Saturday, January 28, 2023

DUA PEREMPUAN PADA SEBUAH MAKAM

(Sebuah cerpen Denni Pinontoan)

"Tanggal 25 Oktober 1965," seorang perempuan mengeja angka-angka yang tertulis di batu nisan pada sebuah makam.
"Iya. Waktu itu kau baru berusia 6 bulan," balas seorang perempuan yang lain.
Dua perempuan berziarah ke sebuah makam di lokasi pekuburan tua. Itu makam Yantje. Ia adalah papa dari Nelly, perempuan yang mengeja angka-angka di batu nisan itu. Ia bersama ibunya, Elisabet.
Sejak pergi ke Bandung 57 tahun lalu, ini pertama kali Nelly melihat makam papanya. Tak lama setelah sang papa meninggal, Nelly dibawa tantenya ke Bandung. Ibunya memang sengaja Nelly dibawa keluar dari kampung itu. Kini Elizabet sudah sangat uzur. Usianya kira-kira 85 tahun.
Nelly adalah anak satu-satunya Elizabet. Ketika suaminya mangkat, ia memang sangat terpukul. Cintanya kepada Yantje sungguh tak terkira besarnya. Itulah sehingga ia rela menjanda hingga kini. Demikian pula sayangnya kepada Nelly. Ia tak mau anaknya itu hidupnya susah karena kebencian warga kampung.
Sebelum era internet, selama bertahun-tahun mereka berhubungan hanya melalui saling kirim surat. Nelly mengenal wajah mama dan papanya melalui foto. Elizabet memang ingin Nelly tidak tinggal menetap di kampung. Meskipun ia selalu rindu anaknya.
"Itulah sehingga mama lebih suka kau tidak tinggal di sini," kata Elizabet kepada Nelly yang bertanya mengapa papanya meninggal ketika ia masih bayi.
"Mengapa, ma"?
"Mama rasa sudah waktunya menceritakan semua. Kau sudah dewasa," kata Elizabet.
"Ceritakanlah, ma."
Dua perempuan itu hanyut dalam suasana. Sudah lama Elizabet menunggu kesempatan ini. Tapi, ia sengaja selalu menunda kesempatan itu. Sebetulnya mudah saja baginya untuk bisa bersama seperti ini. Beberapa kali Nelly mengirim surat mengutarakan niatnya untuk pulang kampung. Namun, Elizabet selalu mencari alasan agar Nelly tidak perlu datang. Sebelum hari ini, Elizabet belum menemukan keberanian dan terutama kelapangan hati untuk merelakan kepedihan pergi dari hidupnya.
"Papamu tewas dibunuh…" Suara Elizabet sangat berat mengeluarkan kata-kata itu.
"Apa? Bukankah papa meninggal karena sakit seperti yang mama bilang dulu?"
"Maafkan mamamu, Nelly."
Nelly menatap batu nisan itu dengan suatu kesedihan. Matanya tampak basah. Elizabet memandang anaknya dengan sedih tapi tampak suatu kelegaan.
"Dibunuh?" Nelly berkata dengan suara pelan.
Elizabet tak langsung menjawab. Ia diam. Tampak ia menatap ke sekitar makam suaminya. Lokasi pekuburan itu tampak bersih. Sudah menjadi tradisi setiap bulan Desember, lokasi pekuburan ini dibersihkan oleh warga kampung. Malam Natal dan jelang pergantian tahun, sore hingga malam orang-orang kampung datang ziarah ke makam anggota keluarga.
Elizabet dan Nelly datang lebih awal supaya ada waktu cukup bagi mereka di makam itu. Dan, Elizabet sudah mengira sebelumnya bahwa kisah menyakitkan 57 tahun lalu akan menghampirinya lagi. Tapi, demi suatu kejujuran, dan bagi Elizabet ini cara baginya untuk membebaskan diri dari beban masa lalu, maka ia harus siap untuk itu.
Elizabet menghela nafas panjang, lalu setelah itu berkata, "Iya. Papamu dibunuh."
Nelly menatap mamanya. Ia justru merasa kasihan melihat mamanya yang sudah sangat uzur itu bersedih.
"Karena papamu dituduh terlibat, sekelompok orang yang tak suka dengannya membunuh dia di kebun tak jauh dari pekuburan ini," Elizabet melanjutkan.
"Terlibat?" Nelly bertanya.
"Iya."
Nelly tampaknya sudah mengerti. Ia pernah mendengar dan paham dengan istilah itu. Tapi, ia tak pernah menduga bahwa tragedi itu menjadi bagian dari dirinya.
"Aku paham, ma."
"Bagus, kau paham."
"Tapi, apa benar, ma?"
"Engkau tahu, bukan. Ada masa yang panjang di negara kita ini, orang-orang tak butuh bukti untuk menyatakan kebenaran atau kesalahan," Elizabet berkata dengan nada yang tampak lebih tegar.
"Siapa mereka, ma? Para pembunuh itu"?
"Nelly, ini sudah sangat sore. Baiknya kita segera pulang. Kau tahu, mata mama tak lagi dapat melihat dengan jelas. Maklum sudah tua."
"Iya, ma."
***
Gedung gereja hampir penuh. Elizabet dan Nelly sudah lebih dulu datang. Mereka duduk di deretan kursi kedua dari depan. Pagi ini terasa berbeda. Hari Natal pertama membuat orang-orang tampak bersemangat. Ini kali pertama Nelly beribadah di gedung gereja itu. Tapi, bagi ibunya justru gedung gereja itu telah menjadi ruang baginya selama kurang lebih 50 tahun untuk berjuang bebas dari kepedihan hidup.
Ibadah akan segera dimulai. Majelis gereja tampak telah duduk di deretan kursi sebelah kanan dan kiri mimbar. Seorang yang mengenakan toga dan stola berdiri di mimbar siap memimpin ibadah. Lalu seorang laki-laki, usianya mungkin 50an tahun, salah seorang majelis gereja berdiri di mimbar kecil untuk menyampaikan sesuatu.
Elizabet yang sebelumnya menghadap ke depan, tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arah lain lalu menunduk tapi tidak untuk berdoa. Setelah itu ia menegakkan lagi kepalanya menghadap ke depan, menyimak penyampaian si laki-laki di mimbar kecil itu. Sesekali ia menghela nafas. Elizabet rupanya sedang berjuang secara batin dengan suasana yang membebaninya itu.
"Ma, siapa mereka yang telah membunuh papa? Apakah mereka orang di kampung kita ini? Apakah anak atau cucu mereka masih ada yang hidup?" Tanya Nelly berbisik.
"Nelly, hal yang menyakitkan di masa lalu kita tidak akan pernah dapat disembuhkan dengan membuat luka baru," kata Elizabet pelan sambil menatap anaknya dengan penuh cinta.
"Iya, ma. Aku mengerti."
"Biarlah mereka hidup tanpa harus terbeban dengan masa lalu itu. Agar kitapun dapat menikmati hidup dengan tanpa beban. Mama mungkin tak lama lagi menikmati hidup ini. Kau dan keluargamu masih akan melanjutkan kehidupan," ujar Elizabet.
Suasana hening beberapa saat. Lalu sebuah kidung rohani menggema di dalam gedung gereja itu. Elizabet dan Nelly ikut menyanyi. Wajah mereka terlihat sangat damai.

------------------
Kuranga, 15 Desember 2022