Dibuat dengan AI (big.com) |
RASA dari suatu masakan adalah juga bagian dari kebudayaan suatu komunitas. Rasa punya sejarah dan konteks sosialnya. Suatu masa, leluhur kita menemukan cara agar makan makin nikmat, bukan karena hanya rasa asin, manis, asam, tapi juga pedas. Pada buah cabai mereka menemukan ada rasa pedas itu.
Orang-orang Minahasa menyebut cabai dengan kata rica. Oma saya menyebutnya marisa. Kata yang terakhir itu rupanya salah satu kata dalam bahasa Tontemboan.
Rica adalah buah atau juga bumbu yang menghasilkan rasa pedas atau orang Manado mengejanya, pidis. Kandungan bahan kimia capsaicin pada rica yang menimbulkan rasa pidis itu.
Bagi orang-orang Minahasa, rica memang pertama-tama terkait dengan urusan masak-memasak. Itulah yang bikin kuliner Minahasa didominasi oleh rasa pidis. Lalu, urusan masak-masak yang berpusat di dapur adalah salah satu hal penting dalam acara makan-makan. Tidak ada pertemuan di Minahasa tanpa makan-makan.
Ini jadi cara orang-orang Minahasa memelihara relasi sosialnya. Ada banyak pertemuan di sini. Baik yang hanya dihadiri oleh keluarga besar, maupun oleh komunitas yang lebih luas. Ada banyak alasan untuk bikin pertemuan, entah karena peristiwa suka, ataupun duka. Jadilah rica bagian dari kebudayaan Minahasa.
“Ketika harga rica melonjak naik, itu jadi persoalan bagi orang-orang Minahasa yang setiap minggu pasti ada pesta,” kataku kepada, Moh. Final Daeng, wartawan Kompas.
Final mendapat tugas untuk membuat liputan tentang salah satu olahan dari rica.
“Kan, katanya ada berapa jenis olahan sambal di sini,” katanya kepadaku.
Berapa menit yang lalu, Final mengontakku minta bertemu untuk wawancara tentang tradisi makan olahan menu yang pedas, dan tentu maksudnya semua yang berkaitan dengan rica.
“Ya. Yang dibilang sambal, itu yang kami di sini, di Manado, Minahasa atau Sulawesi Utara umumnya bilang dabu-dabu,” kataku membalas.
Final sudah beberapa hari di Manado. Dia menginap di salah satu di kawasan Mega Mas. Pas di siang itu, aku lagi berada di Megamall. Kami bersepakat bakudapa di Kopi Billy.
Meski belum terlalu siang, tapi rumah kopi ini sudah dipenuhi oleh pengunjung. Beberapa mobil terparkir di depan bangunan dua lantai itu. Final sudah menunggu di situ sekitar 10 menit.
“Asal Makassar, ya? Soalnya Daeng,” kataku.
“Orang tua. Tapi saya besarnya di Jogja,” jawab Final.
Menurut Final, selain di Minahasa, Kompas juga menugaskan wartawannya di beberapa daerah lain yang dikenal memiliki tradisi kuliner yang pedas. Tapi, katanya Minahasa memang yang paling dikenal orang-orangnya penyuka masakan pedas.
Di meja kami tempat bacirita sudah tersaji kopi hitam, kopi susu, pisang goroho goreng, dan sudah pasti dabu-dabu roa.
Aku bilang ke Final, dabu-dabu itu ada macam-macam. Di pegunungan Minahasa, seingatku selain dabu-dabu roa, ada juga dabu-dabu yang diolah dengan ikan terik atau bahkan ikan asin.
“Dabu-dabu roa yang umum, ikannya digoreng. Tapi kalau dulu, kita di kampung Minahasa, ikan terik atau ikan asin dibakar,” kataku padanya.
Dabu-dabu mesti ada rasa mentahnya. Orang-orang Minahasa kalau minum kopi atau teh, pasangannya “pisang goreng”, entah pisang goroho atau sepatu, ubi dan singkong rebus, makin enak kalau ada dabu-dabu. Apalagi kalau makan tinutuan, tidak lengkap kalau tanpa dabu-dabu.
“Boleh dibilang, dabu-dabu itu membuat acara bacirita makin seru,” kataku.
Beda dengan jenis masakan “babi rica-rica”, “ayam rica-rica”, “cakalang saus”, apalagi “tinoransak”, “RW”, “kawok”, “babi utang leilem”, dan banyak varian yang lain. Jenis-jenis masakan itu untuk makan berat.
Rica memang telah menjadi bagian dari kehidupan sosial Minahasa. Tapi, daerah ini bukan sentra penghasil rica. Orang-orang Minahasa adalah konsumen yang loyal. Ada yang menanam rica di kebun-kebun, tapi jumlah yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam daerah.
Rica kemudian jadi komoditi. Ia bagian dari sistem ekonomi. Ada rantai distribusinya yang melewati jalur-jalur sosial, ekonomi dan sudah tentu budaya. Rica didatangkan dari Gorontalo. Itulah sehingga muncul istilah “rica Gorontalo” untuk menyebut jenis cabai rawit. Rica kemudian dijual kepada konsumen di pasar-pasar tradisional dan modern di Manado dan pegunungan Minahasa.
Semua yang dibutuhkan untuk disajikan pada meja panjang bangsal pesta dan duka keluarga-keluarga dan komunitas Minahasa melewati jalur-jalur distribusi ekonomi. Ada hukum ekonomi berlaku di sana, politik dagang dan rupa-rupa soal lainnya. Ada banyak cerita yang tentu tidak sesedap ketika semua itu telah diolah menjadi masakan yang nikmat di lidah.
Sering terdengar keluhan dari petani Minahasa yang menanam rica sambil menunggu panen cengkeh atau kelapa. “Adoh pe soe. Pas tre so merah-merah tu rica, depe harga so turung.”
Apa boleh buat. Kita punya lahan, punya tenaga, bibit rica tinggal dibeli, tapi ada kuasa tertentu yang mengatur harga pasar. Bukan cuma rica, demikian juga dengan cengkeh, kelapa, atau juga daging babi. Beginilah yang terjadi: menjadi produsen tidak berdaya, menjadi konsumen diperdaya.
Final, si wartawan itu tampak semakin antusias mendengar ceritaku tentang rica dalam kehidupan sosial orang-orang Minahasa. Sesekali dia mencecah pisang goroho dengan dabu-dabu roa. Saya ikut mencoba rasa dabu-dabu roa itu, tapi rasa pidis hampir tidak terasa sama sekali. Saya duga Final merasakan juga hal yang sama.
Pada akhirnya, ketika rica telah menjadi bagian dari ekonomi ala “B on B” atau Boulevard on Business, rasanya pun mesti disesuikan. Meski sudah jauh dari aslinya, tapi ketika dikemas sedemikian rupa, dipromosikan secara massif, jadilah sesuatu yang etnik sebagai yang eksotik bernilai rupiah. “B on B” adalah nama brand yang diberikan pemerintah kota ketika menjadikan kawasan pesisir pantai ini sebagai pusat perdagangan modern.
Saya duga, demikian juga sebenarnya dengan citra yang selama ini dikenakan kepada orang-orang Manado atau Minahasa sebagai penyuka rica yang pedes. Bahwa, sesungguhnya mungkin tidak lagi demikian adanya. Apalagi sedang muncul generasi Z dan generasi Alpha yang mungkin lebih suka dengan yang manis-manis. Sementara generasi X dan generasi milenial, sudah semakin sering mengeluh sakit maag dan asam lambung. Jadinya, citra rica bagi orang-orang Minahasa lebih sebagai wacana tentang yang eksotik, dan tentang konsumen yang loyal.(***)
Comments
Post a Comment