Suatu Minggu pagi pada akhir tahun 1940. Di sebuah
kamar rumah keluarga kulit hitam di Louisville, Kentucky, Amerika, dua bocah kakak
beradik masih saja belum beranjak dari tempat tidur. Seorang perempuan,
kira-kira berusia 30-an tahun masuk ke kamar mereka. Dia mendekati dua bocah itu
dan memberi kecupan manis di dahi mereka.
"Bangun bayi kecil, bangun Rudy, kita akan
bersyukur kepada Tuhan!" kata perempuan itu kepada mereka.
Sang kakak bernama Cassius
Marcellus Clay, jr. Sang adik adalah Rudy Clay. Perempuan yang telah
memberi kecupan itu adalah ibu mereka yang bernama Odessa Grady Clay. Nama sang kakak diambil dari nama ayah mereka, sehingga
dibelakang namanya ditambahkan ‘jr’ (junior).
Sang ibu kadang-kadang memanggil Cassius dengan sebutan
“GG”. Menurut Cassius sendiri, ibunya memanggil dia dengan sebutan itu, karena ‘GG”
adalah kata pertama yang diucap ketika pertama kali bicara.
Ibu mereka, Odessa adalah seorang pencuci pakaian.
Sementara ayah mereka adalah pelukis papan iklan dan rambu lalu lintas.
Setelah bangun, Cassius dan Rudy, menuju ke dapur,
duduk manis di meja makan dan sarapan bersama. Ibu mereka selalu menyiapkan
sarapan pagi untuk keluarga. Sementara dua bocah ini sarapan, sang ibu sibuk
siapkan pakaian untuk mereka kenakan setelah mandi nanti.
“Setelah berpakaian, Rudy dan aku akan pergi ke
luar untuk duduk di teras depan dan menembak kelereng sebelum kami berangkat ke
sekolah Minggu,” kata Cassius.
Kisah itu membuka buku The Soul of a Butterfly: Reflections on Life's Journey, buku otobiografi
Muhammad Ali yang ditulis bersama putrinya Hanna Yasmeen Ali. Buku ini terbit
pertama September 2005.
Cassius Marcellus
Clay, jr
adalah nama asli dari petinju profesional kelas dunia Muhammad Ali. Ali
lahir pada tanggal 17 Januari 1942 di kota itu. Muhammad Ali adalah nama yang
dipilihnya ketika menjadi Islam pada tahun 1964. Nama Muhammad Ali dikenal luas
oleh masyarakat dunia oleh karena prestasinya dalam dunia tinju profesional. Rudy
mengikuti jejak kakaknya, menjadi petinju, juga memilih menjadi Islam. Namanya
pun berganti menjadi Rahman Ali.
Di masa kecil, seperti cerita Ali sendiri, dia
selalu berusaha untuk tampil bersih dan rapih. Dia akan merasa tampan jika
bajunya diseterika dengan memakai dasi kupu-kupu.
Ali bangga dengan kedua orang tuanya yang sangat
sayang terhadap dia dan adiknya. Dengan cinta dan sayang ini, Ali selalu merasa
dia istimewa dihadapan mereka. Dia masih
mengingat cerita sang ibu tentang kelahirannya. “Dia mengatakan bahwa saya
seperti bayi cantik, semua orang mengira saya adalah seorang gadis,” kenang Ali
dalam buku The Soul of a Butterfly itu.
Ibu Ali adalah seorang Baptis dan ayahnya seorang
Methodist. Tapi, kata Ali, keluarga mereka lebih sering beribadah di gereja ibunya,
Baptis.
Dia dan adiknya sering diajak sang ayah membantu
dia melukis. Sang ayah lalu mengajarkan kedua anaknya itu cara mencampur cat
dan cara mengatur apa yang akan dilukis.
“Aku sedikit bisa menggambar, tapi tidak ada yang
istimewa,” tulis Ali.
Ali mengenang ayahnya sebagai seorang yang sangat
baik. Sang ayah selalu mengajarkan mereka keberanian, dan selalu memberi dorongang
agar kelak mereka menjadi orang-orang baik.
“Dia adalah ayah saya dan teman saya,” ujar Ali.
Tentang ibunya, Ali mengenang dia sebagai seorang
wanita yang lembut, penuh keramahan dan baik terhadap banyak orang. “Ibu saya adalah seorang wanita yang lembut.
Dia selalu berbicara dengan suara lembut dan aku tidak pernah mendengar dia
mengatakan hal buruk tentang siapa pun,” kenang Ali.
Ali dan keluarganya melewati masa-masa sulit
akibat segragasi sosial di Amerika di tahun 1950-1960an di Amerika. Dia dan
adiknya Rudy bertumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat Amerika yang
rasis.
Ali sudah berlatih tinju sejak usia 12 tahun. Pada
tahun 1954 dia memasuki dunia tinju amatir. Di Kentucky sebanyak enam kali
berturut-turut dia memenangkan pertarungan tinju. Tahun 1960 dia meraih medali
emas dalam olimpiade yang membawa nama Amerika. Karir dalam tinju profesional
dia mulai geluti sejak tahun 1960. Ali makin menjadi terkenal, karena dalam 19
kali pertandingan, dia memenangkannya semua, dengan rekor 15 kali memang KO. Setelah
berjaya dengan kemenangan-kemenangan gemilang di atas ring, pada 27 Juli 1979 Ali memutuskan diri untuk pensiun dari
dunia tinju. Setelah pensiun Ali kemudian menjadi aktivis untuk menyampaikan
pesan-pesan perdamain dan kesetaraan bagi masyarakat dunia.
Tanggal 3 Juni lalu, Muhammad
Ali menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 74 tahun. Ali cukup lama bergelut dengan penyakit
parkinson yang dideritanya. Masyarakat Amerika dan dunia, terutama pecinta
tinju merasa kehilangan seorang sosok hebat di atas ring, namun kuat secara
spiritual di dalam batinnya.
Rahman Ali, merasa
sangat kehilangan kakaknya. Dia
mengenang Ali sebagai orang yang penuh cinta.
"Dia adalah kakak yang sempurna," ujar Rahman Ali seperti
dilansir situs www.dailymail.co.uk.
Comments
Post a Comment