Skip to main content

Pernikahan Dini Gandhi dan Kasturbai



Gandhi dan Kasturbai. Sumber Foto: Gandhi: Sebuah Otobiografi
Porbandar, India suatu hari di tahun 1883. Seorang remaja laki-laki, usianya baru 13 tahun deg-degan menghadapi hari pernikahannya. Rumah orang tuanya, selama berminggu-minggu ramai dengan tetangga yang mempersiapkan segala hal untuk hari perkawinan. Seorang perempuan, juga masih remaja sudah disiapkan oleh keluarga untuk menjadi calon istrinya.

Remaja itu adalah Mohandas Karamchand Gandhi. Calon istrinya bernama Kasturbai. Mereka sebaya. Cuma saja Gandhi dapat bersekolah, sementara Kasturbai, sampai menikah masih buta huruf. Pasangan ini berasal dari kota yang sama, yaitu Porbandar sebuah kota pesisir di bagian Gujarat India.

“Saya dikawinkan, bukanlah bertunangan,” tulis Gandhi dalam Gandhi: Sebuah Otobiografi (1975, 1982).

Gandhi tidak sedang dipersiapkan untuk bertunangan, tapi benar-benar akan menikah. Pertunangan dan perkawinan, kata Gandhi, dalam tradisi umum di India jelas-jelas berbeda. Pertunangan tidak mengikat, namun perkawinan adalah benar-benar hidup berumah tangga yang tidak lagi main-main. Sebelum dengan Kasturbai, Gandhi sudah dua kali dipertunangkan dengan dua perempuan yang berbeda.

“Saya diberitahu bahwa, kedua gadis yang pernah dipilih buat saya, telah meninggal secara berturut-turut,” kata Gandhi.

Gandhi menceritakan, bagaimana persiapan perkawinannya yang telah berakibat kecelakaan ayahnya dalam perjalanan dengan kereta api dari Rajkot ke Porbandar. Ayah Gandhi, Kabah Gandhi bekerja sebagai anggota dewan Hakim-Thanik di Rajkot. Kabah harus pulang ke Porbandar untuk persiapan perkawian anaknya. Dalam perjalanan itu, kereta yang ditumpangi Kabah terbalik di dekat kota yang dituju.

“Ayah mendapat luka-luka berat, hingga ayah sampai seakan-akan terbungkus dalam pembalut,” cerita Gandhi.

Dengan tubuh yang penuh luka, Kabah tetap mengikuti perayaan pernikahan anaknya. “Pada hari itu segala sesuatu nampaknya wajar saja dan menyenangkan bagi saya. Di samping itu saya sendiri ingin kawin,” tulis Gandhi.

Sebagai pengantin yang masih berumur sangat muda, Gandhi mengalami kebingungan dengan malam pertama perkawinannya. Istri kakaknya, yang sudah lebih dulu menikah membimbing Gandhi tentang apa yang harus dilakukan pada malam pertama. Gandhi mengaku, tak tahu siapa yang membimbing Kasturbai.

Gandhi dan Kasturbai tentu sangat gugup menjalani perkawinan mereka itu. Sebagai anak-anak remaja, duduk di pelaminan dan malam pertama berdua di kamar tentu adalah sesuatu yang sungguh mendebarkan.

“Kami terlalu gugup untuk berhadapan muka kami tentunya sangat malu,” Gandhi mengisahkan malam pertamanya itu.

Ketika mengenangnya di kemudian hari, Gandhi merasa perkawinan tersebut sungguh sebuah pengalaman yang tidak baik. “Tak ada alasan moral yang dapat saya kemukakan untuk mempertahankan perkawinan di bawah umur yang benar-benar tak masuk akal itu,” kata Gandhi.

Gandhi dan Kasturbai di masa awal perkawinan, sebagai pasangan suami-istri yang masih remaja tidak luput dari berbagai masalah. Namun, Gandhi sendiri mengaku, bahwa dia sangat mencintai Kasturbai. “Saya tahu bahwa tak ada sesuatu yang tidak dapat diatasi dengan cinta sejati,” kata Gandhi dalam refleksinya di kemudian hari.

Kasturbai telah menjadi istri yang baik untuk Gandhi. Begitupula Gandhi telah berusaha sekuat mungkin menjadi suami yang baik. Kasturbai adalah istri satu-satunya Gandhi. Kasturbai meninggal pada tahun 1944. Empat tahun kemudian menyusul Gandhi yang meninggal karena tewas dibunuh pada 30 Januari 1948. Kasturbai telah menemani Gandhi dalam perjuangannya untuk India.

Lima tahun dari perkawinan itu, Kasturbai melahirkan anak pertamanya bersama Gandhi. Mereka memberi nama anak mereka itu Harilal Mohandas Gandhi. Anak kedua bernama Manilal, anak ketiga Ramdas dan anak keempat diberi nama Devdas.



 

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...