Monday, June 20, 2016

Muhammad Ali di Masa Kecil: “Kecupan Manis di Minggu Pagi itu”




Suatu Minggu pagi pada akhir tahun 1940. Di sebuah kamar rumah keluarga kulit hitam di Louisville, Kentucky, Amerika, dua bocah kakak beradik masih saja belum beranjak dari tempat tidur. Seorang perempuan, kira-kira berusia 30-an tahun masuk ke kamar mereka. Dia mendekati dua bocah itu dan memberi kecupan manis di dahi mereka. 

"Bangun bayi kecil, bangun Rudy, kita akan bersyukur kepada Tuhan!" kata perempuan itu kepada mereka. 

Sang kakak bernama Cassius Marcellus Clay, jr. Sang adik adalah Rudy Clay. Perempuan yang telah memberi kecupan itu adalah ibu mereka yang bernama  Odessa Grady Clay. Nama sang kakak diambil dari nama ayah mereka, sehingga dibelakang namanya ditambahkan ‘jr’ (junior).

Sang ibu kadang-kadang memanggil Cassius dengan sebutan “GG”. Menurut Cassius sendiri, ibunya memanggil dia dengan sebutan itu, karena ‘GG” adalah kata pertama yang diucap ketika pertama kali bicara. 

Ibu mereka, Odessa adalah seorang pencuci pakaian. Sementara ayah mereka adalah pelukis papan iklan dan rambu lalu lintas. 

Setelah bangun, Cassius dan Rudy, menuju ke dapur, duduk manis di meja makan dan sarapan bersama. Ibu mereka selalu menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga. Sementara dua bocah ini sarapan, sang ibu sibuk siapkan pakaian untuk mereka kenakan setelah mandi nanti.  

“Setelah berpakaian, Rudy dan aku akan pergi ke luar untuk duduk di teras depan dan menembak kelereng sebelum kami berangkat ke sekolah Minggu,” kata Cassius.
Kisah itu membuka buku The Soul of a Butterfly: Reflections on Life's Journey, buku otobiografi Muhammad Ali yang ditulis bersama putrinya Hanna Yasmeen Ali. Buku ini terbit pertama September 2005. 

Cassius Marcellus Clay, jr  adalah nama asli dari petinju profesional kelas dunia Muhammad Ali. Ali lahir pada tanggal 17 Januari 1942 di kota itu. Muhammad Ali adalah nama yang dipilihnya ketika menjadi Islam pada tahun 1964. Nama Muhammad Ali dikenal luas oleh masyarakat dunia oleh karena prestasinya dalam dunia tinju profesional. Rudy mengikuti jejak kakaknya, menjadi petinju, juga memilih menjadi Islam. Namanya pun berganti menjadi Rahman Ali. 

Di masa kecil, seperti cerita Ali sendiri, dia selalu berusaha untuk tampil bersih dan rapih. Dia akan merasa tampan jika bajunya diseterika dengan memakai dasi kupu-kupu.
Ali bangga dengan kedua orang tuanya yang sangat sayang terhadap dia dan adiknya. Dengan cinta dan sayang ini, Ali selalu merasa dia istimewa dihadapan mereka.  Dia masih mengingat cerita sang ibu tentang kelahirannya. “Dia mengatakan bahwa saya seperti bayi cantik, semua orang mengira saya adalah seorang gadis,” kenang Ali dalam buku The Soul of a Butterfly itu.

Ibu Ali adalah seorang Baptis dan ayahnya seorang Methodist. Tapi, kata Ali, keluarga mereka lebih sering beribadah di gereja ibunya, Baptis. 


Dia dan adiknya sering diajak sang ayah membantu dia melukis. Sang ayah lalu mengajarkan kedua anaknya itu cara mencampur cat dan cara mengatur apa yang akan dilukis.
“Aku sedikit bisa menggambar, tapi tidak ada yang istimewa,” tulis Ali.  

Ali mengenang ayahnya sebagai seorang yang sangat baik. Sang ayah selalu mengajarkan mereka keberanian, dan selalu memberi dorongang agar kelak mereka menjadi orang-orang baik.  “Dia adalah ayah saya dan teman saya,” ujar Ali. 

Tentang ibunya, Ali mengenang dia sebagai seorang wanita yang lembut, penuh keramahan dan baik terhadap banyak orang.  “Ibu saya adalah seorang wanita yang lembut. Dia selalu berbicara dengan suara lembut dan aku tidak pernah mendengar dia mengatakan hal buruk tentang siapa pun,” kenang Ali.

Ali dan keluarganya melewati masa-masa sulit akibat segragasi sosial di Amerika di tahun 1950-1960an di Amerika. Dia dan adiknya Rudy bertumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat Amerika yang rasis. 

Ali sudah berlatih tinju sejak usia 12 tahun. Pada tahun 1954 dia memasuki dunia tinju amatir. Di Kentucky sebanyak enam kali berturut-turut dia memenangkan pertarungan tinju. Tahun 1960 dia meraih medali emas dalam olimpiade yang membawa nama Amerika. Karir dalam tinju profesional dia mulai geluti sejak tahun 1960. Ali makin menjadi terkenal, karena dalam 19 kali pertandingan, dia memenangkannya semua, dengan rekor 15 kali memang KO. Setelah berjaya dengan kemenangan-kemenangan gemilang di atas ring, pada 27 Juli 1979 Ali memutuskan diri untuk pensiun dari dunia tinju. Setelah pensiun Ali kemudian menjadi aktivis untuk menyampaikan pesan-pesan perdamain dan kesetaraan bagi masyarakat dunia. 

Tanggal 3 Juni lalu, Muhammad Ali menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 74  tahun. Ali cukup lama bergelut dengan penyakit parkinson yang dideritanya. Masyarakat Amerika dan dunia, terutama pecinta tinju merasa kehilangan seorang sosok hebat di atas ring, namun kuat secara spiritual di dalam batinnya. 

Rahman Ali, merasa sangat kehilangan kakaknya.  Dia mengenang Ali sebagai orang yang penuh cinta.  "Dia adalah kakak yang sempurna," ujar Rahman Ali seperti dilansir situs www.dailymail.co.uk.

Sunday, June 19, 2016

Pernikahan Dini Gandhi dan Kasturbai



Gandhi dan Kasturbai. Sumber Foto: Gandhi: Sebuah Otobiografi
Porbandar, India suatu hari di tahun 1883. Seorang remaja laki-laki, usianya baru 13 tahun deg-degan menghadapi hari pernikahannya. Rumah orang tuanya, selama berminggu-minggu ramai dengan tetangga yang mempersiapkan segala hal untuk hari perkawinan. Seorang perempuan, juga masih remaja sudah disiapkan oleh keluarga untuk menjadi calon istrinya.

Remaja itu adalah Mohandas Karamchand Gandhi. Calon istrinya bernama Kasturbai. Mereka sebaya. Cuma saja Gandhi dapat bersekolah, sementara Kasturbai, sampai menikah masih buta huruf. Pasangan ini berasal dari kota yang sama, yaitu Porbandar sebuah kota pesisir di bagian Gujarat India.

“Saya dikawinkan, bukanlah bertunangan,” tulis Gandhi dalam Gandhi: Sebuah Otobiografi (1975, 1982).

Gandhi tidak sedang dipersiapkan untuk bertunangan, tapi benar-benar akan menikah. Pertunangan dan perkawinan, kata Gandhi, dalam tradisi umum di India jelas-jelas berbeda. Pertunangan tidak mengikat, namun perkawinan adalah benar-benar hidup berumah tangga yang tidak lagi main-main. Sebelum dengan Kasturbai, Gandhi sudah dua kali dipertunangkan dengan dua perempuan yang berbeda.

“Saya diberitahu bahwa, kedua gadis yang pernah dipilih buat saya, telah meninggal secara berturut-turut,” kata Gandhi.

Gandhi menceritakan, bagaimana persiapan perkawinannya yang telah berakibat kecelakaan ayahnya dalam perjalanan dengan kereta api dari Rajkot ke Porbandar. Ayah Gandhi, Kabah Gandhi bekerja sebagai anggota dewan Hakim-Thanik di Rajkot. Kabah harus pulang ke Porbandar untuk persiapan perkawian anaknya. Dalam perjalanan itu, kereta yang ditumpangi Kabah terbalik di dekat kota yang dituju.

“Ayah mendapat luka-luka berat, hingga ayah sampai seakan-akan terbungkus dalam pembalut,” cerita Gandhi.

Dengan tubuh yang penuh luka, Kabah tetap mengikuti perayaan pernikahan anaknya. “Pada hari itu segala sesuatu nampaknya wajar saja dan menyenangkan bagi saya. Di samping itu saya sendiri ingin kawin,” tulis Gandhi.

Sebagai pengantin yang masih berumur sangat muda, Gandhi mengalami kebingungan dengan malam pertama perkawinannya. Istri kakaknya, yang sudah lebih dulu menikah membimbing Gandhi tentang apa yang harus dilakukan pada malam pertama. Gandhi mengaku, tak tahu siapa yang membimbing Kasturbai.

Gandhi dan Kasturbai tentu sangat gugup menjalani perkawinan mereka itu. Sebagai anak-anak remaja, duduk di pelaminan dan malam pertama berdua di kamar tentu adalah sesuatu yang sungguh mendebarkan.

“Kami terlalu gugup untuk berhadapan muka kami tentunya sangat malu,” Gandhi mengisahkan malam pertamanya itu.

Ketika mengenangnya di kemudian hari, Gandhi merasa perkawinan tersebut sungguh sebuah pengalaman yang tidak baik. “Tak ada alasan moral yang dapat saya kemukakan untuk mempertahankan perkawinan di bawah umur yang benar-benar tak masuk akal itu,” kata Gandhi.

Gandhi dan Kasturbai di masa awal perkawinan, sebagai pasangan suami-istri yang masih remaja tidak luput dari berbagai masalah. Namun, Gandhi sendiri mengaku, bahwa dia sangat mencintai Kasturbai. “Saya tahu bahwa tak ada sesuatu yang tidak dapat diatasi dengan cinta sejati,” kata Gandhi dalam refleksinya di kemudian hari.

Kasturbai telah menjadi istri yang baik untuk Gandhi. Begitupula Gandhi telah berusaha sekuat mungkin menjadi suami yang baik. Kasturbai adalah istri satu-satunya Gandhi. Kasturbai meninggal pada tahun 1944. Empat tahun kemudian menyusul Gandhi yang meninggal karena tewas dibunuh pada 30 Januari 1948. Kasturbai telah menemani Gandhi dalam perjuangannya untuk India.

Lima tahun dari perkawinan itu, Kasturbai melahirkan anak pertamanya bersama Gandhi. Mereka memberi nama anak mereka itu Harilal Mohandas Gandhi. Anak kedua bernama Manilal, anak ketiga Ramdas dan anak keempat diberi nama Devdas.



 

Saturday, June 18, 2016

Rokok dan Perang



Sumber: http://houel.perso.neuf.fr/pages/CHESTERFIELD.htm
Sumber: http://houel.perso.neuf.fr/
Minahasa, Sulawesi Utara tahun 1946. Soekarno dan Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Di zaman Belanda, banyak orang Minahasa yang menjadi tentara KNIL. Ketika Jepang menyerah, kekuasaan beralih ke Nica. Kemudian Belanda mau berkuasa lagi. Tentara KNIL Minahasa punya pengalaman diskriminasi dari tentara KNIL Belanda. 
 
Diskriminasi dalam bentuk pembedaan pembagian jatah ransum dan rokok. Tentara KNIL Minahasa mendapat jatah beras sisa-sisa perang, sedangkan tentara KNIL Belanda mendapat jatah beras yang baru. “Jatah rokok KNIL Belanda mendapat Lucky Strike, KNIL pribumi Homare dan Kinsi, rokok Jepang,” tulis H.B. Palar dalam bukunya, Minahasa Benteng Terakhir NKRI (2009).

Pembedaan pembagian jatah tersebut, tampaknya berhubungan dengan diskriminasi rasial sejak zaman Belanda berkuasa. “Diskriminasi rasial yang senantiasa ada dalam seluruh sejarah KNIL,” tulis R.Z. Leirissa dalam bukunya Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia: Peristiwa Merah Putih dan Sebab-Musababnya  (1997).

Selain jenis-jenis rokok yang disebut Palar tersebut, Leirissa juga menyebut beberapa nama lainnya. Rokok bermerek Chesterfield adalah jatah untuk KNIL Belanda, sementara rokok bermerek Koa adalah jatah untuk tentara KNIL Minahasa. “Menonjolnya masalah pembagian rokok ini sehinggapada suatu ketika peristiwa di tahun 1946 itu, oleh pihak Belanda, sering dijuluki ‘pemberontak rokok’ (sigaretten opstand)”, tulis Leirissa. 

Chesterfield adalah merek rokok bermutu tinggi yang terkenal mulai awal abad 20. Rokok ini mulai diprokduksi oleh  Liggett & Myers Tobacco Company tahun 1911. Namun ia pertama kali diproduksi tahun 1873 oleh Drummond Tobacco Company of St. Louis di Missouri, Amerika Serikat.

Sementera menurut  situs komunitaskretek.or.id dalam artikel berjudul Rokok Kretek sebagai Politik Propaganda Anti Jepang, rokok bermerek Kooa diproduksi di Jawa oleh Jawa Tobacco Kojo. Perusahaan rokok ini sudah berdiri sejak zaman Belanda. Ketika Jepang masuk, perusahaan ini beralih tangan dan berganti nama pula. Nama-nama rokok di masa Jepang adalah Kooa, Mizuho, Siraho, Sekidoo, dan Semangat. Kooa adalah rokok yang cukup populer di masyarakat.    

Diskriminasi rasial itulah yang antara lain menjadi pemicu meletusnya peristiwa 14 Februari 1946. Yaitu peristiwa penyerangan tentara-tentara KNIL dan para pemuda Minahasa yang sudah lama muak dengan Belanda. Mereka menyerang Tangsi Militer Teling  di Manado. Tangsi ini merupakan salah satu asrama KNIL yang penting.  

Friday, June 17, 2016

Kema, Kota Pelabuhan Tua


Kema adalah nama sebuah kota pelabuhan tua yang terletak di pesisir pantai Timur Minahasa. Nama Kema sudah dikenal sejak kedatangan Spanyol di Minahasa abad 16. Pelabuhan Kema menjadi saksi perjumpaan orang-orang Minahasa dengan Eropa untuk pertama kali.

Harry Kawilarang, dalam tulisannya berjudul, Dari Quimas menjadi Kema yang dipublikasikan di situs theminahasa.net menyebutkan, nama Kema dikaitkan dengan pembangunan pangkalan militer Spanyol ketika Bartholomeo de Soisa mendarat pada 1651 dan mendirikan pelabuhan di daerah yang disebutnya ‘La Quimas.’ Letak benteng Spanyol berada di muara sungai Kema, yang disebut oleh Belanda, "Spanyaards-gat," atau Liang Spanyol.

September 1855, Pieter Bleeker, seorang dokter dan ahli ikan dari Belanda tiba di Manado dan naik ke pedalaman Minahasa mengunjungi beberapa tempat.

Tanggal 22 September 1855 dari Tondano, Bleeker menuju ke Kema. Dari pelabuhan Kema ia akan ke Ambon. Dia dan beberapa orang lainnya berangkat ke Kema pukul 10 pagi.

Di masa itu, Kema merupakan ibukota distrik Tonsea. Distrik ini memiliki jumlah penduduk terbesar di Minahasa.  Sebanyak 10.000 jiwa tercatat sebagai penduduk distrik Tonsea.  Sebagian besar penduduk hidup di Tonsea, yaitu di sepanjang jalan utama dari Manado ke Kema.

Kema berkembang sebagai ibu negeri Pakasaan Tonsea sejak era pemerintahan Xaverius Dotulong, setelah taranak-taranak Tonsea mulai meninggalkan negeri tua, yakni Tonsea Ure dan mendirikan perkampungan-perkampungan baru. “Surat Xaverius Dotulong pada 3 Februari 1770 kepada Gubernur VOC di Ternate mengungkapkan bahwa ayahnya, I. Runtukahu Lumanauw tinggal di Kema dan merintis pembangunan kota ini,” tulis Kawilarang.

“Kema sangat menawan di pantai timur Minahasa,” tulis Bleeker dalam buku laporannya berjudul, Reis Door de Minahassa in den Molukschen Archipel yang terbit 1856. 

Penduduk Kema waktu itu sangat majemuk. Bleeker menyebut gambaran jumlah pendudukan berdasarkan agama dan ras. Data terakhir tahun 1854,  penduduk Kema terdiri dari 142 orang Eropa dan keturunan Eropa,1108 penduduk asli yang Kristen, termasuk 492 sebagai warga sipil, 450 Muslim, dua China dan 74 budak.  


Banyak kapal yang singgah di pelabuhan itu. “Selama kami tinggal itu ada kapal penangkap ikan paus singga di dermaga tersebut,” tulis Bleeker.  

Menurut Bleeker, kapal ini mengunjungi Kema terutama untuk memenuhi persedian air bersih dan bahan-bahan makanan, seperti daging sapi, babi, unggas, kentang, dll.

Pohon-pohon kelapa tumbuh subur di Kema. Pondok, gereja, rumah-rumah para pemimpin, tampak sederhana.