbata-bata.

Seperti dugaan Mandey tadi, suara itu milik tuang pandita Duverman, zendeling yang melayani di distrik mereka. Kini dia berdiri berhadapan dengan Mandey. Tangan kanan sang tuang pandita memegang tongkat kayu hitam. Tangan kirinya mengapit sebuah buku yang sampulnya berwarna hitam.

“Kamu sendiri di rumah ini?” Tanya tuang pandita membuka percakapan.

“Silakan duduk dulu tuang pandita,” Mandey mempersilakan tamunya duduk di kursi.

“Ow, terima kasih,” tuang pandita mengambil posisi duduk. Tampak ia kesulitan menaruh pantatnya di kursi itu. “Di mana orang tuamu?”

“Oh, amang saya sudah ke kebun pagi-pagi tadi. Inangku sedang memasak, tuang pandita.”

“Kamu tidak ke mana-mana pagi ini?” Tuang pandita bertanya.

Mandey terkejut. Ia menjadi kikuk.

“Mmmm...Tidak tuang...” balas Mandey.

Mandey menyembuyikan rencananya pergi ke rumah tonaas Pandei. Ia tahu, sudah lama tuang pandita ini ingin bertemu Tonaas Pandei. Sudah pasti maksudnya untuk membujuk Tonaas Pandei masuk Kristen.  

“Tidak ke kebun?” lagi-lagi Tuang Pandita bertanya..

Mandey merasa seperti sedang diselidiki. Ia tidak langsung menjawab.

“Tuang pandita mau minum apa? Kopi?” Kata Mandey.

“Iya, kopi,” jawab tuang pandita. Dari saku kemeja putihnya ia mengambil pipa tembakau lalu menyalakannya. Asap tembakau mengepul.

Mandey belum ke belakang, tiba-tiba muncul ibunya dari dapur dengan kopi segelas yang masih mengeluarkan uap. Ibunya ternyata sudah mengetahu sedari tadi kedatangan sang tuang pandita. Tapi ia hanya mengawasi dari belakang.

“Tabea, tuang pandita,” ibu Mandey menyapa sambil menaruh gelas kopi di meja kecil.

“Tabea, inang Mandey,” balas tuang pandita sambil mengulurkan tangannya untuk berjabatan.

“Melep tuang pandita,” kata mama Mandey.

Makapulu’ sama...” jawab tuang pandita.

Tuang pandita Duverman sudah sekira 15 tahun sebagai zendeling yang ditempatkan di wilayah ini. Klasis yang dia layani meliputi negeri Tamberan. Makanya ia sudah menguasai bahasa tana’ di sini. Bahkan sudah menerbitkan buku pengajaran agama Sarani dalam bahasa tana’. Di negeri Tamberan sebuah gereja kayu sudah berdiri. Midras berdiri di samping gereja. Ia menggantikan zendeling sebelumnya yang meninggal karena wabah cacar.

“Inang Mandey. Mangalitounu tuama fassung,” kata tuang pandita memuji Mandey.

“Taan sia ka’kat..[12]” balas ibu Mandey sambil segera kembali ke dapur.

Mandey yang masih berdiri tampak diam. 

"Mandey, tadi malam apakah kau juga mengikuti pesta foso?"

"Iya, tadi malam saya ada di sana."

"Oh, iya...Bagaimana yang saya bilang kemarin?"

"Tentang apa tuang pandita?"

"Ah, bagusnya kamu duduk dulu bersamaku."

Mandey lalu duduk berhadapan dengan tuang pandita. Air mukanya tampak tak tenang. Pertemuan itu sesuatu yang sesungguhnya tidak dia harapkan. Lagi pula, ia mestinya sudah harus pergi ke rumah tonaas Pandei untuk belajar di papendengan.

"Mandey, foso-foso itu tak berguna sama sekali. Kau ini masih muda. Saya liat ada bakat di dalam dirimu,"

"Apa maksud tuang pandita?"

Tuang pandita tidak langsung menjawab. Ia memegang tongkatnya yang disandarkan di samping kursi. Mengambil gelas kopi lalu menyeruputnya. Menyusul kemudian ia menghisap pipa tembakaunya.

“Iya tidak berguna. Tidak akan memberimu faedah,” kata tuang pandita.

“Mengapa tuang pandita berkata begitu? Kaum kami ma’asa sudah lama hidup dengan foso. Sebelum tuang dan bangsa tuang datang ke sini,” kata Mandey tegas.

“Dunia sudah berubah, Mandey. Kamu sudah pernah lihat dunia lain di Hindia Belanda ini? Kamu sudah pernah pergi ke Menado?”

“Belum tuang pandita.”

“Kalau kau ke Menado, kau akan lihat di sana kapal-kapal besar dari Batavia atau dari Negeri  Belanda bersandar di pelabuhan. Kamu bisa ke sana. Dunia itu besar sekali, Mandey,” ujar tuang pandita.

“Tapi saya tidak perlu ke sana.”

“Tidak perlu atau tidak boleh?”

“Maksud tuang pandita?”

“Tidak perlu atau takut?”

“Saya harus tetap di sini.”

Tuang pandita terdiam. Pipa tembakau kembali dirapatkannya ke mulut. Ia memegang tongkat sambil menggerakannya memukul lantai tapi pelan. Ia tampak memikirkan apa yang akan dikatakannya lagi.

Mandey merunduk menatap lantai rumah yang terbuat dari kulit pohon enau. Ia mengingat kuatnya lantai itu. Rumah itu dibangun oleh apo (leluhur) Mamanua, tonaas tua di wanua itu. Neneknya, istri dari Mamanua, Ambilangan adalah Walian tulus yang sangat disegani di walak ini.

Ayah Mandey adalah tonaas yang mengurus foso-foso berburu dan bertani. Nama Mandey dipilihnya ayahnya untuk mengingatkan dia nama salah satu apo sejak zaman nenek moyang mereka, Lumimuut dan Toar. Pada dirinya mengalir daerah walian dan tonaas. Dan kini ia sedang dipersiapkan menjadi tonaas.

“Mandey, jika kamu menerima tawaranku, tinggal bersamaku, bejalar membaca bahasa Melayu, kamu akan dapat melihat dunia luar yang maha luas itu,” kata tuang pandita dengan suara membujuk.

“Sedikit-sedikit saya sudah tahu bahasa Melayu, tuang. Duniaku di sini, tuang pandita. Di wanua ini,” balas Mandey.

“Di Tanawangko ada sekolah guru. Di situ tuang pandita Nicolaus Graafland sebagai kepala sekolahnya. Saya dapat mengirimkan kamu ke sana. Di sana kamu akan belajar banyak hal untuk menjadi guru,” kata tuang pandita.

“Saya akan menjadi guru untuk kaumku. Saya harus melanjutkan kanaramen se tou Maäsa[13].”   

“Mandey, kanaramen se tou rior, raica waya wutul[14],” balas tuang pandita.

Wajah Mandey berubah. Kepalanya ditegakkan. Matanya menatap tajam tuang pandita.

"Tuang Duverman. Seperti leluhur kami yang menghormati kaum tuang, saya juga demikian. Maar, mohon maaf. Saya tidak terima jika tuang menghina mereka," Mandey berkata tegas dengan amarah yang berusaha ditahan. 

"Tidak Mandey. Justru maksud saya baik untuk kaummu," kata tuang pandita.

"Hari semakin siang tuang pandita. Saya harus ke kebun," ujar Mandey mengalihkan percakapan.

"Ow, iya. Saya mohon permisi. Maar, jika kamu tidak keberatan terimalah pemberian saya ini," balas tuang pandita sambil berdiri dan menyerahkan buku yang dia bawa.

Mandey menerimanya meski agak berat. Sebuah buku dengan sampul buku berwarna hitam bertuliskan:

Pengadjaran Agama Mesehhij Jang Pendekh Didalam Bahasa Malajuw Dan Alifuru Depersombahkan Dengan Hhormat Kapada Segala Tuwan Pemarentah Hhal Pasurohan Indjil
Di
Batavia

Awleh
K.T. Hermann
Surohan Indjil di Amurang

Tertara di Batavia, 1848

Tuang pandita pun segera meninggalkan tempat itu. Dengan memegang tongkat ia menuruni tangga. Mandey yang masih memegang buku itu belum beranjak dari tempat dia berdiri. Terlihat jelas ia sangat tidak menikmati percakapan itu.(bersambung...)


Nantikan Bagian II: Papendangan



[1] Pohon beringin.
[2] Kemarin saya bertemu dengan tuang pandita (zendeling) Belanda.
[3] Apa katanya?
[4] Sama seperti yang dikatakan penolong Lukas Wioy.
[5] Foso-foso (ritual-ritual) tradisi kita, tidak benar.
[6] Dia mengajak saya sekolah di Tanawangko. Tapi, sebelumnya tinggal di rumahnya sebagai ‘anak piara’. 
[7] Jika kau sudah menjadi guru, sudah sama seperti pendeta Belanda itu.
[8] Besok saya akan bekerja di kebun pemerintah. Menanam kopi.
[9] Wajib kerja rodi bagi laki-laki yang sudah dewasa.  
[10] “Penanggong’ kata Melayu gunung untuk kata penanggung. “Se mawendu” artinya orang-orang yang terkena wajib kerja rodi.
[11] Bekal makanan untuk dibawa ke kebun.
[12] Tapi dia nakal.
[13] Tradisi atau kebiasaan orang-orang ‘se maasa’.
[14] Tradisi para leluhur dulu, tidak semua benar.