Skip to main content

Kristen Magis menurut Kruyt dan Kristen Kultural

ZENDELING Albertus Christiaan Kruyt yang bertugas di Poso sejak tahun 1892 dalam bukunya Van Heiden Tot Christen terbit tahun 1926 menceritakan mengenai cara orang-orang Poso merayakan dan menghayati Natal. Dari pengamatannya secara partisipatif dia mendapati bahwa perayaan Natal bagi orang-orang Poso agaknya masih dalam penghayatan ritual-ritual agama leluhur mereka. Pohon terang misalnya dimakna secara magis. Lalu, perayaan Natal mesti dilakukan secara komunal yang ditandai dengan pesta-pesta, yaitu kesibukan memasak, makan-makan, saling pesiar, dan pertunjukkan semalam suntuk.

Kruyt menyebut fenomena ini sebagai model Kristen magis. Sebuah model kekristenan yang memahami semua unsur dalam agama Kristen, ibadah, alkitab, tokoh-tokoh di dalamnya, perayaan-perayaan keagamaan memiliki kekuatan magis. Ini, katanya berdasarkan cara berpikir mereka yang memahami semua yang ada di dalam ini mengandung unsur magis.
Namun, seperti cara berpikir orang-orang modern Eropa pada umumnya waktu itu, Kruyt memahami model itu sebagai tahap pertama dalam perkembangan kekristenan. Bahwa, kekristenan mesti berkembang secara bertahap, meningkat menuju ke apa yang dipahami sebagai yang sesungguhnya. Ini khas paradigma modern yang evolusionalistis. Menurut dia, perkembangan selanjutnya akan mengarah ke model Kristen “hukumiah”. Model ini, katanya akan mengganti model Kristen magis tersebut dengan larangan-larangan yang dinggap Kristiani.
Semuanya itu, menurut dia mesti memuncak pada model Kristen Injili atau Kristen etis. Dalam tafsiran J.A.B. Jongeneel, model Kristen Injili ini, justru adalah model Kristen “yang tidak mengimpit iman dan kehidupan susila dalam ritus-ritus (upacara-upacara) atau dalam peraturan-peraturan, tetapi membiarkannya berkembang dengan bebas”.
Kruyt relatif lebih dialogis memahami budaya dengan agama Kristen. Zendeling yang satu ini tampaknya memiliki cara berteologi yang unik. Terhadap cara orang-orang Kristen Poso memahami kekristenan masa itu yang sangat dipengaruhi oleh model berpikir magis, dalam bukunya itu dia menulis begini: “Haruskah kita dengan keras menentang ini sebagai ‘tidak rohani’”? Saya rasa tidak boleh…”
Tapi, cara berpikir Kruyt masih linier, bahwa seperti teori evolusi yang kemudian mempengaruhi penelitian-penelitian agama dan budaya di luar Eropa yang memahami bahwa agama-agama dan peradaban berkembang secara evolusionis dari tingkat paling bawah ke atas, demikian rupanya juga Kruyt memikirkan kekristenan di Poso.
Sebenarnya, apa yang diamati oleh Kruyt di Poso, juga berlaku di Toraja dan di Minahasa. Ini adalah bangsa-bangsa yang kehidupan sosio-kultural-religiusnya dipenuhi dengan ritual-ritual yang adalah juga pesta-pesta. Di Minahasa misalnya, era pasca zendeling rasanya model kekristenan yang dihidupi sulit diukur dengan tipologi Kruyt tersebut. Benar ada model-model itu, tapi rasanya Kruyt melupakan satu hal, yaitu kosmologi orang-orang di tempat itu yan
g mengutamakan keseimbangan daripada perkembangan secara linier.
Kekristenan di Minahasa, jika dihitung sejak kedatangan Riedel dan Schwarz, usianya hampir dua abad. Akhir abad ke-19, hampir seluruhnya orang Minahasa sudah Kristen. Perayaan Natal sudah diperkenalkan sejak Riedel dan Schwarz datang. Artinya, mestinya kekristenan di Minahasa sekarang ini, mengikuti cara berpikir Kruyt yang evolusionistis itu, sudah mengganti praktek maupun cara berpikir religi tua. Tapi, faktanya tidak. Dan, saya rasa tidak pernah akan bisa!
Hari Natal dan Tahun Baru bagi orang-orang Minahasa adalah pesta. Ada kenikmatan baik secara sosial tapi juga secara kultural dan spiritual sepanjang bulan Desember dan bahkana berlanjut hingga Januari.
Mengapa? Apakah ini gejala sekularisme? Materialisme? Konsumerisme? Saya rasa kita terlalu terburu-buru jika mengatakan, perayaan Natal dan Tahun baru yang ditandai kemeriahan, pesta keluarga dan komunitas itu sebagai akibat hal-hal tersebut.
Ini yang tidak dipikirkan oleh Kruyt. Bahwa, bagaimanapun kekristenan tidak akan pernah menjadi suatu kebudayaan tunggal lalu kemudian mesti diusahkan untuk mengganti seluruh budaya lama. Sebab, pada akhirnya yang terjadi adalah negosiasi dan dialog secara terus menerus antara keduanya sehingga prosesnya tidak terjadi secara linier.
Perayaan Natal dan Tahun Baru sebagai pesta komunitas, itulah model Kristen kultural. Itulah cara orang-orang Minahasa menegosiasikan sistem religi-kulturalnya dengan kekristenan Eropa. Ritual-ritual dan kosmologi agama lama lalu kemudian direkonstruksi dalam perjumpaannya dengan kekristenan maka lahirlah model kekristenan yang unik dank khas: Kristen kultural.
Kristen kultural bukan model Kristen magis, bukan pula Kristen hukumiah, namun ia adalah hibridasi dari perjumpaan antara sistem religi leluhur Minahasa dengan kekristenan yang kemudian diiterpretasi dan dikonstruksi dalam kehidupan sosial-budaya di lokus setempat. Inilah model Kristen penemuan orang-orang Minahasa dalam sejarahnya. (dennipinontoan, 09/12/2021)

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...