Skip to main content

Tradisi "(Ma)Wolay": Satu Nama, Dua Bentuk

 


Setiap bulan Januari, terutama pada hari Minggu pertama, dst dalam perayaan Kuncikan, di Desa Tondey dan Poopo, Minahasa Selatan ada yang khas dan unik. Di Tondei, sekelompok orang masing-masing memakai kostum hitam yang yang terbuat dari ijuk enau (gomutu seho) meniru hewan yaki berjalan mengelilingi kampung. Berbeda di Desa Poopo, beberapa orang memakai topeng besar menutupi tubuh yang terbuat dari pangkal pelepah daun pohon tewasen (pohon rumbia) berparade di jalan.

Bentuk penampilan keduanya berbeda, tapi sebutannya sama: "Wolay" atau "Mawolay". "Wolay" adalah kata Minahasa untuk menyebut hewan "yaki", monyet hitam Sulawesi (macaca nigra). Sebetulnya di desa Tondei yang memang tampaknya meniru langsung penampakkan "wolay". "Wolay" di Poopo lebih tampak topeng dengan lukisan warna-warni. Sekarang ini, tradisi "wolay" adalah pertunjukkan khas kuncikan yang menghibur warga setempat dan tamu yang menikmati suasana tahun baru.

Ada pendapat yang mengatakan, terutama di Desa Poopo, dalam sejarah wanua ini tradisi wolay berkaitan upaya untuk menakuti kawanan yaki atau wolay serta babi hutan yang menyerang perkebunan warga. Pendapat lain, dan ini versi Tondey, tradisi ini berkaitan dengan warisan ingatan tentang perburuan yaki sebagai mata pencaharian. Meski narasinya berbeda tapi menunjuk pada hal yang sama, yaitu kaitan dengan tou (manusia), yaki, uma (lahan perkebunan) dan talun (hutan) yang tidak lagi berada dalam relasi yang harmoni.

Namun, dalam arti lain "mawolay" sebenarnya adalah ungkapan untuk menunjuk pada proses menggosok wajah atau seluruh bagian kulit dengan arang sehingga terlihat seperti wolay. "Wolay" adalah ungkapan untuk menyebut orang yang wajahnya terkena arang hitam. Misalnya dalam perkataan, "Wolayano namomu" (wajahmu sudah hitam karena arang). "Kele wolay sia" (Dia sudah seperti yaki)", ungkapan ini untuk menyebut orang yang entah sengaja atau tidak sengaja terkena arang.

Paul Richard Renwarin, seorang pastor dan doktor di bidang atropologi dalam bukunya "Matuari wo Tonaas" menyebut ada sebuah ritual di Minahasa masa lalu yang berkaitan dengan pembersihan kampung dari wabah, atau untuk mengusir "se sakit" agar ketika memasuki suatu siklus baru masyarakat di wanua setempat dapat dihindari dari sakit penyakit atau kegagalan. Para pelaku ritual menggosokan seluruh bagian tubuhnya dengan arang hitam, bukan untuk meniru yaki/wolay tapi maksudnya untuk mengelabui roh-roh "se sakit" dalam proses mengantar kembali ke tempat mereka. 

Ini mungkin gagasannya sama dengan apa yang masih terwariskan dalam ingatan orang-orang di Poopo dan Tondei hingga kini, yaitu tentang ruang dan sumber kehidupan "se tou" mengalami gangguan karena relasi yang tidak lagi harmoni itu.

Dalam pewarisan dari generasi ke generasi tradisi mengalami reinterpretasi, rekonstruksi dan penghadiran kembali dalam bentuk yang kontekstual. Pada akhirnya, "wolay" yang mulanya adalah ungkapan dalam sebuah ritual telah ditafsir dan dipahami sebagai cara meniru "wolay" sesungguhnya. Itulah sehingga tradisi yang memiliki nama yang sama, yaitu "wolay" atau "mawolay" tapi sebagai pertunjukkan (bukan lagi ritual) bentuk penampilan di Tondey dan Poopo berbeda.(*)



Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...