Thursday, July 22, 2021

Gedung Gereja Tua GMIM ‘Sion’ Sendangan dalam Memori


 


SEBUAH buku cukup tebal, tidak bersampul muka dan belakang. Halaman dalam sampul, keterangan penulis dan daftar isi sudah hilang. Saya lupa buku itu saya peroleh dari siapa atau di mana. Buku stensilan ini berisi tentang sejarah kekristenan di Minahasa. Di bagian halaman belakang tercetak foto gereja-gereja GMIM di tahun 1980.

Dua foto hitam putih di bagian itu adalah gedung gereja tua GMIM Sion Sendangan, Kawangkoan. Keterangan di bagian bawah foto pertama menyebutkan “Gereja GMIM ‘Sion’ Kawangkoan menjelang selesai dipugar.” Bagian tanda kurung tertulis sumber foto dan tanggal pengambilan: “Lensa: hl. 27 Juni 1980”.

Ya, pemugaran, mungkin maksudnya merenovasi bagian-bagian yang rusak, pengecatan, dll. Sebab keterangan pada foto kedua disebutkan: “Gereja GMIM ‘Sion’ Jemaat Kawangkoan Dati II Minahasa, nampak kesibukan Jemaat dan Pimpinannya sedang melakukan pemugaran Gerejanya dalam menyambut Sidang Raya DGI IX 1980. 

Melihat foto itu, ingatan saya dengan segera kembali ke tahun 1980an awal. Saya dibaptis di gedung gereja itu, dan bersekolah di SD GMIM I, samping gedung gereja itu.

Sudah lama saya mencari foto gedung gereja tua ini. Gedung gereja yang tiang-tiang, lantai, dinding dan bagian lainnya semuanya terbuat dari kayu. Lampu hias gantungnya sangat indah. Setiap beribadah di gedung gereja ini, terasa sekali nuansanya.

Saya sudah tidak ingat persis kapan gedung gereja ini diganti dengan gedung gereja seperti yang ada sekarang. Mungkin pertengahan tahun 1980an, waktu itu saya sudah bersekolah di SD GMIM I, di sampignya. Di belakang gedung gereja itu, SMEA Kristen. Kalau kita berdiri pas di pintu gedung gereja menghadap arah jalan raya, di samping kirinya adalah pastori, di samping kanan agak sedikit ke depan semacam balai, tempat kami murid-murid bermain bulu tangkis. 

Dua foto di buku itu saya foto lagi pakai kamera yang tersedia di smartphone. Lalu diposting di Grup FB Kawangkoan. Tidak beberapa lama kemudian, mulai ada orang yang memberi tanda like. Kemudian memberi komentar. Dan tak hitung berapa jam sudah ada ratusan yang menyukai postingan itu. Komenter terus berbalas-balasan. Rata-rata menyampaikan kenangannya tentang gedung gereja tua itu. Ada yang mengatakan, di gedung itu dia dibaptis tahun 1948. Lalu yang lain menyebut peneguhan sidinya di gedung gereja itu tahun 1960an, 1970an, dan berhenti di tahun 1980an awal. 

Beberapa orang bahkan membagikan foto koleksi pribadinya berfoto di depan gedung gereja dengan keterangan menyebut orang-orang di foto itu. Ada pula yang hanya menulis komentar menyampaikan tentang peran gedung gereja itu dalam pembentukan kerohaniannya.

Saya punya hubungan historis dan kultural dengan Kawangkoan. Leluhur saya, Pinontoan, Tumbelaka, Rondonuwu, Lolowang berasal dari Kawangkoan. Jadi ketika membaca komentar-komentar di postingan gedung gereja tua Sion Kawangkoan, yang berkedudukan di Kel. Sendangan, saya seperti dibawa kembali ke kultur yang dekat dengan saya itu.

Dari komentar-komentar itu – yang ketika catatan ini ditulis masih berlanjut - saya mendapat suatu pengertian betapa pentingnya suatu ‘gedung tua’ bagi generasi yang pernah menjadi bagian darinya. Meski kini ia hadir tinggal dalam bentuk foto atau gambar namun dapat mengorek memori orang-orang tentang kehidupannya, dan kemudian merefleksikan ingatan itu menjadi sebuah makna. Mungkin, di masa yang mereka kenang itu, ketika gedung gereja itu masih berdiri, mereka masih melihat dan mengada bersamanya, makna-makna itu belum dapat dikonstruksi seperti sekarang. Dan, itu ternyata menjadi berbeda ketika hanya melihat foto yang hadir secara digital, di masa kini. Refleksi dan makna-makna muncul secara spontan.

Seorang berkata begini: “Bagus foto ini mengingatkan kpd siapapun yg hidup di era milenial bhw sprti foto itulah gmim sion yg dulu.

Om Jan Arie Supit mengatakan: “Gereja tua ini menjadi tempat menimba Iman dn Ilmu bagi umat yg setia mendengar Kukua Ure o Kukua Weru. Sungguh mulia karya Guru jumaat para guru SR Gmim di lokasi ini. Banyak anggota jemaat yg menjadi org berhasil dilap. Pekerjaan dimanapun dia berada. Luar biasa pekerjaan Roh Kudus bagi org Kaweka.”

Teman saya masa kanak-kanak, Lany Tumewu menulis begini: “Sejarah byk mencatat kisah ttg Gereja tua ini,, walaupun tinggal kenangan tapi gereja tua ini menorehkan tinta emas kpd generasi sekarang ini sebagai generasi pejuang iman ntk terus bersaksi ttng kehadiran dan pekerjaan roh kudus bagi Jemaat. Sehingga Jemaat GMIM SION Sendangan semakin bertumbuh, berbuah dan menjadi berkat. Salam baku dapa torang disini,, angko qta pe teman bermain masih sekolah minggu.”

 

***

Gedung gereja tua “Sion”, Sendangan, Kawangkoan adalah ‘situs’ memori sejarah, budaya dan tentu religiusitas. Saya menggunakan kata ‘situs’ di sini tidak dalam pengertian umum di negara ini. Bahwa, yang disebut ‘situs’, seolah-olah menunjuk pada sesuatu yang sudah ‘berlalu’ dan ‘tidak berfaedah untuk hari ini’. Hampir sama dengan pengertian umum tentang kata ‘artefak’ dalam kamus Indonesia.  

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata ‘situs’ sebagai “Daerah temuan benda-benda purbakala; “Tempat pada suatu papan yang dapat atau tidak dapat dilubangi.”

Padahal, dalam pengertian ‘situs’ asalinya bukan pertama-tama tentang sesuatu yang sudah berlalu. Kata ‘situs’ dari kata Latin ‘situs’ yang berarti "tempat atau posisi yang ditempati oleh sesuatu," terutama yang berkaitan dengan lingkungan.  

Jadi, ‘situs’ adalah apa yang menjadi tempat atau ruang kita hidup, entah dulu, sekarang atau sementara. ‘Situs’ adalah ruang hidup kita pada berbagai halnya. ‘Situs’ adalah rumah kita secara sejarah, budaya dan religius.

Itu mirip ketika kita mengirim pesan kepada teman yang hendak pesiar ke rumah kita menggunakan tanda digital (Whatsapp), yang dalam bahasa digitanya disebut share location. Tanda di peta digital yang menjadi petunjuk di gadget teman, saudara atau siapapun yang hendak ke rumah kita menunjuk pada ‘situs’ kehidupan kita. ‘Situs’ adalah tempat di mana kita tinggal dalam segala hal.

Gedung gereja tua GMIM “Sion” Kawangkoan di Facebook itu adalah ‘situs’, yang mengantar siapapun orang yang pernah menjadi bagian darinya kembali ke ‘rumahnya’. Gedung gereja tua itu dalam foto bukanlah ‘artefak’ seperti dalam pengertian para peneliti cagar budaya. Ia adalah ruang hidup. Sebab, kehidupan itu bukan hanya ‘sekarang ini’, namun juga ‘masa lalu’ dalam sejarah, dan ‘masa depan’ dalam semangat untuk melanjutkan kehidupan.

 

***

Kekristenan di Kawangkoan, kira-kira sudah di mulai tidak lama setelah kedatangan J.G. Shwarz dan J.F. Riedel tahun 1831. Beberapa orang sudah dibaptis masa itu. Dalam Algemeen Verslag Van Den Staat Van Het Sghoolwezer In Nederlandsch-Indie yang terbit tahun 1855 menyebutkan, di Kawangkoan telah terdapat sebuah sekolah dasar milik zending. Jumlah total muridnya 200 orang. Terdiri dari 150 murid laki-laki dan 50 murid perempuan. Gedung gereja pasti sudah ada, dan biasanya masih darurat. Gedung gereja biasanya mengalami perubahan seiring bertambahnya orang Kristen yang dibaptis.

Kawangkoan adalah bagian dari wilayah pelayanan zendeling J.G. Schwars. Bersama istrinya Femetje Constant yang fasih berbahasa Tontemboan, Schwarz sering sekali mengunjungi orang-orang Kristen awal di sana. Kelak ia adalah bagian dari klasis Sonder.

Tahun 1907, populasi di Kawangkoan berjumlah 4000 jiwa. Pada tahun itu, seperti tercatat dalam Mededeelingemededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendelinggenootschap terbitan tahun Orang-orang Kristen di sini sementara mengumpulkan kayu untuk membangun gedung gereja seluas  25 X 15 X 6 meter kubik. Semua kayu dibeli dengan harga 2000 gulden. Jemaat telah menyimpan/menabung uang sebanyak 3600 gulden, yang sebagiannya untuk mengongkosi pembangunan gedung gereja. Disebutkan waktu itu, gedung gereja akan akan selesai dibangun akhir tahun 1908.

Dugaan saya, gedung gereja tua di foto itu adalah gedung gereja yang dibangun tahun 1907 itu. Loncengnya yang bertahun 1865 sudah digunakan pada gedung gereja sebelumnya.

Jika gedung gereja ini benar selesai dibangun tahun 1908, maka kira-kira sudah empat generasi orang Kristen Kawangkoan (Jemaat Protestan Minahasa lalu sejak tahun 1934 menjadi GMIM) yang bergereja di sana sampai ia dibongkar dan diganti dengan gedung gereja seperti sekarang pada pertengahan tahun 1980-an.

Dalam tulisan di majalah NZG tahun 1907 itu disebutkan, bahwa gedung gereja itu “akan menjadi rumah Tuhan yang anggun dan bermartabat.”

Kami generasi kelahiran tahun 1970an dan kelahiran tahun 1980an awal, adalah generasi terakhir yang melihat langsung gedung gereja itu.

Gedung gereja tua GMIM Sion, Sendangan, Kawangkoan telah menjadi bagian penting perkembangan kekristenan di sana. Namun, lebih dari itu ia juga telah ikut membentuk kultur orang-orang Kawangkoan dalam banyak hal. Sebab, gedung gereja tua it kemudian ternyata bukan hanya tentang fisik gedung melainkan juga ‘rumah’ bagi orang-orang Kristen di sana yang telah membentuk sejarah, budaya, sosial, dan banyak aspek lainnya. (***dennipinontoan)

Monday, July 19, 2021

Kultur Kelelondey, Langowan di Era Budaya Digital



TAHUN 1831, seorang berkebangsaan Jerman, zendeling pada NZG, badan misi yang berpusat di Rotterdam, Johann Gotlieb Schwarz tiba di Manado. Kira-kira baru 10 hari kemudian, dia dan kawannya pasangan Johann Frederik Riedel-Maria Williams, diantar oleh Gerrit Jan Hellendoorn, predikant di Manado, dan Residen Manado menuju ke pegunungan Minahasa. Schwarz rencananya akan menetap di Langowan, Riedel dan istrinya Maria Williams di Tondano.

Tapi, Schwarz tidak langsung tinggal di Langowan. Dia harus kembali lagi ke Manado. Sebab, Schwarz mesti ke Batavia dan Singapura untuk mengambil bantuan, antara lain buku cetak dan peralatan yang nantinya akan digunakan di sekolah yang rencananya segera didirikan.

Buku cetak. Ya, itu teknologi mutakhir waktu itu untuk pendidikan. Ia tentu berkaitan dengan penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada abab ke-15 di Jerman. Mesin cetak, untuk pertama kali didatangkan ke Minahasa beberapa tahun setelah kedatangan Schwarz dan Riedel. Seorang zendeling NZG yang lain, J.A. Mattern diutus untuk mengurus mesin cetak yang dibawa ke Tomohon bersamaan dengan kedatangannya.

Buku cetak, mesin cetak, teknologi mutakhir di Eropa pada abad itu. Buku cetak dengan tulisan huruf Latin sudah ada di Langowan 190 tahun lalu itu. Bisa dibayangkan bagaimana orang-orang Langowan atau Minahasa pada umumnya di masa itu, mungkin dimulai dengan suatu keheranan, lalu setelah itu menjadi bagian dari generasinya berpengetahuan.

Itulah sehingga awal abad ke-20, di Nusantara ini Minahasalah yang tingkat melek hurufnya paling tinggi. Mieke Schouten menyebut kemampuan leluhur Minahasa di masa itu mentransformasi pendidikan para zendeling yang kemudian menjadi kekuatan bagi kaumnya menyatakan sikap terhadap kolonialisme sebagai ‘senjata literasi’.

 

***





Tahun 2021. Langowan, tepatnya di desa Walewangko, di sebuah rumah yang kurang lebih berjarak 1 km dari Gedung Gereja GMIM Sentrum yang di depannya berdiri patung Schwarz, sekelompok orang muda sedang serius mengikuti Sekolah Media Digital yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT). Selama tiga hari (16-18 Juli) mreka belajar tentang riset, advokasi dan teknik membuat video pendek.

Kegiatan ini tentang bagaimana memanfaatkan teknologi termutakhir di abad ini untuk berkebudayaan: literasi digital.

Nama kegiatannya Sekolah, tapi bukan sekolah formal. Model sekolah yang sangat berbeda dengan sekolah ala zendeling abad ke-19 itu.

Kata 'sekolah' sengaja digunakan untuk makna sesungguhnya sekolah itu. Sekolah dari kata Latin 'schola' yang berarti 'istirahat dari kerja' atau 'waktu luang untuk belajar'. Dalam bahasa Yunani ' ditulis 'skhole', yang artinya "waktu luang, waktu istirahat" yang digunakan untuk berpengetahuan.

Ya, inilah sekolah untuk memanfaatkan waktu luang atau belajar dalam suasana tidak formal, tidak kaku dan tidak struktural. Fasilitator sekolah ini Kalfein Wuisan, Filo Karundeng dan Rikson Karundeng. Saya sendiri membagikan materi tentang riset media di awal kegiatan.

Bung Donny Rumagit merelakan rumahnya menjadi tempat belajar selama tiga hari. Istri dan anak-anaknya tampak senang sekali rumah mereka jadi tempat belajar.

Bung Donny Rumagit dalam banyak tulisannya suka memperkenalkan dirinya dengan nama Om Tani. Pas dengan apa yang dia geluti beberapa tahun terakhir ini, bertani (juga beternak). Tapi sebagai seorang mantan wartawan Om Tani ini suka menuliskan pemikiran-pemikiran kritisnya baik di media sosial maupun media online.

Waktu mahasiswa di Fakultas Pertanian, Unsrat, Bung Donny adalah wartawan di majalah Inovasi terbitan lembaga Pers Mahasiswa. Sebuah laporannya di majalah itu yang terbit tahun 1999 berjudul “Jejak-jejak Berdarah”. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi wartawan di beberapa surat kabar. 


Oh, iya Om Tani ini juga dikenal tokoh pemuda gereja yang kritis. Tidak cuma itu, kini Om Tani adalah Ketua Bawaslu Kab. Minahasa. Dan, dialah Om Tani yang memang bergelar Sarjana Pertanian. Komplit sudah, wartawan, sarjana, aktivis, petani, penyelenggara Pemilu.

Itulah sehingga Om Tani ini banyak kali memimpin demo massa petani dan peternak menuntut keadilan kepada para penentu kebijakan. Beberapa waktu terakhir ini dia ikut mengadvokasi para petani di Kelelondey yang lahannya diklaim oleh TNI.

Jadi, pas sekali sekolah media digital ini dilaksanakan di rumah keluarga bung Donny.



Hari terakhir sekolah media digital tempatnya pindah ke kebun miliknya. Marintek nama kebun itu. Kali ini yang hadir lebih banyak. Ada dua sesi kegiatan di sini: Launching tiga film pendek karya peserta sekolah digital dan diskusi bertajuk "Digital Culture dalam Diskurus Kebudayaan Minahasa".

“Sesuatu yang luar biasa, bahwa sore hari ini kita berdiskusi tentang budaya digital di kebun. Begitulah orang-orang Minahasa sejak zaman leluhur. Terbuka dengan teknologi mutakhir namun tetap menyatu dengan sumber kehidupannya,” ujar Greenhill sebagai pemantik diskusi itu.

Kalfein Wuisan, koordinator divisi publikasi PUKKAT yang juga pendiri dan penggerak Smartphone Movement, telah mendesain dan mengkoordinir pelaksanaan ini secara baik. Dia dan Filo telah mendampingi para peserta sampai memproduksi film pendek.




***


Jika 190 tahun lalu misionaris Eropa yang datang memperkenalkan teknologi buku cetak dan literasi kepada orang-orang Langowan (dan sekitarnya), di Langowan itu pula hari ini para generasi milenial Minahasa belajar bersama bagaimana memanfaatkan teknologi digital untuk menyampaikan pesan kehidupan kepada masyarakat dunia.

Tiga film pendek karya peserta sekolah media digital semuanya bercerita tentang kisah para petani di lahan perkebunan Kelelondey.

Nama perkebunan ini diambil dari kata "kele", artinya "sama seperti"; dan "londei" yang artinya "perahu". Jadi "Kelelondey" artinya "sama seperti perahu’. Begitulah orang-orang Langowan menyebut bentuk bentang lahannya.

Di lahan perkebunan itu para petani menanam beberapa jenis tanaman hortikultura. Tanahnya subur berkat abu vulkanik dari letusan gunung Soputan.

Dari cerita para petani di tiga film itu, saya memperoleh suatu pemahaman, bahwa rupanya telah terbentuk kultur Kelelondey yang di dalamnya tentang sejarah, ekonomi, sosial dan banyak hal dalam kehidupan masyarakat di sana. Kultur bertani di Kelelondey adalah tentang kehidupan yang mesti berlanjut.

“Kelelondey adalah sumber kehidupan bagi kami,” kata seorang petani di salah satu film. (**)

 

 

Thursday, July 8, 2021

Ambtenaar dari Batavia

 Ambtenaar dari Batavia

Medio Juni 2021: Seorang ambtenaar dari Batavia, ya Jakarta itu, datang ke daerah koloni, Tanah Minahasa. Salam selamat datang disambutnya sekadar. Tak ada basa-basi - yang sebenarnya, pun seorang yang mulia Gubernur Jenderal perlu melakukan itu - si pegawai hamba birokrasi ini langsung interogasi ini dan itu. Khas seorang dari pusat kekuasaan. Ya, dia datang memang sebagai verifikator.
Lalu, orang Minahasa yang biasa menjamu siapapun dengan makan dan minum, pun kepada dia atau mereka kompeni yang bermaksud menjarah tanah. Belum apa-apa, yang dimintanya lebih dulu adalah ‘tanda’, bahwa dia sudah datang menjalankan tugas, dan itu berarti duit - Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) - Si 'jongos' birokrasi itu yang dibayar oleh uang rakyat.
Lalu, si ambtenaar yang saya pastikan belum pernah membaca 'Max Havelaar"-nya Multatuli, juga Indonesia in den Pacific; Kernproblemen van den Azialistischen-nya Sam Ratu Langie, apalagi sejarah petisi A.L. Waworuntu kepada sang tuan Gubernur Jenderal di Batavia itu – bicara tentang konon pemerintah di Batavia yang lagi memberi perhatian besar terhadap ‘Timur”. Kata si ambtenaar itu, sekarang ini banyak program dan dana yang diarahkan ke Indonesia Timur.
Ah, sungguh romantis. Eh, bukan, maksud saya, sungguh berbau orde baru. Ah, bukan juga itu! Ini malah khas Indonesia, Majapahit modern! Inilah, mungkin produk dari generasi keturuan P4 dengan wawasan nusantara yang diajarkan dengan cara indoktrinasi. Dan, sangat kebetulan sekali, ini sangat berbau kolonial, ya dalam wacana dikotomi ‘Barat’ yang agung dan ‘Timur’ yang kerdil. Ya, wacana modernisme yang dikotomis dan biner, bahwa semua pencerahan, pengetahuan dan harapan kesejahteraan datangnya dari ‘Barat’. Padahal, matahari terbit di Timur.
Lalu, apa itu ‘nasional’ atau malah ‘nasionalisme’ Indonesia jika kopra dari sini, lalu APBN-nya dari sana? Jangan-jangan ‘nasional’ – yang semuanya harus nasional itu: bahasa nasional, busana nasional, pahlawan nasional, dslb – sebenarnya bentuk lain dari hegemoni ‘kesatuan’? Termasuk, yang disebut ‘musuh’ itu, dulu namanya ‘bahaya laten’ mesti dinasionalisasikan agar secara wacana muncul seolah ada musuh yang sama.
Apakah kita punya musuh yang sama? Apakah ada satu bahaya laten untuk semua? Ya, ideologi ‘kesatuan’ mesti ada ‘satu yang tunggal’, meskipun itu entah apa? Supaya peta nusantara ini semuanya menjadi satu yang tunggal. Keragaman mesti disatukan dalam ‘kesatuan’: terpusat, terkontrol dan terseragam.

Kaki Lokon, 17 Juni 2021