Wednesday, February 12, 2020

Bagian Ketiga: Si Mangalitow wo Si Mangalaun




"TOK...TOK..trok..tok..trok..tok...tok..." bunyi tetengkoren menggema.

  ........
  "Palakat...palakat...dengar palakat...

  Palakat dari Hukum Besar Willem Pinutusan...
  Voor penaggong-penanggong kerja mawendu di kobong-kobong kopi...Supaya samua     
  orang yang kena wajib kerja musti pigi ka kobong. Trada boleh ada yang cuma tinggal di  
  rumah.

  Samua orang penanggong musti pigi kobong kopi...

  Demikian palakat. Harap samua orang dengar deng patuhi...."

  .......

Palakat itu memecah malam yang sunyi  ro’ong Tamberan. Hanya satu dua rumah terlihat cahaya lampu minyak. Kecuali di jalan utama, di depan rumah Mandey agak terang. Beberapa orang membawa obor. Mereka kepala jaga dan mandor kebun kopi yang menyampaikan palakat.

Mandey, ayah dan ibunya tetap berada di dalam rumah. Ada firasat, palakat itu sengaja diperdegarkan kepada mereka, terutama Mandey yang telah terkena wajib kerja. Palakat tadi khusus bagi para penanggong.

Urimwene menatap anaknya Mandey yang sedang duduk mengitari sebuah meja.  Sebuah lampu minyak yang ditaruh di rak kayu menerangi ruangan itu. Rimbing, ayah Mandey berdiri lalu berjalan pelan menuju jendela. Ia lalu mengintip dari celah jendela itu.

"Kepala jaga Endi dan Mandor Yopi," ujar Rimbing dengan suara berbisik.

Mandey menyandarkan tangannya di meja. Ibunya lalu berdiri mendekat ke jendela samping suaminya.

"Penanggong..." keluh Rimbing.

"Kamu baiknya menerima tawaran tuang pandita. Tinggal denganya jadi anak piara. Lalu sekolah menjadi guru..." kata Urimwene kepada Mandey sambil kembali duduk berhadapan dengan anaknya.

"Maksudnya...?" Tanya Rimbing.

"Tadi pagi tuang pandita Duverman datang ke sini. Ia menyampaikan tawaran mengajak saya menjadi anak piaranya. Katanya nanti dikirim ke Tanawangko untuk sekolah guru di sana," ujar Mandey.

"Aku mendengar percakapan itu," sambung Urimwene.

"Tidak bisa...Kamu tidak boleh terpengaruh oleh tuang pandita itu. Kamu juga tidak boleh kerja di kebun pemerentah. Cukup amang saja. Kamu harus terus belajar di papendangan," ujar Rimbing.

"Tadi siang, mereka datang ke papendangan. Memaksa kami bekerja. Mungkin juga mereka akan memaksa menghentikan papendangan itu."

"Siapa?" Tanya Rimbing.

"Opas, Mandor dan kepala jaga?"

"Lalu...?"

"Untung ada tuang pandita Duverman yang menegur mereka."

"Mmm...Mengapa pandita itu ada di sana?" Tanya Rimbing.

"Entalah..."

"Orang-orang walanda itu mau hancurkan kita se tou maasa. Tanam paksa kopi bikin orang-orang di sini harus kerja setengah mati tapi tidak dapat apa-apa..." ujar Rimbing.

"Tapi Mandor, opas dan kapala jaga orang-orang kita..."

" penolong Lukas Wioy juga. Dulu ayahnya tonaas. Sekarang dia yang bilang foso itu kaper[1]," sambung Urimwene.

Ketiga orang ini kini berkumpul duduk mengitari meja. Cahaya lampu minyak kekuning-kuningan memberi sedikit penerangan ruangan itu. Hanya sebagian dari wajah mereka yang tampak.

Rumah ini memang hanya dihuni oleh tiga orang. Tapi Mandey sebetulnya bukan anak satu-satunya Rimbing dan Urimwene. Mandey anak keempat dari lima bersaudara. Tiga kakaknya terdahulu meninggal karena terkena wabah penyakit. Adiknya meninggal ketika baru lahir.

"Hot...hot...hot..." terdengar suara bunyi Manguni yang tergesa-gesa dari arah samping rumah. Sepertinya ia sedang bertengger di pohon kemiri.

"Ehem..." serentak mereka berdehem.

***

Pagi-pagi Mandey sudah bangun, namun bukan ke kebun kopi bekerja sebagai penanggong. Ia sudah yakin dengan pilihannya: mangkir dari kerja paksa. Resiko pasti fatal. Dia sudah tahu itu.

Ia keluar dari pintu belakang, menuruni tangga lalu berjalan samping di rumah. Mandey berjalan mengendap. Tak mau ada orang tahu dia ke mana. Hari memang baru akan pagi.

Dia keluar dari pekarangan rumah lalu menyusuri jalan kecil menuju sebuah jalan kecil. Sampai dia tiba di depan sebuah rumah panggung yang memanjang ke belakang. Halamannya cukup rapih. Beberapa jenis tanaman tumbuh di pekarangan.

Tangga rumah berada di sisi kiri dan kanan. Rumah itu beratapkan katu yang ditudungi ijuk enau. Ruangan bagian depan atau pores[2] (serambi rumah) cukup luas. Di situ terdapat kursi dan meja yang bagus. Di sudut balkon terdapat kursi malas (kursi goyang). 

Itu adalah rumah  penolong Lukas Wioy. Di rumah ini tuang pandita Duverman biasa menginap setiap berkunjung ke ro’ong Tamberan.

Di rumah besar itu tinggal  penolong Lukas Wioy dan  istrinya. Keluarga  penolong ini memiliki lima orang anak. Tiga anaknya laki-laki sudah menikah, seorang perempuan juga sudah menikah dengan seorang laki-laki di negeri lain dan tinggal di sana. Anak bungsu mereka adalah seorang perempuan.

Lukas Wioy di masa mudanya adalah anak piara dari zendeling di Amurang. Ia sekolah di Tanawangko lalu kemudian menjadi  penolong. Lukas Wioy adalah  penolong tapi sekaligus diberi tanggung jawab mengurus midras di  ro’ong itu. Istrinya Catotje Kataun adalah anak dari  penolong di negeri sebelah.
 
Batas antara pekarangan rumah dengan jalan adalah pagar bambu. Memasuki rumah itu orang-orang mesti melewati semacam pintu gerbang kecil. Mandey melewati pintu itu untuk masuk ke pekarangan.

Ketika baru melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah, Mandey melihat seorang perempuan muda sedang menuruni tangga. Betapa terkejut Mandey  melihat perempuan muda nan cantik itu. Ini kali pertama Mandey merasakan sesuatu yang sungguh berbeda. Suatu pagi yang tidak disengaja. 

Mandey seketika menjadi kikuk. Mulutnya kaku, sulit sekali berbicara. Rasa-rasanya ia ingin berbalik arah, keluar dari pekarangan itu. Tapi apa boleh buat sudah terlanjur ada orang yang melihatnya, perempuan muda itu.

"Ta...ta...bea...No..na Lena.." kata Mandey gugup. 

"Tabea...Mandey, ada apa?" Lena menyapa dengan ramah.

Perempuan muda cantik itu adalah Magdalena, anak bungsu  penolong Lukas Wioy. Ia murid pertama ketika midrasbaru berdiri di ro'ong Tamberan. Setelah itu ia tinggal dengan keluarga tuang pandita Duverman. Istri tuang pandita, mevrouw Carolina sangat menyukainya. Mevrouw Carolina mengajari dia membaca, sedikit bahasa Belanda dan hal-hal lain yang umum menurut istri-istri zendeling sebagai kecakapan perempuan.

Pagi itu, Lena, begitu orang-orang biasa menyapanya, sangat anggun dengan rambut dikepang dua mengenakan pakaian pengaruh Eropa. Wajahnya yang putih sangat segar di pagi itu. Meski sudah berpenampilan khas tapi jika sedang berada di Tamberan tidak segan-segan ia bergaul teman-teman sebayanya, termasuk ikut dalam kesenangan-kesenangan anak muda dengan mengenakan aroro (kain sarung).

"Saya mau ketemu tuang pandita. Apakah ia ada sekarang?" Ujar Mandey memberanikan diri berbicara.

Setelah berkata begitu, ia berusaha untuk dapat menatap wajah Lena. Tapi begitu ia menatap, ia menjadi gugup. Entah apa artinya.

"Oh, tuang pandita ada di dalam rumah bersama amang. Silakan saja ke atas," balas Lena.

"Terima kasih, Lena..." kata Mandey sambil melangkah menuju tangga rumah.

Saat menaiki tangga, Mandey masih memberanikan diri melihat Lena yang sedang berada di pekarangan. Di saat yang sama Lena juga melihat dia dari arah bawah. Ada waktu sagat singkat mereka saling bertatapan. Mandey tak menyangka itu sehingga ia menjadi serba salah. Syaraf pusatnya menjadi sulit memerintahkan kakinya bergerak membuat ia hampir jatuh setelah kakinya terantuk pada satu anak tangga. Melihat itu, Lena tersenyum kecil.

Insiden kecil itu menyadarkan Mandey, ia kini bukan anak-anak lagi. Sebuah rasa entah bagaimana munculnya itu membuat ia pada satu pihak menjadi kikuk, tapi pada pihak lain dan ini lebih dominan adalah bersemangat. Semangat luar biasa.

Ia pun melangkah dengan penuh percaya diri menaiki anak-anak tangga hingga tiba di pores rumah itu. Dari situ ia mendengar suara orang bercakap di ruang utama. Tanpa ragu ia mengucapkan salam.

"Tabea..."

"Tabea...Sei sia..??" Seorang perempuan lebih dulu membalasnya.

"Oh kau, Mandey..." kata tuang Pandita yang waktu itu sedang duduk di kursi yang agak besar.

Di depanya ada meja bundar. Di seberang duduk  penolong Lukas. Istrinya sedang merapikan kamar.  Di dinding rumah yang terbuat dari papan kayu itu tergantung almanak masehi bertanggal Maret 1860. Di dinding rumah pada sisi seberangya terdapat lemari kayu berwarna coklat kehitam-hitaman.

Mandey masih berdiri di pintu menunggu respon dari orang-orang di dalam.

"O, kau Mandey. Ada apa pagi-pagi begini datang ke sini?"  penolong Lukas menyapanya dengan wajah heran.

"Saya ingin bercakap," kata Mandey.

Di tangan kanannya memegang sebuah buku bersampul warna hitam.

Tuang pandita sempat memperhatikan apa yang dipegang oleh Mandey. Dia kenal buku itu.

"Dengan kami"? Tanya  penolong Lukas.

Mandey tiba-tiba bingung menjawab apa. Sebab mulanya ia hanya ingin bercakap dengan tuang pandita Duverman.

"Eh, dengan tuang pandita. Juga dengan tuang guru," kata Mandey.

Orang-orang kebanyakan mengenal  penolong Lukas sebagai guru atau meester sebab sehari-hari dialah yang mengurus midras di ro'ong itu. Mandey lebih mengenalnya sebagai guru.

"Baik, kita bercakap di depan saja," kata  penolong Lukas sambil berdiri dan menuju ke pores.  

Tuang pandita beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruangan itu. Mandey mundur berapa langkah memberi mereka ruang untuk berjalan.

"Duduk di sini, Mandey," kata  penolong.

Pores itu terbuka. Terdapat trali-trali yang mengitarinya. Pot-pot bunga terpajang di situ. Nyora di rumah ini suka memelihara bunga. Dari situ mereka dapat melihat orang yang lalu-lalang di jalan.

Lalu, entah apa yang menggerakan Mandey sehingga sesaat ia melihat Lena di pekarangan sedang memetik bunga yang ditaruh di loto.[3]

"Jadi, apa yang kau ingin percakapkan?" Tanya tuang pandita.

Mandey yang masih menatap ke bawah, utamanya ke Lena, terkejut.

"Iya tuang pandita. Saya ingin belajar menulis dan membaca bahasa Melayu," balas Mandey sambil meletakkan buku itu di meja.

Mendengar itu,  penolong Lukas menatap tuang pandita. Tatapannya itu seolah meminta jawaban dari tuang pandita kebenaran dari apa yang baru dia dengar.

"Mandey, maksudmu ingin belajar seperti yang kita bicara kemarin?" Tanya tuang pandita.

"Mmmm...Saya ingin belajar tuang pandita,” kata Mandey. “Eh, terima kasih untuk apa yang tuang pandita bikin kemarin..."

Penolong Lukas terperangah. Ia tidak mengerti apa yang dua orang itu sedang bicarakan.

"Penolong, beberapa hari ini saya memang telah bercakap dengan Mandey. Oh ya, tentang kemarin itu di rumah tonaas Pandei. Mandor dan opas memaksa mereka bekerja sebagai penanggong di kebun kopi," tuang pandita menerangkan.

Penolong Lukas masih diam. Ia berusaha mengerti apa yang baru dikatakan tuang pandita.

"Tapi saya minta tuang pandita bikin sesuatu agar orang-orang di ro'ong ini tidak semakin menderita karena kerja penanggong di kebun-kebun kopi," ujar Mandey.

Tuang pandita menatap Mandey.  Penolong Lukas menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Sepertinya ia mulai mengerti apa yang mejadi topik percakapan.

"Mandey, itu juga yang baru kami bicarakan tadi sebelum kaum datang," kata penolong.

"Iya, kami zendeling sebenarnya tidak terlalu setuju dengan cara-cara pemerintah. Cuma, untuk sekarang ini kami tidak dapat berbuat banyak," kata tuang pandita.

"Para kepala di beberapa distrik saya dengar telah membuat petisi kepada pemerintah keresidenan di Manado,"  penolong Lukas menambahkan.

"Tuang pendita, tuang guru. Kita se tou Maasa sudah cukup tersiksa. Beberapa puluh tahun lalu terjadi  tanah goyang hebat menghancurkan rumah-rumah kita. Lalu, wabah penyakit membunuh banyak orang. Sudah berapa keturunan kita seperti budak bagi pemerintah sebagai penanggong. Tapi, apa yang kita dapat?” Mandey berkata penuh semangat.

Tuang pandita dan  penolong Lukas menyimak penuh perhatian. Mereka masih menunggu apa yang akan dikatakan lagi oleh Mandey.

“Orang-orang semakin sulit makan. Mana lagi kita-kita orang dipaksa membayar pajak. Kanaramenta semakin hilang," Mandey menjelaskan.

"Jadi....???" Tuang pandita bertanya.

"Melawan dengan santi..."

"Maksudmu, mau berperang?"  Penolong berkata memotong.

"Bukan itu penolong," balas Mandey. "Melawan dengan santi[4] cuma bikin orang-orang semakin tersiksa. Menderita. Jadi maksudku, tuang-tuang ini kan sering bicara tentang ajaran agama. Apa yang dapat agama tuang-tuang lakukan untuk semua itu?"

Tuang pandita tidak langsung menjawab. Ia menyalakan tembakau di dalam pipa cerutunya. Ia menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Lalu menyikangkan kakinya. Merapatkan pipa cerutu ke mulut, menghisap asap tembakau dalam-dalam lalu menghembuskannya.

Ia menatap ke depan. Tatapannya itu menembus trali-trali balkon rumah melihat ro'ong Tamberan. Memandang rumah-rumah yang ditudungi ijuk enau hitam. Jauh di seberang sana puncak gunung Lolombulan terlihat di antara pohon-pohon yang hijau. Hutan Lolombulan membentuk suatu gambaran tentang kesuburan tapi juga suatu tanda tanya, kehidupan bagaimana yang ada di seberang waktu ro'ong ini?

Tuang pandita jadi berpikir keras. Apa yang baru dikatakan oleh Mandey rasanya sebuah beban berat. Sebagai seorang yang membawa tradisi Kristen pietisme, memang ia diajarkan untuk merdeka dari kekuasaan negara atau kepentingan politik. Namun, di Hindia Belanda, sebagai zendeling yang diminta menyatakan keberpihakan terhadap pribumi yang tersiksa oleh Cultuurstelsel adalah sesuatu yang sulit. Banyak keperluan dan kepentingan badan zending yang mesti berurusan dengan pemerintah kolonial.

Dalam keheningan sejenak itu, tiba-tiba  penolong Lukas berkata, "Jika kamu ingin melakukan sesuatu, kamu harus sekolah Mandey."

"Jika pendidikan dan agama dapat memberi saya kekuatan mengubah, saya siap untuk itu?" Ujar Mandey.

Tuang pandita jadi makin berpikir dengan apa yang baru dikatakan Mandey. Ia lalu berpikir dalam hatinya, “Apa arti Injil di ro’ong Tamberan? Apa gunanya gedung gereja dan midras bagi orang-orang di sini? Apa manfaat khotbah-khotbanya bagi kehidupan orang-orang di sini?” (Bersambung)

Nantikan bagian IV: Metokol



[1] Kafir.
[2] Belanda: Voorhuis
[3] Bakul yang terbuat dari anyaman bambu.
[4] Santi = pedang.

No comments :

Post a Comment