Skip to main content

Ambtenaar dari Batavia

 Ambtenaar dari Batavia

Medio Juni 2021: Seorang ambtenaar dari Batavia, ya Jakarta itu, datang ke daerah koloni, Tanah Minahasa. Salam selamat datang disambutnya sekadar. Tak ada basa-basi - yang sebenarnya, pun seorang yang mulia Gubernur Jenderal perlu melakukan itu - si pegawai hamba birokrasi ini langsung interogasi ini dan itu. Khas seorang dari pusat kekuasaan. Ya, dia datang memang sebagai verifikator.
Lalu, orang Minahasa yang biasa menjamu siapapun dengan makan dan minum, pun kepada dia atau mereka kompeni yang bermaksud menjarah tanah. Belum apa-apa, yang dimintanya lebih dulu adalah ‘tanda’, bahwa dia sudah datang menjalankan tugas, dan itu berarti duit - Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) - Si 'jongos' birokrasi itu yang dibayar oleh uang rakyat.
Lalu, si ambtenaar yang saya pastikan belum pernah membaca 'Max Havelaar"-nya Multatuli, juga Indonesia in den Pacific; Kernproblemen van den Azialistischen-nya Sam Ratu Langie, apalagi sejarah petisi A.L. Waworuntu kepada sang tuan Gubernur Jenderal di Batavia itu – bicara tentang konon pemerintah di Batavia yang lagi memberi perhatian besar terhadap ‘Timur”. Kata si ambtenaar itu, sekarang ini banyak program dan dana yang diarahkan ke Indonesia Timur.
Ah, sungguh romantis. Eh, bukan, maksud saya, sungguh berbau orde baru. Ah, bukan juga itu! Ini malah khas Indonesia, Majapahit modern! Inilah, mungkin produk dari generasi keturuan P4 dengan wawasan nusantara yang diajarkan dengan cara indoktrinasi. Dan, sangat kebetulan sekali, ini sangat berbau kolonial, ya dalam wacana dikotomi ‘Barat’ yang agung dan ‘Timur’ yang kerdil. Ya, wacana modernisme yang dikotomis dan biner, bahwa semua pencerahan, pengetahuan dan harapan kesejahteraan datangnya dari ‘Barat’. Padahal, matahari terbit di Timur.
Lalu, apa itu ‘nasional’ atau malah ‘nasionalisme’ Indonesia jika kopra dari sini, lalu APBN-nya dari sana? Jangan-jangan ‘nasional’ – yang semuanya harus nasional itu: bahasa nasional, busana nasional, pahlawan nasional, dslb – sebenarnya bentuk lain dari hegemoni ‘kesatuan’? Termasuk, yang disebut ‘musuh’ itu, dulu namanya ‘bahaya laten’ mesti dinasionalisasikan agar secara wacana muncul seolah ada musuh yang sama.
Apakah kita punya musuh yang sama? Apakah ada satu bahaya laten untuk semua? Ya, ideologi ‘kesatuan’ mesti ada ‘satu yang tunggal’, meskipun itu entah apa? Supaya peta nusantara ini semuanya menjadi satu yang tunggal. Keragaman mesti disatukan dalam ‘kesatuan’: terpusat, terkontrol dan terseragam.

Kaki Lokon, 17 Juni 2021

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...