Skip to main content

DUA PEREMPUAN PADA SEBUAH MAKAM

(Sebuah cerpen Denni Pinontoan)

"Tanggal 25 Oktober 1965," seorang perempuan mengeja angka-angka yang tertulis di batu nisan pada sebuah makam.
"Iya. Waktu itu kau baru berusia 6 bulan," balas seorang perempuan yang lain.
Dua perempuan berziarah ke sebuah makam di lokasi pekuburan tua. Itu makam Yantje. Ia adalah papa dari Nelly, perempuan yang mengeja angka-angka di batu nisan itu. Ia bersama ibunya, Elisabet.
Sejak pergi ke Bandung 57 tahun lalu, ini pertama kali Nelly melihat makam papanya. Tak lama setelah sang papa meninggal, Nelly dibawa tantenya ke Bandung. Ibunya memang sengaja Nelly dibawa keluar dari kampung itu. Kini Elizabet sudah sangat uzur. Usianya kira-kira 85 tahun.
Nelly adalah anak satu-satunya Elizabet. Ketika suaminya mangkat, ia memang sangat terpukul. Cintanya kepada Yantje sungguh tak terkira besarnya. Itulah sehingga ia rela menjanda hingga kini. Demikian pula sayangnya kepada Nelly. Ia tak mau anaknya itu hidupnya susah karena kebencian warga kampung.
Sebelum era internet, selama bertahun-tahun mereka berhubungan hanya melalui saling kirim surat. Nelly mengenal wajah mama dan papanya melalui foto. Elizabet memang ingin Nelly tidak tinggal menetap di kampung. Meskipun ia selalu rindu anaknya.
"Itulah sehingga mama lebih suka kau tidak tinggal di sini," kata Elizabet kepada Nelly yang bertanya mengapa papanya meninggal ketika ia masih bayi.
"Mengapa, ma"?
"Mama rasa sudah waktunya menceritakan semua. Kau sudah dewasa," kata Elizabet.
"Ceritakanlah, ma."
Dua perempuan itu hanyut dalam suasana. Sudah lama Elizabet menunggu kesempatan ini. Tapi, ia sengaja selalu menunda kesempatan itu. Sebetulnya mudah saja baginya untuk bisa bersama seperti ini. Beberapa kali Nelly mengirim surat mengutarakan niatnya untuk pulang kampung. Namun, Elizabet selalu mencari alasan agar Nelly tidak perlu datang. Sebelum hari ini, Elizabet belum menemukan keberanian dan terutama kelapangan hati untuk merelakan kepedihan pergi dari hidupnya.
"Papamu tewas dibunuh…" Suara Elizabet sangat berat mengeluarkan kata-kata itu.
"Apa? Bukankah papa meninggal karena sakit seperti yang mama bilang dulu?"
"Maafkan mamamu, Nelly."
Nelly menatap batu nisan itu dengan suatu kesedihan. Matanya tampak basah. Elizabet memandang anaknya dengan sedih tapi tampak suatu kelegaan.
"Dibunuh?" Nelly berkata dengan suara pelan.
Elizabet tak langsung menjawab. Ia diam. Tampak ia menatap ke sekitar makam suaminya. Lokasi pekuburan itu tampak bersih. Sudah menjadi tradisi setiap bulan Desember, lokasi pekuburan ini dibersihkan oleh warga kampung. Malam Natal dan jelang pergantian tahun, sore hingga malam orang-orang kampung datang ziarah ke makam anggota keluarga.
Elizabet dan Nelly datang lebih awal supaya ada waktu cukup bagi mereka di makam itu. Dan, Elizabet sudah mengira sebelumnya bahwa kisah menyakitkan 57 tahun lalu akan menghampirinya lagi. Tapi, demi suatu kejujuran, dan bagi Elizabet ini cara baginya untuk membebaskan diri dari beban masa lalu, maka ia harus siap untuk itu.
Elizabet menghela nafas panjang, lalu setelah itu berkata, "Iya. Papamu dibunuh."
Nelly menatap mamanya. Ia justru merasa kasihan melihat mamanya yang sudah sangat uzur itu bersedih.
"Karena papamu dituduh terlibat, sekelompok orang yang tak suka dengannya membunuh dia di kebun tak jauh dari pekuburan ini," Elizabet melanjutkan.
"Terlibat?" Nelly bertanya.
"Iya."
Nelly tampaknya sudah mengerti. Ia pernah mendengar dan paham dengan istilah itu. Tapi, ia tak pernah menduga bahwa tragedi itu menjadi bagian dari dirinya.
"Aku paham, ma."
"Bagus, kau paham."
"Tapi, apa benar, ma?"
"Engkau tahu, bukan. Ada masa yang panjang di negara kita ini, orang-orang tak butuh bukti untuk menyatakan kebenaran atau kesalahan," Elizabet berkata dengan nada yang tampak lebih tegar.
"Siapa mereka, ma? Para pembunuh itu"?
"Nelly, ini sudah sangat sore. Baiknya kita segera pulang. Kau tahu, mata mama tak lagi dapat melihat dengan jelas. Maklum sudah tua."
"Iya, ma."
***
Gedung gereja hampir penuh. Elizabet dan Nelly sudah lebih dulu datang. Mereka duduk di deretan kursi kedua dari depan. Pagi ini terasa berbeda. Hari Natal pertama membuat orang-orang tampak bersemangat. Ini kali pertama Nelly beribadah di gedung gereja itu. Tapi, bagi ibunya justru gedung gereja itu telah menjadi ruang baginya selama kurang lebih 50 tahun untuk berjuang bebas dari kepedihan hidup.
Ibadah akan segera dimulai. Majelis gereja tampak telah duduk di deretan kursi sebelah kanan dan kiri mimbar. Seorang yang mengenakan toga dan stola berdiri di mimbar siap memimpin ibadah. Lalu seorang laki-laki, usianya mungkin 50an tahun, salah seorang majelis gereja berdiri di mimbar kecil untuk menyampaikan sesuatu.
Elizabet yang sebelumnya menghadap ke depan, tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arah lain lalu menunduk tapi tidak untuk berdoa. Setelah itu ia menegakkan lagi kepalanya menghadap ke depan, menyimak penyampaian si laki-laki di mimbar kecil itu. Sesekali ia menghela nafas. Elizabet rupanya sedang berjuang secara batin dengan suasana yang membebaninya itu.
"Ma, siapa mereka yang telah membunuh papa? Apakah mereka orang di kampung kita ini? Apakah anak atau cucu mereka masih ada yang hidup?" Tanya Nelly berbisik.
"Nelly, hal yang menyakitkan di masa lalu kita tidak akan pernah dapat disembuhkan dengan membuat luka baru," kata Elizabet pelan sambil menatap anaknya dengan penuh cinta.
"Iya, ma. Aku mengerti."
"Biarlah mereka hidup tanpa harus terbeban dengan masa lalu itu. Agar kitapun dapat menikmati hidup dengan tanpa beban. Mama mungkin tak lama lagi menikmati hidup ini. Kau dan keluargamu masih akan melanjutkan kehidupan," ujar Elizabet.
Suasana hening beberapa saat. Lalu sebuah kidung rohani menggema di dalam gedung gereja itu. Elizabet dan Nelly ikut menyanyi. Wajah mereka terlihat sangat damai.

------------------
Kuranga, 15 Desember 2022

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...