Thursday, July 8, 2021

Ambtenaar dari Batavia

 Ambtenaar dari Batavia

Medio Juni 2021: Seorang ambtenaar dari Batavia, ya Jakarta itu, datang ke daerah koloni, Tanah Minahasa. Salam selamat datang disambutnya sekadar. Tak ada basa-basi - yang sebenarnya, pun seorang yang mulia Gubernur Jenderal perlu melakukan itu - si pegawai hamba birokrasi ini langsung interogasi ini dan itu. Khas seorang dari pusat kekuasaan. Ya, dia datang memang sebagai verifikator.
Lalu, orang Minahasa yang biasa menjamu siapapun dengan makan dan minum, pun kepada dia atau mereka kompeni yang bermaksud menjarah tanah. Belum apa-apa, yang dimintanya lebih dulu adalah ‘tanda’, bahwa dia sudah datang menjalankan tugas, dan itu berarti duit - Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) - Si 'jongos' birokrasi itu yang dibayar oleh uang rakyat.
Lalu, si ambtenaar yang saya pastikan belum pernah membaca 'Max Havelaar"-nya Multatuli, juga Indonesia in den Pacific; Kernproblemen van den Azialistischen-nya Sam Ratu Langie, apalagi sejarah petisi A.L. Waworuntu kepada sang tuan Gubernur Jenderal di Batavia itu – bicara tentang konon pemerintah di Batavia yang lagi memberi perhatian besar terhadap ‘Timur”. Kata si ambtenaar itu, sekarang ini banyak program dan dana yang diarahkan ke Indonesia Timur.
Ah, sungguh romantis. Eh, bukan, maksud saya, sungguh berbau orde baru. Ah, bukan juga itu! Ini malah khas Indonesia, Majapahit modern! Inilah, mungkin produk dari generasi keturuan P4 dengan wawasan nusantara yang diajarkan dengan cara indoktrinasi. Dan, sangat kebetulan sekali, ini sangat berbau kolonial, ya dalam wacana dikotomi ‘Barat’ yang agung dan ‘Timur’ yang kerdil. Ya, wacana modernisme yang dikotomis dan biner, bahwa semua pencerahan, pengetahuan dan harapan kesejahteraan datangnya dari ‘Barat’. Padahal, matahari terbit di Timur.
Lalu, apa itu ‘nasional’ atau malah ‘nasionalisme’ Indonesia jika kopra dari sini, lalu APBN-nya dari sana? Jangan-jangan ‘nasional’ – yang semuanya harus nasional itu: bahasa nasional, busana nasional, pahlawan nasional, dslb – sebenarnya bentuk lain dari hegemoni ‘kesatuan’? Termasuk, yang disebut ‘musuh’ itu, dulu namanya ‘bahaya laten’ mesti dinasionalisasikan agar secara wacana muncul seolah ada musuh yang sama.
Apakah kita punya musuh yang sama? Apakah ada satu bahaya laten untuk semua? Ya, ideologi ‘kesatuan’ mesti ada ‘satu yang tunggal’, meskipun itu entah apa? Supaya peta nusantara ini semuanya menjadi satu yang tunggal. Keragaman mesti disatukan dalam ‘kesatuan’: terpusat, terkontrol dan terseragam.

Kaki Lokon, 17 Juni 2021

No comments :

Post a Comment