Tuesday, January 21, 2020

Bagian Pertama: Kelung um Banua




CAHAYA purnama menyinari seantero wanua Tamberan. Di pekarangan rumah hukum tua yang luas itu sedang berlangsung pesta foso. Ramai orang berkumpul di situ. Ini malam terakhir foso panen padi yang dilaksanakan selama dua minggu.

Para gadis dan pemuda menari maengket. Musik kolintang gong terdengar hingga di kejauhan. Di tengah keramaian pesta itu seorang walian perempuan memegang tawaang di tangannya. Walian lainnya mengitarinya. Doa-doa dipanjatkan.  

Obor-obor yang ditaruh di hampir setiap bagian perkarangan membuat malam itu terang benderang. Seolah tidak ada orang yang berdiam diri. Semua larut dalam pesta.

Lantai dua rumah panggung besar milik hukum tua sedang ramai. Sang makawale sedang menjamu beberapa kepala dari negeri sekitar. Sejumlah lampu minyak menerangi ruangan itu. 

“Hoot.....hooooot...............hoooooot...” suara Manguni yang bertengger di pohon we’tes[1] terdengar berulang-ulang...

“Kaawii yaku meteop wo si tuang pandita Walanda[2],”  kata Mandey membuka percakapan dalam sebuah kelompok kecil pemuda wanua di salah satu sudut keramaian itu. Mereka adalah bagian dari tumpukan Kawasaran yang membuka pelaksanan foso tadi.

"Sapa kuana?[3],” tanya Rimbing.

"Pute pekue i penolong Lukas Wioy.[4]"

"Foso-foso kanameranta, rai’ca wutul kine[5],” kata Mandey. "Sia tumowa yaku smicola ang Tanawangko. Taan, yaku mentowo ambalena. Mamuali anak piarana[6]."  

"Mmm...Sa ko mamualiwo guru Sarani, putewo si pandita Walanda nitu[7]?" Kata Wongken sambil meneguk saguer.

"Woondo yaku tumawoi an numa i pemerentah. Musew copi[8]," kata Endos.

"Pute kua si amangku. Sa wobaso pute cita kine, mamuali se mawendu. Pekua i era penanggong [9]kata Wongken.

Tanah-tanah kalakeran di wanua Tamberan semakin habis. Sejak tahun 1840-an, perkebunam kopi dalam rangka Cultuur Stetsel pemerintah, perkebunan kopi mengganti kalakeran-kalakeran warisan leluhur wanua itu. Para pemuda dipekerjakan di kebun-kebun kopi.

Endos, Wongken, Mandey dan teman-teman sebaya mereka akan segera mendapat giliran sebagai penanggong[10].

Kopi dari wanua mereka biasanya dikumpul di ibu kota distrik. Seorang pakhuismeester atau kepala gudang kopi berdiam di situ. Dari gudang itu, kopi lalu dikumpul di pusat Afdeelingen Amurang, lalu dibawa ke Manado.

***
Puncak gunung Lolombulan masih tertutup awan putih. Asap dari awu setiap rumah mengepul ke udara. Udara dingin tak membuat orang-orang wanua Tamberan terlambat bangun pagi. Pesta foso baru selesai subuh.

Bunyi tambur Mapalus terdengar seantero wanua Tamberan. Mandey menuruni tangga rumah mereka. Dia hendak ke rumah belakang atau kakus. Ayahya sudah lebih dulu bangun dan telah pergi ke kebun.  Ibunya di dapur menghadap dodika (perapian di dapur) sedang memasak beras milu dan lauk pauk seadanya untuk walun[11].

Semakin pagi, geliat di wanua Tamberan semakin terlihat. Gerobak-gerobak sapi menuju ke kebun melewati jalan utama wanua itu. 

Hari ini Mandey berencana pergi ke rumah  tonaas Pandei. Ia salah satu murid dari papendangan yang dipimpin tonaas Pandei dan istrinya walian Ringkan.

Baru saja bersiap keluar rumah, tiba-tiba Mandey mendengar suara orang memberi salam. Suara itu terden gar dari arah kolong rumah. Mandey rupanya cukup mengenal suara itu, baik aksen maupun bunyinya.

“Tabea...,” suara itu terdengar jelas hingga hingga ke bagian belakang rumah.

Mendengar suara khas itu, Mandey terdiam sejenak. Kala itu ia sedang mengenakan poporong kain Bentenan pemberian kakeknya di dalam rumah. Mandey tak lagsung menyahut. Ia merapa ke jendela rumah lalu mengintip ke bawah memastikan siapa yang datang itu. Dugaan Mandey tak meleset. Seketika ia menjadi tak bersemangat.

Lalu tendengar suara langkah orang menaiki tangga. Rupanya sang tamu tak menunggu sahutan balasan dari makawale untuk segera memasuki rumah itu. Mandey semakin kesal. Tapi, ia tak ada pilihan lain. Pintu rumah sudah terbuka sejak ia bangun tadi. Tangga itu langsung terhubung dengan bagian depan rumah yang tak terlalu luas. Di situ biasanya mereka menyambut tamu yang datang.

Mandey menuju ke pintu rumah dengan langkah yang berat. Tepat  di depan pintu sudah berdiri seorang bertubuh tinggi besar, berkulit putih, juga  berambut putih. Matanya biru dengan pakaian putih yang sangat rapi. Rambut brewok putih menutupi hampir setengah wajahnya.

“Tabea...”

“Ta...tabea tuang pan..di...ta,” Mandey membalas dengan suara terbata-bata.

Seperti dugaan Mandey tadi, suara itu milik tuang pandita Duverman, zendeling yang melayani di distrik mereka. Kini dia berdiri berhadapan dengan Mandey. Tangan kanan sang tuang pandita memegang tongkat kayu hitam. Tangan kirinya mengapit sebuah buku yang sampulnya berwarna hitam.

“Kamu sendiri di rumah ini?” Tanya tuang pandita membuka percakapan.

“Silakan duduk dulu tuang pandita,” Mandey mempersilakan tamunya duduk di kursi.

“Ow, terima kasih,” tuang pandita mengambil posisi duduk. Tampak ia kesulitan menaruh pantatnya di kursi itu. “Di mana orang tuamu?”

“Oh, amang saya sudah ke kebun pagi-pagi tadi. Inangku sedang memasak, tuang pandita.”

“Kamu tidak ke mana-mana pagi ini?” Tuang pandita bertanya.

Mandey terkejut. Ia menjadi kikuk.

“Mmmm...Tidak tuang...” balas Mandey.

Mandey menyembuyikan rencananya pergi ke rumah tonaas Pandei. Ia tahu, sudah lama tuang pandita ini ingin bertemu Tonaas Pandei. Sudah pasti maksudnya untuk membujuk Tonaas Pandei masuk Kristen.  

“Tidak ke kebun?” lagi-lagi Tuang Pandita bertanya..

Mandey merasa seperti sedang diselidiki. Ia tidak langsung menjawab.

“Tuang pandita mau minum apa? Kopi?” Kata Mandey.

“Iya, kopi,” jawab tuang pandita. Dari saku kemeja putihnya ia mengambil pipa tembakau lalu menyalakannya. Asap tembakau mengepul.

Mandey belum ke belakang, tiba-tiba muncul ibunya dari dapur dengan kopi segelas yang masih mengeluarkan uap. Ibunya ternyata sudah mengetahu sedari tadi kedatangan sang tuang pandita. Tapi ia hanya mengawasi dari belakang.

“Tabea, tuang pandita,” ibu Mandey menyapa sambil menaruh gelas kopi di meja kecil.

“Tabea, inang Mandey,” balas tuang pandita sambil mengulurkan tangannya untuk berjabatan.

“Melep tuang pandita,” kata mama Mandey.

Makapulu’ sama...” jawab tuang pandita.

Tuang pandita Duverman sudah sekira 15 tahun sebagai zendeling yang ditempatkan di wilayah ini. Klasis yang dia layani meliputi negeri Tamberan. Makanya ia sudah menguasai bahasa tana’ di sini. Bahkan sudah menerbitkan buku pengajaran agama Sarani dalam bahasa tana’. Di negeri Tamberan sebuah gereja kayu sudah berdiri. Midras berdiri di samping gereja. Ia menggantikan zendeling sebelumnya yang meninggal karena wabah cacar.

“Inang Mandey. Mangalitounu tuama fassung,” kata tuang pandita memuji Mandey.

“Taan sia ka’kat..[12]” balas ibu Mandey sambil segera kembali ke dapur.

Mandey yang masih berdiri tampak diam. 

"Mandey, tadi malam apakah kau juga mengikuti pesta foso?"

"Iya, tadi malam saya ada di sana."

"Oh, iya...Bagaimana yang saya bilang kemarin?"

"Tentang apa tuang pandita?"

"Ah, bagusnya kamu duduk dulu bersamaku."

Mandey lalu duduk berhadapan dengan tuang pandita. Air mukanya tampak tak tenang. Pertemuan itu sesuatu yang sesungguhnya tidak dia harapkan. Lagi pula, ia mestinya sudah harus pergi ke rumah tonaas Pandei untuk belajar di papendengan.

"Mandey, foso-foso itu tak berguna sama sekali. Kau ini masih muda. Saya liat ada bakat di dalam dirimu,"

"Apa maksud tuang pandita?"

Tuang pandita tidak langsung menjawab. Ia memegang tongkatnya yang disandarkan di samping kursi. Mengambil gelas kopi lalu menyeruputnya. Menyusul kemudian ia menghisap pipa tembakaunya.

“Iya tidak berguna. Tidak akan memberimu faedah,” kata tuang pandita.

“Mengapa tuang pandita berkata begitu? Kaum kami ma’asa sudah lama hidup dengan foso. Sebelum tuang dan bangsa tuang datang ke sini,” kata Mandey tegas.

“Dunia sudah berubah, Mandey. Kamu sudah pernah lihat dunia lain di Hindia Belanda ini? Kamu sudah pernah pergi ke Menado?”

“Belum tuang pandita.”

“Kalau kau ke Menado, kau akan lihat di sana kapal-kapal besar dari Batavia atau dari Negeri  Belanda bersandar di pelabuhan. Kamu bisa ke sana. Dunia itu besar sekali, Mandey,” ujar tuang pandita.

“Tapi saya tidak perlu ke sana.”

“Tidak perlu atau tidak boleh?”

“Maksud tuang pandita?”

“Tidak perlu atau takut?”

“Saya harus tetap di sini.”

Tuang pandita terdiam. Pipa tembakau kembali dirapatkannya ke mulut. Ia memegang tongkat sambil menggerakannya memukul lantai tapi pelan. Ia tampak memikirkan apa yang akan dikatakannya lagi.

Mandey merunduk menatap lantai rumah yang terbuat dari kulit pohon enau. Ia mengingat kuatnya lantai itu. Rumah itu dibangun oleh apo (leluhur) Mamanua, tonaas tua di wanua itu. Neneknya, istri dari Mamanua, Ambilangan adalah Walian tulus yang sangat disegani di walak ini.

Ayah Mandey adalah tonaas yang mengurus foso-foso berburu dan bertani. Nama Mandey dipilihnya ayahnya untuk mengingatkan dia nama salah satu apo sejak zaman nenek moyang mereka, Lumimuut dan Toar. Pada dirinya mengalir daerah walian dan tonaas. Dan kini ia sedang dipersiapkan menjadi tonaas.

“Mandey, jika kamu menerima tawaranku, tinggal bersamaku, bejalar membaca bahasa Melayu, kamu akan dapat melihat dunia luar yang maha luas itu,” kata tuang pandita dengan suara membujuk.

“Sedikit-sedikit saya sudah tahu bahasa Melayu, tuang. Duniaku di sini, tuang pandita. Di wanua ini,” balas Mandey.

“Di Tanawangko ada sekolah guru. Di situ tuang pandita Nicolaus Graafland sebagai kepala sekolahnya. Saya dapat mengirimkan kamu ke sana. Di sana kamu akan belajar banyak hal untuk menjadi guru,” kata tuang pandita.

“Saya akan menjadi guru untuk kaumku. Saya harus melanjutkan kanaramen se tou Maäsa[13].”   

“Mandey, kanaramen se tou rior, raica waya wutul[14],” balas tuang pandita.

Wajah Mandey berubah. Kepalanya ditegakkan. Matanya menatap tajam tuang pandita.

"Tuang Duverman. Seperti leluhur kami yang menghormati kaum tuang, saya juga demikian. Maar, mohon maaf. Saya tidak terima jika tuang menghina mereka," Mandey berkata tegas dengan amarah yang berusaha ditahan. 

"Tidak Mandey. Justru maksud saya baik untuk kaummu," kata tuang pandita.

"Hari semakin siang tuang pandita. Saya harus ke kebun," ujar Mandey mengalihkan percakapan.

"Ow, iya. Saya mohon permisi. Maar, jika kamu tidak keberatan terimalah pemberian saya ini," balas tuang pandita sambil berdiri dan menyerahkan buku yang dia bawa.

Mandey menerimanya meski agak berat. Sebuah buku dengan sampul buku berwarna hitam bertuliskan:

Pengadjaran Agama Mesehhij Jang Pendekh Didalam Bahasa Malajuw Dan Alifuru Depersombahkan Dengan Hhormat Kapada Segala Tuwan Pemarentah Hhal Pasurohan Indjil
Di
Batavia

Awleh
K.T. Hermann
Surohan Indjil di Amurang

Tertara di Batavia, 1848

Tuang pandita pun segera meninggalkan tempat itu. Dengan memegang tongkat ia menuruni tangga. Mandey yang masih memegang buku itu belum beranjak dari tempat dia berdiri. Terlihat jelas ia sangat tidak menikmati percakapan itu.(bersambung...)


Nantikan Bagian II: Papendangan



[1] Pohon beringin.
[2] Kemarin saya bertemu dengan tuang pandita (zendeling) Belanda.
[3] Apa katanya?
[4] Sama seperti yang dikatakan penolong Lukas Wioy.
[5] Foso-foso (ritual-ritual) tradisi kita, tidak benar.
[6] Dia mengajak saya sekolah di Tanawangko. Tapi, sebelumnya tinggal di rumahnya sebagai ‘anak piara’. 
[7] Jika kau sudah menjadi guru, sudah sama seperti pendeta Belanda itu.
[8] Besok saya akan bekerja di kebun pemerintah. Menanam kopi.
[9] Wajib kerja rodi bagi laki-laki yang sudah dewasa.  
[10] “Penanggong’ kata Melayu gunung untuk kata penanggung. “Se mawendu” artinya orang-orang yang terkena wajib kerja rodi.
[11] Bekal makanan untuk dibawa ke kebun.
[12] Tapi dia nakal.
[13] Tradisi atau kebiasaan orang-orang ‘se maasa’.
[14] Tradisi para leluhur dulu, tidak semua benar.


No comments :

Post a Comment