Skip to main content

Covid-19




Oleh Denni H.R. Pinontoan


SALING bersalaman, untuk sekarang ini, dianjurkan baiknya tidak dilakukan dulu. Apalagi cipika-cipiki.

Dulu larangan bersalaman antar orang-orang tertentu terutama karena alasan agama. Alasannya bersifat doktrinal. Sesuatu yang tak dapat diindera.

Terkini, anjuran itu karena bahaya virus yang bernama corona. Itu juga karena sesuatu yang tidak dapat diindera dengan mata telanjang. Kontak langsung berbahaya menyebarnya virus corona itu.

Orang yang terinfeksi virus ini akan terkena jenis penyakit baru bernama Covid-19 (Coronavirus Disease 2019). Bermula di Wuhan, China, kini sudah menyebar ke kira-kira 104 negara. Ia lalu mendapat gelar sebagai "pendemi global".

Virus ini menyebar cepat. Satu orang diketahui dan ditetapkan positif, maka akan muncul dugaan untuk banyak orang. Seorang yang terinfeksi itu, sebelum diketahui dan positif terkena virus, pasti ia pernah melakukan kontak dengan banyak orang. Manusia itu makhluk sosial.

Dan, selanjutnya demikian.

Pertengahan Januari lalu, terkait mulai mewabahnya virus corona itu, Menkes kita berkata, "Kita berdoa jangan masuk lah ke Indonesia..."

Lalu, di Malaysia selama 3 hari, 28 Februari hingga 1 Maret ada acara Tabligh Akbar di Masjid Petaling. Sekira 10 ribu orang hadir, mereka 27 negara. Di Brunei seorang pria berusia 53 tahun menderita gejala Covid -19. Empat hari sebelumnya ia menghadiri tabligh akbar itu. Maka, ribuan orang yang hadir di acara itu diawasi. Mengawasi 10 ribu orang, bukan pekerjaan gampang. Manusia adalah makluk beragama.

Sejumlah tokoh politik, selebritis dan altlet dunia juga terkena virus ini. Lalu, seorang diplomat Pilipina di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) diumumkan sebagai orang pertama yang positif corona di lembaga internasional itu. 

Seorang teman menulis status di wall FBnya. Katanya dia batal ke luar daerah untuk mengikuti suatu kegiatan. Pihak pengundang menunda atau membatalkan kegiatan itu karena wabah virus corona. Teman itu salah satu dari ratusan ribu atau mungkin jutaan orang yang tak dapat melakukan perjalanan lintas daerah dan negara karena epidemi ini.

***
Seorang yang beragama A, dari suku B, memiliki ras C, mustahil tak akan berhubungan secara langsung dengan orang yang beragama D, E, F, yang bersuku G, H, dan ras I, dst. Langsung atau tidak langsung saling kontak antara yang berbeda niscaya terjadi. Cuma saja, sebelum semua ini terjadi, identitas dibuat mengeras sedemikian rupa. Seolah dunia ini hanya milik sendiri, satu kaum dan satu agama saja.

Virus menyebar melampaui apa yang diklaim oleh manusia. Kata para virolog , virus sebetulnya nanti eksis setelah ia menempel pada organisme hidup. Nah, karena organisme hidup itu, misalnya manusia adalah makhluk sosial, ekonomi dan juga makhluk politik, maka ia kemudian juga menyerang sistem jaringan sosial, politik, ekonomi negara dan dunia. Kehidupan sesungguhnya adalah suatu jaringan kompleks. Satu jaringan rusak, putus maka kacaulah organisme global ini.

Oma saya sering menyebut suatu ungkapan yang mungkin menunjuk ke hakekat itu. "Se tou tumou wo se manou-nou", manusia hidup dengan semua yang hidup dan yang menunjang kehidupan. Kira-kira maknanya, bahwa kehidupan manusia itu tidak lepas dari relasinya dengan makhluk hidup yang lain dan semua yang menunjang kehidupan. Kehidupan adalah suatu struktur yang saling menopang.

Siapa dan apalagi yang tidak bermasalah dengan wabah virus corona ini? Manusia sebagai person, keluarga dan masyarakatnya terkena dampak. Sistem-sistem yang dibuat oleh manusia kena dampak. Sistem negara, sistem ekonomi, sistem transportasi, dlsb.

Juga termasuknya di dalamnya sistem agama. Praktek beragama yang mementaskan simbol-simbol yang sebelumnya hampir mengganti iman didekonstruksi. Orang-orang yang berkumpul berdoa, menyembah Sang Khalik tak bebas dari virus. Maka, Tuhan tidak terutama hadir dalam tindakan-tindakan simbolik. Situasi kini mungkin sedang mengingatkan orang-orang beragama bahwa Tuhan justru hadir dalam diri yang terisolasi ketika kehidupan dan kematian itu hanya dibatasi oleh tirai putih. Tuhan hadir dalam kemurnian hati dan kepasrahan mendalam. Dan kesadaran yang benar, bahwa tubuh ini begitu rapuh.

Demikian dengan bumi, tempat manusia dan makhluk lain berdiam. Akhirnya, sejak kira-kira dua milenium sejak manusia menemukan pengetahuan ilmiah, lalu ia berkembang menjadi teknologi, sistem negara, ekonomi, oleh sejenis virus mengingatkan lagi tentang kerapuhan itu.

Sayang, selama ini, kerapuhan itu justru selalu berusaha diatasi dengan menciptakan pengetahuan, teknologi dan sistem untuk saling menguasai. Master Cheng Yen pendiri Budha Tzu Chi yang berpusat di Taiwan menyebut masalah-masalah global yang sementara kita hadapi disebabkan oleh karma kolektif. Dalam istilah lain, mungkin yang dia maksud adalah dosa-dosa kolektif, dosa-dosa peradaban.

Sistem ekonomi yang mengekploitasi, kekuasaan politik yang menindas, penciptaan teknologi yang memusnakan, gerakan-gerakan politik berbasis tafsir doktrinal sepihak, telah menyebabkan kerusakan-kerusakan besar. Semua saling menuding. Tidak ada yang mau jujur dan mengaku dosa.

Lalu, baru setelah virus corona menjadi epidemi global, kita manusia baru sadar betapa pentingnya solidaritas, hidup saling berbagi, pentingnya etika bersama, dan betapa agama, keyakinan dan ideologi apapun tidak mesti menciptakan saling permusuhan. Sebab, setelah beberapa milenium masing-masing orang hidup berkelompok dalam menurut batas wilayah negara, ideologinya, dalam klaim kebenaran agama, superioritas atas dasar kemajuan, gender, orientasi seksual; saling bersaing merebut sumber daya alam, kira-kira baru sekarang ini semua kita sadar, sesungguhnya tidak ada yang paling hebat di dunia ini.

Wabah virus corona membuat semua orang menjadi setara dalam kerapuhan. Ini pelajaran penting, bahwa perlu ada komitmen global untuk mengatasi kerapuhan ini dengan saling bersolidaritas, saling berbagi dan saling memberdayakan. Inilah etika dan kesadaran moral serta spiritualitas kolektif-global yang dapat menyelamatkan kehidupan kita semua di bumi ini. (*)  


Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...