Skip to main content

Mariara

Ongkaw, sebuah negeri pesisir di Afdeling Amurang, Minahasa bagian selatan pada suatu sore di tahun 1899.
Zakarias Lapian, seorang penolong di negeri itu berkunjung ke rumah ‘tuang pandita’ J. Boddé. Rumah yang didiami tuang pandita adalah rumah panggung. Waktu itu dia berada di teras rumah ketika menyambut penolong Lapian yang sedang menaiki tangga rumah.
“Tabe tuan!” Lapian memberi salam.
“Tabe pénulung!" pandita Boddé membalasnya. “Apakah Anda datang untuk memberi tahu saya sesuatu yang baru? "
"Ya,"katanya. "Seorang pria telah ditembak di Poigar."
“Apakah sudah diberitahukan ke Amurang tentang kejahatan itu?" Tanya Boddé.
Sang penolong lalu menjawab, “Tuan Jellesma telah menyelidiki siapa pelakunya, tetapi tidak berhasil, tidak ditemukan."
“Sekarang itu tidak mengejutkanku," kata pandita Boddé. “Pelaku tidak akan pernah ditemukan."
“Tuan," Lapian menambahkan dengan tatapan serius. “Yang terbunuh adalah seorang Kristen. Salah satu dari yang baru saja tuan baptis. Dia terbunuh oleh peluru."
“Apa kau juga tahu mengapa dia dibunuh? " Tanya pandita Boddé.
“Dia berdarah," kata Lapian.
Beberapa waktu sebelumnya pandita Boddé pergi ke Poigar. Dari Ongkaw ke Poigar dia menumpang sebuah perahu. Dia tiba di Poigar pada Jumat sore. Pada hari Sabtu pagi dia pergi ke sekolah di situ. Sekolah ini dipimpin oleh seorang guru Minahasa bernama Ismail Lampus. Sebelumnya guru di situ adalah saudaranya, Ferdinand Lampus.
Dalam kungjungan itu, seperti biasa, selepas dari sekolah, pandita Boddé melakukan kunjungan ke rumah-rumah orang Kristen.
Dalam kunjungan itu ia melakukan pengajaran agama Kristen. Salah satu pokok yang diajarkannya adalah tentang “Sepuluh Perintah”.
Oleh karena pandita Boddé tidak bisa berbahasa Minahasa, dan orang-orang di situ hanya tahu sediki bahasa Melayu, maka sang guru Lampus menjadi penerjemah.
“Apa perintah keenam,” tanya pandita Boddé kepada mereka.
Seorang perempuan di situ menjawab, “Jangan engkau meracuni."
Pandita Boddé bingung. Dia lalu bertanya kepada guru Lampus,
“Apakah engkau mengajari mereka cara menjawab seperti ini?”
“Tidak."
“Lalu mengapa perempuan itu menjawab dengan ‘racun’, dan tidak dengan ‘membunuh’”?
"Untuk ini dia tidak mengatakan apa-apa, selain karena ketakutan sebagai seorang manusia,” jawab guru Lampus.
Pandita Boddé lalu mengalihkan pandangannya ke perempuan yang menjawab itu dan berkata, “Kamu benar. Tuhan melarang kita untuk mengambil kehidupan orang lain dengan racun. Tapi bukan hanya melalui racun. Tentu saja Tuhan melarang kita untuk membunuh sesama manusia atau tetangga kita, terlepas dari bagaimana kita melakukan itu."
Guru Lapian lalu menceritakan kepada pandita Boddé tentang pria yang terbunuh tersebut. Menurut keterangannya, bahwa si pria itu dikenal oleh masyarakat sebagai mariara, orang yang memiliki pengetahuan tertentu untuk ‘meracuni’ orang lain.
Mendengar cerita guru Lapian, barulah pandita Boddé mengerti tentang jawaban perempuan di Poigar itu.
“Tampaknya dia bermaksud menunjuk orang ini sebagai orang yang tidak layak dibaptis; mungkin ingin memberitahukannya kepada saya sedemikian rupa sehingga saya tidak harus membaptisnya,” batin pandita Boddé.
Lapian juga pandita Boddé, bahwa pria yang terbunuh tersebut dulunya tinggal di negeri lain sebelum ke Poigar. Di negeri itu dia dikenal sebagai ‘iblis’ sehingga orang-orang takut kepadanya.
Rupanya, kematian pria itu karena dirajam oleh massa yang marah.
"Aku tidak tahu ini, ketika aku membaptisnya,” kata pandita Boddé.
“Saya juga tidak tahu, tuan,” kata guru Lapian.
(Dikutip dari laporan J. Boddé yang termuat pada Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenoostchap, terbitan tahun 1900, hal. 10-19).

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...