Monday, July 19, 2021

Kultur Kelelondey, Langowan di Era Budaya Digital



TAHUN 1831, seorang berkebangsaan Jerman, zendeling pada NZG, badan misi yang berpusat di Rotterdam, Johann Gotlieb Schwarz tiba di Manado. Kira-kira baru 10 hari kemudian, dia dan kawannya pasangan Johann Frederik Riedel-Maria Williams, diantar oleh Gerrit Jan Hellendoorn, predikant di Manado, dan Residen Manado menuju ke pegunungan Minahasa. Schwarz rencananya akan menetap di Langowan, Riedel dan istrinya Maria Williams di Tondano.

Tapi, Schwarz tidak langsung tinggal di Langowan. Dia harus kembali lagi ke Manado. Sebab, Schwarz mesti ke Batavia dan Singapura untuk mengambil bantuan, antara lain buku cetak dan peralatan yang nantinya akan digunakan di sekolah yang rencananya segera didirikan.

Buku cetak. Ya, itu teknologi mutakhir waktu itu untuk pendidikan. Ia tentu berkaitan dengan penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada abab ke-15 di Jerman. Mesin cetak, untuk pertama kali didatangkan ke Minahasa beberapa tahun setelah kedatangan Schwarz dan Riedel. Seorang zendeling NZG yang lain, J.A. Mattern diutus untuk mengurus mesin cetak yang dibawa ke Tomohon bersamaan dengan kedatangannya.

Buku cetak, mesin cetak, teknologi mutakhir di Eropa pada abad itu. Buku cetak dengan tulisan huruf Latin sudah ada di Langowan 190 tahun lalu itu. Bisa dibayangkan bagaimana orang-orang Langowan atau Minahasa pada umumnya di masa itu, mungkin dimulai dengan suatu keheranan, lalu setelah itu menjadi bagian dari generasinya berpengetahuan.

Itulah sehingga awal abad ke-20, di Nusantara ini Minahasalah yang tingkat melek hurufnya paling tinggi. Mieke Schouten menyebut kemampuan leluhur Minahasa di masa itu mentransformasi pendidikan para zendeling yang kemudian menjadi kekuatan bagi kaumnya menyatakan sikap terhadap kolonialisme sebagai ‘senjata literasi’.

 

***





Tahun 2021. Langowan, tepatnya di desa Walewangko, di sebuah rumah yang kurang lebih berjarak 1 km dari Gedung Gereja GMIM Sentrum yang di depannya berdiri patung Schwarz, sekelompok orang muda sedang serius mengikuti Sekolah Media Digital yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT). Selama tiga hari (16-18 Juli) mreka belajar tentang riset, advokasi dan teknik membuat video pendek.

Kegiatan ini tentang bagaimana memanfaatkan teknologi termutakhir di abad ini untuk berkebudayaan: literasi digital.

Nama kegiatannya Sekolah, tapi bukan sekolah formal. Model sekolah yang sangat berbeda dengan sekolah ala zendeling abad ke-19 itu.

Kata 'sekolah' sengaja digunakan untuk makna sesungguhnya sekolah itu. Sekolah dari kata Latin 'schola' yang berarti 'istirahat dari kerja' atau 'waktu luang untuk belajar'. Dalam bahasa Yunani ' ditulis 'skhole', yang artinya "waktu luang, waktu istirahat" yang digunakan untuk berpengetahuan.

Ya, inilah sekolah untuk memanfaatkan waktu luang atau belajar dalam suasana tidak formal, tidak kaku dan tidak struktural. Fasilitator sekolah ini Kalfein Wuisan, Filo Karundeng dan Rikson Karundeng. Saya sendiri membagikan materi tentang riset media di awal kegiatan.

Bung Donny Rumagit merelakan rumahnya menjadi tempat belajar selama tiga hari. Istri dan anak-anaknya tampak senang sekali rumah mereka jadi tempat belajar.

Bung Donny Rumagit dalam banyak tulisannya suka memperkenalkan dirinya dengan nama Om Tani. Pas dengan apa yang dia geluti beberapa tahun terakhir ini, bertani (juga beternak). Tapi sebagai seorang mantan wartawan Om Tani ini suka menuliskan pemikiran-pemikiran kritisnya baik di media sosial maupun media online.

Waktu mahasiswa di Fakultas Pertanian, Unsrat, Bung Donny adalah wartawan di majalah Inovasi terbitan lembaga Pers Mahasiswa. Sebuah laporannya di majalah itu yang terbit tahun 1999 berjudul “Jejak-jejak Berdarah”. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi wartawan di beberapa surat kabar. 


Oh, iya Om Tani ini juga dikenal tokoh pemuda gereja yang kritis. Tidak cuma itu, kini Om Tani adalah Ketua Bawaslu Kab. Minahasa. Dan, dialah Om Tani yang memang bergelar Sarjana Pertanian. Komplit sudah, wartawan, sarjana, aktivis, petani, penyelenggara Pemilu.

Itulah sehingga Om Tani ini banyak kali memimpin demo massa petani dan peternak menuntut keadilan kepada para penentu kebijakan. Beberapa waktu terakhir ini dia ikut mengadvokasi para petani di Kelelondey yang lahannya diklaim oleh TNI.

Jadi, pas sekali sekolah media digital ini dilaksanakan di rumah keluarga bung Donny.



Hari terakhir sekolah media digital tempatnya pindah ke kebun miliknya. Marintek nama kebun itu. Kali ini yang hadir lebih banyak. Ada dua sesi kegiatan di sini: Launching tiga film pendek karya peserta sekolah digital dan diskusi bertajuk "Digital Culture dalam Diskurus Kebudayaan Minahasa".

“Sesuatu yang luar biasa, bahwa sore hari ini kita berdiskusi tentang budaya digital di kebun. Begitulah orang-orang Minahasa sejak zaman leluhur. Terbuka dengan teknologi mutakhir namun tetap menyatu dengan sumber kehidupannya,” ujar Greenhill sebagai pemantik diskusi itu.

Kalfein Wuisan, koordinator divisi publikasi PUKKAT yang juga pendiri dan penggerak Smartphone Movement, telah mendesain dan mengkoordinir pelaksanaan ini secara baik. Dia dan Filo telah mendampingi para peserta sampai memproduksi film pendek.




***


Jika 190 tahun lalu misionaris Eropa yang datang memperkenalkan teknologi buku cetak dan literasi kepada orang-orang Langowan (dan sekitarnya), di Langowan itu pula hari ini para generasi milenial Minahasa belajar bersama bagaimana memanfaatkan teknologi digital untuk menyampaikan pesan kehidupan kepada masyarakat dunia.

Tiga film pendek karya peserta sekolah media digital semuanya bercerita tentang kisah para petani di lahan perkebunan Kelelondey.

Nama perkebunan ini diambil dari kata "kele", artinya "sama seperti"; dan "londei" yang artinya "perahu". Jadi "Kelelondey" artinya "sama seperti perahu’. Begitulah orang-orang Langowan menyebut bentuk bentang lahannya.

Di lahan perkebunan itu para petani menanam beberapa jenis tanaman hortikultura. Tanahnya subur berkat abu vulkanik dari letusan gunung Soputan.

Dari cerita para petani di tiga film itu, saya memperoleh suatu pemahaman, bahwa rupanya telah terbentuk kultur Kelelondey yang di dalamnya tentang sejarah, ekonomi, sosial dan banyak hal dalam kehidupan masyarakat di sana. Kultur bertani di Kelelondey adalah tentang kehidupan yang mesti berlanjut.

“Kelelondey adalah sumber kehidupan bagi kami,” kata seorang petani di salah satu film. (**)

 

 

No comments :

Post a Comment