Tuesday, January 11, 2022

Tradisi "(Ma)Wolay": Satu Nama, Dua Bentuk

 


Setiap bulan Januari, terutama pada hari Minggu pertama, dst dalam perayaan Kuncikan, di Desa Tondey dan Poopo, Minahasa Selatan ada yang khas dan unik. Di Tondei, sekelompok orang masing-masing memakai kostum hitam yang yang terbuat dari ijuk enau (gomutu seho) meniru hewan yaki berjalan mengelilingi kampung. Berbeda di Desa Poopo, beberapa orang memakai topeng besar menutupi tubuh yang terbuat dari pangkal pelepah daun pohon tewasen (pohon rumbia) berparade di jalan.

Bentuk penampilan keduanya berbeda, tapi sebutannya sama: "Wolay" atau "Mawolay". "Wolay" adalah kata Minahasa untuk menyebut hewan "yaki", monyet hitam Sulawesi (macaca nigra). Sebetulnya di desa Tondei yang memang tampaknya meniru langsung penampakkan "wolay". "Wolay" di Poopo lebih tampak topeng dengan lukisan warna-warni. Sekarang ini, tradisi "wolay" adalah pertunjukkan khas kuncikan yang menghibur warga setempat dan tamu yang menikmati suasana tahun baru.

Ada pendapat yang mengatakan, terutama di Desa Poopo, dalam sejarah wanua ini tradisi wolay berkaitan upaya untuk menakuti kawanan yaki atau wolay serta babi hutan yang menyerang perkebunan warga. Pendapat lain, dan ini versi Tondey, tradisi ini berkaitan dengan warisan ingatan tentang perburuan yaki sebagai mata pencaharian. Meski narasinya berbeda tapi menunjuk pada hal yang sama, yaitu kaitan dengan tou (manusia), yaki, uma (lahan perkebunan) dan talun (hutan) yang tidak lagi berada dalam relasi yang harmoni.

Namun, dalam arti lain "mawolay" sebenarnya adalah ungkapan untuk menunjuk pada proses menggosok wajah atau seluruh bagian kulit dengan arang sehingga terlihat seperti wolay. "Wolay" adalah ungkapan untuk menyebut orang yang wajahnya terkena arang hitam. Misalnya dalam perkataan, "Wolayano namomu" (wajahmu sudah hitam karena arang). "Kele wolay sia" (Dia sudah seperti yaki)", ungkapan ini untuk menyebut orang yang entah sengaja atau tidak sengaja terkena arang.

Paul Richard Renwarin, seorang pastor dan doktor di bidang atropologi dalam bukunya "Matuari wo Tonaas" menyebut ada sebuah ritual di Minahasa masa lalu yang berkaitan dengan pembersihan kampung dari wabah, atau untuk mengusir "se sakit" agar ketika memasuki suatu siklus baru masyarakat di wanua setempat dapat dihindari dari sakit penyakit atau kegagalan. Para pelaku ritual menggosokan seluruh bagian tubuhnya dengan arang hitam, bukan untuk meniru yaki/wolay tapi maksudnya untuk mengelabui roh-roh "se sakit" dalam proses mengantar kembali ke tempat mereka. 

Ini mungkin gagasannya sama dengan apa yang masih terwariskan dalam ingatan orang-orang di Poopo dan Tondei hingga kini, yaitu tentang ruang dan sumber kehidupan "se tou" mengalami gangguan karena relasi yang tidak lagi harmoni itu.

Dalam pewarisan dari generasi ke generasi tradisi mengalami reinterpretasi, rekonstruksi dan penghadiran kembali dalam bentuk yang kontekstual. Pada akhirnya, "wolay" yang mulanya adalah ungkapan dalam sebuah ritual telah ditafsir dan dipahami sebagai cara meniru "wolay" sesungguhnya. Itulah sehingga tradisi yang memiliki nama yang sama, yaitu "wolay" atau "mawolay" tapi sebagai pertunjukkan (bukan lagi ritual) bentuk penampilan di Tondey dan Poopo berbeda.(*)



No comments :

Post a Comment