Skip to main content

Dirk dan Dirke (sebuah cerpen)

 


"Anda siapa. Tiba-tiba duduk di sini?" Tanya Dirk.

 "Aku, Dirke. Aku adalah Anda," kata Dirke.

 "Kalau Anda cuma mau basa-basi, maaf aku sedang ingin sendiri."

 "Ah, tidaklah. Saya datang untuk berbicara dengan Anda," balas Dirke.

 "Tapi, saya tidak kenal Anda. Ok. Kalau Anda mau kopi, pesan saja nanti saya bayar. Tapi, mohon Anda cari meja lain," kata Dirk.

"Tidak. Aku hanya ingin berbicara dengan Anda. Aku adalah Anda."

"Aduh! Sungguh saya tidak paham. Kalau begitu, saya saja yang ke meja lain."

"Nama Anda Dirk. Lahir tanggal 15 April tahun 1980. Kamu adalah seorang eksekutif muda. Lagi sakit hati lantaran Merke, kekasih hati Anda baru saja dilamar anak Direktur Anda."

"Anda agen yang sedang mematai-matai saya, ya. Siapa yang menyuruh Anda? Apa misi Anda?"

"Ah, Anda sangat terpengaruh Conan. Aku juga suka film kartun itu. Aku tahu siapa Anda seluruhnya, karena Anda adalah aku,"

Baru sekitar 15 menit Dirk di kedai kopi itu tiba-tiba seorang laki-laki yang menyebut namanya Dirke datang ke situ. Tanpa permisi, laki-laki itu duduk berhadapan dengannya. Kedai kopi itu memang sedang tak ramai. Ini yang dicari Dirk. Tapi, kehadiran Dirke bikin dia jadi gerah.

Dirk kemudian bersiap untuk meninggalkan orang itu.

"Dirk, baiknya lupakan rencana jahatmu itu," kata Dirke.

Dirk menatap Dirke. Dia duduk kembali. Penasaran

"Rencana jahat? Siapa sesungguhnya Anda ini? Anda mau memeras saya dengan hoaks murahan, ya?"

"Karena sakit hatimu itu, maka Anda sedang berpikir menghabisi Direkturmu itu dengan memberinya racun, kan?"

Dirk makin penasaran. Beberapa menit sebelum kedatangan Dirke, ia memang sedang berpikir untuk menghabisi direkturnya itu, persis seperi yang Dirke baru katakan.

"Kamu punya ilmu membaca pikiran orang, ya?"

"Nah, benarkan. Anda sedang menyusun rencana jahat" tegas Dirke.

"Anda jangan memaksa saya, ya untuk bertindak mengusir Anda dari tempat ini!" Dirk berkata marah.

"Dirk, kamu tidak dapat mengusir aku. Aku adalah kamu," kata Dirke tenang.

Dirk merasa sedang mengalami halusinasi. Dia mencubit pipinya. Terasa. Dia menampar pipinya. Sakit.

"Dirke, aku tidak kenal Anda! Pergi dari sini!" Bentak Dirk.

"Dirk, kamu hanya memanfaatkan aku di medsos. Menggunakan pribadiku untuk mengatakan kau manusia sempurna. Aku kau gunakan ketika menulis status di Facebook dengan ayat-ayat kitab suci. Tapi, ketika aku datang menegurmu agar tidak menjadi jahat, kau menolak aku. Itu sama sama dengan engkau menolak dirimu sendiri," Dirke berkata panjang lebar.

"Status di medsos? Ayat-ayat kitab suci?" Dirk bergumam.

Dirk tertekan. Emosional.

"Aku tidak punya saudara kembar. Aku adalah aku!"

Dirk berkata tegas sambil mengambil posisi berdiri untuk pergi dari meja itu.

"Tunggu. Jangan ke mana-mana, Dirk. Anda harus sadar. Kita adalah manusia yang sedang terpecah-pecah. Manusia bermuka banyak. Aku adalah kamu yang tidak pernah kau sadari."

"Aku tidak pernah punya diri yang lain," kata Dirk dengan suara agak keras.

Beberapa pengunjung di kedai itu terkejut. Mereka memandang Dirk yang sedang berdiri dengan tatapan tajam ke arah Dirke. Dirk seketika sadar dia sedang diperhatikan beberapa orang di situ. Dirk lalu diam dan duduk lagi.

"Dirk, ini memang sesuatu yang aneh. Kita sedang menjadi manusia dalam lipatan realitas. Kita hidup dalam salinan-salinan diri. Aku adalah kau," jelas Dirke.

"Ah omong kosong. Itu hanya hanya ada di film-film fiksi. Aku tetap adalah aku," balas Dirk dengan suara agak pelan tapi kentara menahan amarah.

"Iya. Dirk adalah satu. Tapi, engkau tidak bisa menghindar dari realitas berlipat-lipat ini. Coba kau pikirkan. Pada saat engkau memikirkan kejahatan sambil itu menulis status di Facebookmu tentang kata-kata rohani mengenai kebaikan. Mana sesungguhnya Dirk pada momen itu?"

Dirk tidak langsung menjawab. Spontan dia menghidupkan hp dan membuka akun Facebooknya. Di linimasa situs ejaring sosialnya itu beberapa hari terakhir ini dipenuhi dengan kutipan ayat-ayat kitab suci dan motivasi kehidupan. Tampak wajahnya memikirkan sesuatu secara serius.

"Siapa Dirk? Siapa aku?" Tanya Dirk dalam hati.

Entah apa yang menggerakan Dirk tiba-tiba dia kemudian memikirkan lagi siapa dirinya. Seorang yang terlahir dari keluarga tak bermasalah secara ekonomi, pendidikan, juga kerohanian. Lahir di sebuah desa yang orang-orangnya terhubungan secara kekerabatan. Namun, ketika beranjak pemuda datang ke kota yang sibuk ini dengan segala dinamika yang serba material. Menjadi mahasiswa berpretasi dan tak pernah pusing dengan ribut-ribut politik negara. Selesai kuliah langsung bekerja di sebuah perusahaan ternama. Menjadi seorang eksekutif muda dengan pujian tak henti-hentinya dari sang bos.

“Dirk, itulah kamu. Itulah aku. Tapi, itu yang saya bilang tadi. Anda ini hanya menggunakan aku untuk membangun citra saleh di dunia virtual. Di dunia nyata, sayang engkau sedang berubah menjadi seorang yang merencanakan kejahatan,” kata Dirke memecah permenungan Dirk.

Dirk menatap Dirke. Tapi, kali ini agak tenang wajahnya.

“Tapi, hingga detik ini saya belum mengerti apa yang sedang terjadi ini. Siapa kau? Lalu, mengapa kau Dirke, menyebut adalah juga aku, Dirk?” Kata Dirk.

“Aku juga bingung. Mengapa kita sedang menjadi pribadi yang terpecah-pecah. Tapi, saya harus bilang realitas yang sedang terlipat-lipat ini menghasilkan Dirk dan Dirke sebagai salinan-salinan diri,” ungkap Dirke.

“Ah, maaf. Siapapun Anda, apapun yang Anda katakan, saya masih bingung dengan pertemuan ini. Maaf, saya belum bisa mengenali Anda,” tandas Dirk.

Secangkir kopi hitam di meja sudah habis diminum Dirk. Pengunjung kedai tampaknya tak bertambah. Deru mesin mobil lalu-lalang di jalan. Dirke tiba-tiba menghilang saat Dirk memanggil pelayan kedai untuk membayar kopi hitamnya. Dirk tampak tak terkejut dengan raibnya Dirke. Sebelum keluar dari kedai itu, Dirk menghidupkan hp-nya. Tampak dia menulis sesuatu di akun facebook miliknya:

Aku ingin pulang, tapi jalannya tak aku kenali lagi 

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...