"TOK...TOK..trok..tok..trok..tok...tok..."
bunyi tetengkoren menggema.
........
"Palakat...palakat...dengar palakat...
Palakat dari Hukum Besar Willem Pinutusan...
Voor penaggong-penanggong
kerja mawendu di kobong-kobong kopi...Supaya samua
orang yang kena wajib kerja
musti pigi ka kobong. Trada boleh ada yang cuma tinggal di
rumah.
Samua orang penanggong
musti pigi kobong kopi...
Demikian palakat. Harap samua orang dengar deng
patuhi...."
.......
Palakat itu memecah malam yang sunyi ro’ong
Tamberan. Hanya satu dua rumah terlihat cahaya lampu minyak. Kecuali di jalan
utama, di depan rumah Mandey agak terang. Beberapa orang membawa obor. Mereka
kepala jaga dan mandor kebun kopi yang menyampaikan palakat.
Mandey, ayah dan ibunya tetap berada di dalam rumah. Ada
firasat, palakat itu sengaja diperdegarkan kepada mereka, terutama Mandey yang
telah terkena wajib kerja. Palakat tadi khusus bagi para penanggong.
Urimwene menatap anaknya Mandey yang sedang duduk
mengitari sebuah meja. Sebuah lampu
minyak yang ditaruh di rak kayu menerangi ruangan itu. Rimbing, ayah Mandey
berdiri lalu berjalan pelan menuju jendela. Ia lalu mengintip dari celah
jendela itu.
"Kepala jaga Endi dan Mandor Yopi," ujar
Rimbing dengan suara berbisik.
Mandey menyandarkan tangannya di meja. Ibunya lalu
berdiri mendekat ke jendela samping suaminya.
"Penanggong..."
keluh Rimbing.
"Kamu baiknya menerima tawaran tuang pandita.
Tinggal denganya jadi anak piara. Lalu sekolah menjadi guru..." kata
Urimwene kepada Mandey sambil kembali duduk berhadapan dengan anaknya.
"Maksudnya...?" Tanya Rimbing.
"Tadi pagi tuang pandita Duverman datang ke sini. Ia
menyampaikan tawaran mengajak saya menjadi anak piaranya. Katanya nanti dikirim
ke Tanawangko untuk sekolah guru di sana," ujar Mandey.
"Aku mendengar percakapan itu," sambung
Urimwene.
"Tidak bisa...Kamu tidak boleh terpengaruh oleh
tuang pandita itu. Kamu juga tidak boleh kerja di kebun pemerentah. Cukup amang
saja. Kamu harus terus belajar di papendangan," ujar Rimbing.
"Tadi siang, mereka datang ke papendangan. Memaksa
kami bekerja. Mungkin juga mereka akan memaksa menghentikan papendangan
itu."
"Siapa?" Tanya Rimbing.
"Opas, Mandor dan kepala jaga?"
"Lalu...?"
"Untung ada tuang pandita Duverman yang menegur
mereka."
"Mmm...Mengapa pandita itu ada di sana?" Tanya
Rimbing.
"Entalah..."
"Orang-orang walanda itu mau hancurkan kita se tou
maasa. Tanam paksa kopi bikin orang-orang di sini harus kerja setengah mati
tapi tidak dapat apa-apa..." ujar Rimbing.
"Tapi Mandor, opas dan kapala jaga orang-orang
kita..."
" penolong
Lukas Wioy juga. Dulu ayahnya tonaas. Sekarang dia yang bilang foso itu kaper[1],"
sambung Urimwene.
Ketiga orang ini kini berkumpul duduk mengitari meja. Cahaya
lampu minyak kekuning-kuningan memberi sedikit penerangan ruangan itu. Hanya
sebagian dari wajah mereka yang tampak.
Rumah ini memang hanya dihuni oleh tiga orang. Tapi Mandey
sebetulnya bukan anak satu-satunya Rimbing dan Urimwene. Mandey anak keempat
dari lima bersaudara. Tiga kakaknya terdahulu meninggal karena terkena wabah
penyakit. Adiknya meninggal ketika baru lahir.
"Hot...hot...hot..." terdengar suara bunyi
Manguni yang tergesa-gesa dari arah samping rumah. Sepertinya ia sedang
bertengger di pohon kemiri.
"Ehem..." serentak mereka berdehem.
***
Pagi-pagi Mandey sudah bangun, namun bukan ke kebun kopi
bekerja sebagai penanggong. Ia sudah
yakin dengan pilihannya: mangkir dari kerja paksa. Resiko pasti fatal. Dia
sudah tahu itu.
Ia keluar dari pintu belakang, menuruni tangga lalu
berjalan samping di rumah. Mandey berjalan mengendap. Tak mau ada orang tahu
dia ke mana. Hari memang baru akan pagi.
Dia keluar dari pekarangan rumah lalu menyusuri jalan
kecil menuju sebuah jalan kecil. Sampai dia tiba di depan sebuah rumah panggung
yang memanjang ke belakang. Halamannya cukup rapih. Beberapa jenis tanaman
tumbuh di pekarangan.
Tangga rumah berada di sisi kiri dan kanan. Rumah itu
beratapkan katu yang ditudungi ijuk
enau. Ruangan bagian depan atau pores[2]
(serambi rumah) cukup luas. Di situ terdapat kursi dan meja yang bagus. Di
sudut balkon terdapat kursi malas (kursi goyang).
Itu adalah rumah penolong Lukas Wioy. Di rumah ini tuang
pandita Duverman biasa menginap setiap berkunjung ke ro’ong Tamberan.
Di rumah besar itu tinggal penolong Lukas Wioy dan istrinya. Keluarga penolong ini memiliki lima
orang anak. Tiga anaknya laki-laki sudah menikah, seorang perempuan juga sudah menikah
dengan seorang laki-laki di negeri lain dan tinggal di sana. Anak bungsu mereka
adalah seorang perempuan.
Lukas Wioy di masa mudanya adalah anak piara dari
zendeling di Amurang. Ia sekolah di Tanawangko lalu kemudian menjadi penolong. Lukas Wioy adalah penolong tapi sekaligus diberi tanggung
jawab mengurus midras di ro’ong itu. Istrinya Catotje Kataun
adalah anak dari penolong di negeri sebelah.
Batas antara pekarangan rumah dengan jalan adalah pagar
bambu. Memasuki rumah itu orang-orang mesti melewati semacam pintu gerbang
kecil. Mandey melewati pintu itu untuk masuk ke pekarangan.
Ketika baru melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah, Mandey
melihat seorang perempuan muda sedang menuruni tangga. Betapa terkejut Mandey melihat perempuan muda nan cantik itu. Ini
kali pertama Mandey merasakan sesuatu yang sungguh berbeda. Suatu pagi yang
tidak disengaja.
Mandey seketika menjadi kikuk. Mulutnya kaku, sulit
sekali berbicara. Rasa-rasanya ia ingin berbalik arah, keluar dari pekarangan
itu. Tapi apa boleh buat sudah terlanjur ada orang yang melihatnya, perempuan
muda itu.
"Ta...ta...bea...No..na Lena.." kata Mandey
gugup.
"Tabea...Mandey, ada apa?" Lena menyapa dengan
ramah.
Perempuan muda cantik itu adalah Magdalena, anak bungsu penolong Lukas Wioy. Ia murid pertama
ketika midrasbaru berdiri di ro'ong
Tamberan. Setelah itu ia tinggal dengan keluarga tuang pandita Duverman. Istri
tuang pandita, mevrouw Carolina sangat menyukainya. Mevrouw Carolina mengajari
dia membaca, sedikit bahasa Belanda dan hal-hal lain yang umum menurut
istri-istri zendeling sebagai kecakapan perempuan.
Pagi itu, Lena, begitu orang-orang biasa menyapanya,
sangat anggun dengan rambut dikepang dua mengenakan pakaian pengaruh Eropa.
Wajahnya yang putih sangat segar di pagi itu. Meski sudah berpenampilan khas
tapi jika sedang berada di Tamberan tidak segan-segan ia bergaul teman-teman
sebayanya, termasuk ikut dalam kesenangan-kesenangan anak muda dengan
mengenakan aroro (kain sarung).
"Saya mau ketemu tuang pandita. Apakah ia ada
sekarang?" Ujar Mandey memberanikan diri berbicara.
Setelah berkata begitu, ia berusaha untuk dapat menatap
wajah Lena. Tapi begitu ia menatap, ia menjadi gugup. Entah apa artinya.
"Oh, tuang pandita ada di dalam rumah bersama amang.
Silakan saja ke atas," balas Lena.
"Terima kasih, Lena..." kata Mandey sambil melangkah
menuju tangga rumah.
Saat menaiki tangga, Mandey masih memberanikan diri
melihat Lena yang sedang berada di pekarangan. Di saat yang sama Lena juga
melihat dia dari arah bawah. Ada waktu sagat singkat mereka saling bertatapan.
Mandey tak menyangka itu sehingga ia menjadi serba salah. Syaraf pusatnya
menjadi sulit memerintahkan kakinya bergerak membuat ia hampir jatuh setelah
kakinya terantuk pada satu anak tangga. Melihat itu, Lena tersenyum kecil.
Insiden kecil itu menyadarkan Mandey, ia kini bukan
anak-anak lagi. Sebuah rasa entah bagaimana munculnya itu membuat ia pada satu
pihak menjadi kikuk, tapi pada pihak lain dan ini lebih dominan adalah
bersemangat. Semangat luar biasa.
Ia pun melangkah dengan penuh percaya diri menaiki
anak-anak tangga hingga tiba di pores rumah
itu. Dari situ ia mendengar suara orang bercakap di ruang utama. Tanpa ragu ia
mengucapkan salam.
"Tabea..."
"Tabea...Sei sia..??" Seorang perempuan lebih
dulu membalasnya.
"Oh kau, Mandey..." kata tuang Pandita yang waktu
itu sedang duduk di kursi yang agak besar.
Di depanya ada meja bundar. Di seberang duduk penolong Lukas. Istrinya sedang merapikan
kamar. Di dinding rumah yang terbuat
dari papan kayu itu tergantung almanak masehi bertanggal Maret 1860. Di dinding
rumah pada sisi seberangya terdapat lemari kayu berwarna coklat
kehitam-hitaman.
Mandey masih berdiri di pintu menunggu respon dari
orang-orang di dalam.
"O, kau Mandey. Ada apa pagi-pagi begini datang ke
sini?" penolong Lukas menyapanya dengan wajah
heran.
"Saya ingin bercakap," kata Mandey.
Di tangan kanannya memegang sebuah buku bersampul warna
hitam.
Tuang pandita sempat memperhatikan apa yang dipegang oleh
Mandey. Dia kenal buku itu.
"Dengan kami"? Tanya penolong Lukas.
Mandey tiba-tiba bingung menjawab apa. Sebab mulanya ia
hanya ingin bercakap dengan tuang pandita Duverman.
"Eh, dengan tuang pandita. Juga dengan tuang
guru," kata Mandey.
Orang-orang kebanyakan mengenal penolong Lukas sebagai guru
atau meester sebab sehari-hari dialah
yang mengurus midras di ro'ong itu.
Mandey lebih mengenalnya sebagai guru.
"Baik, kita bercakap di depan saja," kata penolong Lukas sambil berdiri dan menuju
ke pores.
Tuang pandita beranjak dari tempat duduknya dan berjalan
keluar ruangan itu. Mandey mundur berapa langkah memberi mereka ruang untuk
berjalan.
"Duduk di sini, Mandey," kata penolong.
Pores itu terbuka. Terdapat trali-trali yang mengitarinya.
Pot-pot bunga terpajang di situ. Nyora di
rumah ini suka memelihara bunga. Dari situ mereka dapat melihat orang yang
lalu-lalang di jalan.
Lalu, entah apa yang menggerakan Mandey sehingga sesaat
ia melihat Lena di pekarangan sedang memetik bunga yang ditaruh di loto.[3]
"Jadi, apa yang kau ingin percakapkan?" Tanya
tuang pandita.
Mandey yang masih menatap ke bawah, utamanya ke Lena,
terkejut.
"Iya tuang pandita. Saya ingin belajar menulis dan
membaca bahasa Melayu," balas Mandey sambil meletakkan buku itu di meja.
Mendengar itu, penolong Lukas menatap tuang pandita.
Tatapannya itu seolah meminta jawaban dari tuang pandita kebenaran dari apa
yang baru dia dengar.
"Mandey, maksudmu ingin belajar seperti yang kita
bicara kemarin?" Tanya tuang pandita.
"Mmmm...Saya ingin belajar tuang pandita,” kata
Mandey. “Eh, terima kasih untuk apa yang tuang pandita bikin kemarin..."
Penolong Lukas terperangah. Ia tidak mengerti apa yang dua orang
itu sedang bicarakan.
"Penolong,
beberapa hari ini saya memang telah bercakap dengan Mandey. Oh ya, tentang
kemarin itu di rumah tonaas Pandei.
Mandor dan opas memaksa mereka bekerja sebagai penanggong di kebun kopi," tuang pandita menerangkan.
Penolong Lukas masih diam. Ia berusaha mengerti apa yang baru
dikatakan tuang pandita.
"Tapi saya minta tuang pandita bikin sesuatu agar
orang-orang di ro'ong ini tidak
semakin menderita karena kerja penanggong
di kebun-kebun kopi," ujar Mandey.
Tuang pandita menatap Mandey. Penolong Lukas menyandarkan
badannya ke sandaran kursi. Sepertinya ia mulai mengerti apa yang mejadi topik
percakapan.
"Mandey, itu juga yang baru kami bicarakan tadi
sebelum kaum datang," kata penolong.
"Iya, kami zendeling sebenarnya tidak terlalu setuju
dengan cara-cara pemerintah. Cuma, untuk sekarang ini kami tidak dapat berbuat
banyak," kata tuang pandita.
"Para kepala di beberapa distrik saya dengar telah
membuat petisi kepada pemerintah keresidenan di Manado," penolong Lukas menambahkan.
"Tuang pendita, tuang guru. Kita se tou Maasa sudah cukup tersiksa. Beberapa
puluh tahun lalu terjadi tanah goyang
hebat menghancurkan rumah-rumah kita. Lalu, wabah penyakit membunuh banyak
orang. Sudah berapa keturunan kita seperti budak bagi pemerintah sebagai penanggong. Tapi, apa yang kita dapat?”
Mandey berkata penuh semangat.
Tuang pandita dan penolong Lukas menyimak penuh perhatian.
Mereka masih menunggu apa yang akan dikatakan lagi oleh Mandey.
“Orang-orang semakin sulit makan. Mana lagi kita-kita
orang dipaksa membayar pajak. Kanaramenta
semakin hilang," Mandey menjelaskan.
"Jadi....???" Tuang pandita bertanya.
"Melawan dengan santi..."
"Maksudmu, mau berperang?" Penolong berkata memotong.
"Bukan itu penolong,"
balas Mandey. "Melawan dengan santi[4]
cuma bikin orang-orang semakin tersiksa. Menderita. Jadi maksudku, tuang-tuang
ini kan sering bicara tentang ajaran agama. Apa yang dapat agama tuang-tuang
lakukan untuk semua itu?"
Tuang pandita tidak langsung menjawab. Ia menyalakan
tembakau di dalam pipa cerutunya. Ia menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Lalu
menyikangkan kakinya. Merapatkan pipa cerutu ke mulut, menghisap asap tembakau
dalam-dalam lalu menghembuskannya.
Ia menatap ke depan. Tatapannya itu menembus trali-trali
balkon rumah melihat ro'ong Tamberan.
Memandang rumah-rumah yang ditudungi ijuk enau hitam. Jauh di seberang sana
puncak gunung Lolombulan terlihat di antara pohon-pohon yang hijau. Hutan
Lolombulan membentuk suatu gambaran tentang kesuburan tapi juga suatu tanda
tanya, kehidupan bagaimana yang ada di seberang waktu ro'ong ini?
Tuang pandita jadi berpikir keras. Apa yang baru
dikatakan oleh Mandey rasanya sebuah beban berat. Sebagai seorang yang membawa
tradisi Kristen pietisme, memang ia
diajarkan untuk merdeka dari kekuasaan negara atau kepentingan politik. Namun,
di Hindia Belanda, sebagai zendeling yang diminta menyatakan keberpihakan
terhadap pribumi yang tersiksa oleh Cultuurstelsel
adalah sesuatu yang sulit. Banyak keperluan dan kepentingan badan zending
yang mesti berurusan dengan pemerintah kolonial.
Dalam keheningan sejenak itu, tiba-tiba penolong Lukas berkata, "Jika kamu
ingin melakukan sesuatu, kamu harus sekolah Mandey."
"Jika pendidikan dan agama dapat memberi saya
kekuatan mengubah, saya siap untuk itu?" Ujar Mandey.
Tuang pandita jadi makin berpikir dengan apa yang baru
dikatakan Mandey. Ia lalu berpikir dalam hatinya, “Apa arti Injil di ro’ong Tamberan? Apa gunanya gedung
gereja dan midras bagi orang-orang di sini? Apa manfaat khotbah-khotbanya bagi
kehidupan orang-orang di sini?” (Bersambung)
Nantikan bagian IV: Metokol
Comments
Post a Comment