Paul Pinontoan adalah salah seorang putra Minahasa yang menempuh pendidikan tinggi pada masa kolonial dan turut memberi warna dalam dunia pergerakan pemuda. Tanggal dan tahun kelahirannya tidak banyak tercatat dalam arsip, namun menurut sejarawan Bodewyn Talumewo, ia berasal dari Tikala Ares, Minahasa.
Perjalanan pendidikannya membawanya ke Batavia, tempat ia masuk STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), sekolah kedokteran untuk pribumi. Pinontoan menyelesaikan studinya pada tahun 1927, bersama dengan rekannya Soebowo dari Solo, lalu pada tahun berikutnya, 1928, ia dipromosikan menjadi dokter.
Selain menekuni dunia medis, Paul Pinontoan juga aktif dalam organisasi pergerakan pemuda. Ia bergabung dengan Studeerenden Vereeniging Minahasa, sebuah perkumpulan pelajar Minahasa yang berdiri di Batavia pada 6 Januari 1918 di bawah pimpinan T.A. Kandou. Organisasi ini kemudian berkembang dan pada akhir dekade 1920-an berubah nama menjadi Jong Celebes, sejalan dengan pola organisasi pemuda lain seperti Jong Java dan Jong Sumatranen Bond. Tujuannya sederhana namun mendalam: mempererat persaudaraan di antara pelajar asal Sulawesi, menumbuhkan rasa nasionalisme, serta mempersiapkan generasi muda sebagai pemimpin bangsanya.
Paul Pinontoan pernah menjabat sebagai sekretaris organisasi ini, mendampingi J.S. Warouw sebagai ketua dan J. Tilaar sebagai bendahara. Keterlibatannya dalam Jong Celebes menempatkannya sejajar dengan sejumlah tokoh besar pergerakan nasional dari Minahasa, seperti Sam Ratulangi, A.A. Maramis, R.C.L. Senduk, dan A.I.Z. Mononutu.
Di tengah kesibukan akademik dan aktivitas pergerakan, kehidupan pribadinya juga menemukan titik penting. Pada 4 September 1928, Paul Pinontoan menikah dengan Elsje Oost di Weltevreden (Batavia).
STOVIA, kampus di mana Pinontoan berjumpa dengan orang-orang muda terpelajar dari beragam latar belakang memiliki sejarah panjang. Awalnya, pada 2 Januari 1849, dibuka kursus juru kesehatan di Rumah Sakit Militer Weltevreden, Batavia. Empat tahun kemudian, melalui Surat Keputusan Gubernemen no. 10 tanggal 5 Juni 1853, kursus ini ditingkatkan menjadi Sekolah Dokter Djawa dengan masa belajar tiga tahun. Lulusannya bergelar “Dokter Djawa”, meski sebagian besar bekerja sebagai mantri cacar.
Seiring perkembangan, politik etis yang mulai diterapkan Belanda pada akhir abad ke-19 memberi ruang lebih luas bagi kaum pribumi untuk mengenyam pendidikan. Selain alasan politik, faktor kesehatan juga mendesak: wabah penyakit di Jawa meluas, sementara mendatangkan dokter dari Eropa terlalu mahal. Dari sinilah muncul gagasan untuk mendidik dokter dari kalangan pribumi sendiri. Direktur Sekolah Dokter Djawa, Hermanus Frederik Roll, mengusulkan pembentukan lembaga kedokteran setara dengan sekolah di Belanda. Maka pada 1851 berdirilah STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Batavia, tepat di samping Rumah Sakit Militer—kini menjadi Museum Kebangkitan Nasional.
STOVIA dikenal sebagai sekolah “gratis”: siswanya tidak dipungut biaya, bahkan mendapat seragam, peralatan kuliah, dan beasiswa bulanan 15 gulden. Namun, sebagai imbalannya, mereka wajib menjalani ikatan dinas selama sepuluh tahun, dan bila melanggar, harus membayar denda besar. Kondisi ini membuat STOVIA sering dijuluki sebagai sekolah bagi “anak miskin”, tetapi justru dari sinilah lahir generasi terpelajar pribumi.
Nama sekolah mengalami beberapa kali perubahan: dari School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen (1889), lalu School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (1898), hingga menjadi Geneeskundige Hoogeschool pada 9 Agustus 1927. Dari STOVIA pula muncul cikal bakal pergerakan nasional, ketika alumni seperti dr. Wahidin Soedirohoesodo dan dr. Soetomo mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Awal abad ke-20 merupakan masa di mana benih-benih nasionalisme Indonesia tumbuh subur melalui gerakan kaum muda terpelajar. Kesempatan pendidikan yang lahir dari kebijakan Politik Etis Belanda memungkinkan lahirnya generasi baru: pemuda yang tidak hanya terdidik secara modern, tetapi juga memiliki kesadaran kebangsaan. Di antara kelompok pemuda yang tampil menonjol pada masa itu ialah perkumpulan pelajar dari Sulawesi, khususnya Minahasa, yang kemudian dikenal sebagai Jong Celebes.
Pada dekade 1920-an, semangat kebangkitan nasional mulai merasuk kuat dalam diri pemuda Indonesia. Salah satu organisasi yang aktif mengambil bagian adalah Jong Celebes. Keterlibatan mereka tampak jelas dalam Kongres Pemuda I yang berlangsung di Batavia pada 30 April–2 Mei 1926. Kongres ini mempertemukan berbagai organisasi pemuda untuk membicarakan gagasan persatuan nasional dan mencari titik temu di tengah keberagaman latar belakang.
Kongres diselenggarakan oleh Pemuda Indonesia dengan dukungan Ikatan Pemuda Nasional. Susunan panitia antara lain Tabrani sebagai ketua, Bahder Djohan sebagai wakil ketua, Soemarto sebagai sekretaris, J. Toule Solehnwjj sebagai bendahara, dan Paul Pinontoan—tokoh dari Jong Celebes—yang duduk sebagai komisaris. Acara berlangsung di gedung Freemason’s Lodge, Waterlooplein, Weltevreden, dengan rangkaian pidato dan diskusi yang menyentuh tema-tema penting: persatuan bangsa, peran perempuan, masa depan bahasa, hingga hubungan agama dengan gerakan nasionalis.
Kehadiran Jong Celebes menunjukkan bahwa pemuda Sulawesi aktif memikirkan kemerdekaan Indonesia. Kehadiran Pinontoan adalah wujud kontribusi dalam proses lahirnya kesadaran kebangsaan.
Di forum inilah Paul Pinontoan, mahasiswa STOVIA yang berusia 24 tahun itu menyampaikan pidato berapi-api tentang hubungan agama dan negara dalam perjuangan bangsa. Dalam pidatonya yang disampaikan dalam bahasa Belanda berjudul “de taak der godsdiensten in de nationale beweging”, Pinontoan menyerukan sikap toleransi diantara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda demi memperkuat gerakan persatuan nasional. Untuk memperkuat persatuan diantara berbagai kelompok bangsa Indonesia hendaklah ditinggalkan fanatisme agama yang berlebihan. Jangan sampai memanfaatkan agama untuk kepentingan politik. Menurutnya, hendaklah agama membentuk manusia yang teguh dan tidak egois demi persatuan dan kemerdekaan tanah air.
Pinontoan menyoroti sebab-musabab mengapa orang Indonesia sulit saling mengenal dan menghargai. Menurutnya, alih-alih menjadi perekat, agama justru kerap dijadikan alat pertentangan. Fanatisme yang sempit melahirkan perpecahan, bahkan kecemburuan antarkelompok berbasis agama. Akibatnya, bangsa Indonesia tidak kunjung menemukan kesatuan yang kokoh.
“Dan kamu orang Indonesia, apakah kamu menghendaki keadaan seperti itu, maukah kamu untuk seterusnya tetap tergantung, atau apakah kamu merindukan saat ketika kamu bisa berkata: kemenangan di tangan kita, Indonesia negara merdeka, diperintah oleh orang Indonesia yang merdeka?” kata Pinontoan dengan penuh semangat.
Ia meyakini semua orang rindu hari kemerdekaan. Namun, dengan nada getir, Pinontoan menegaskan bahwa hari bersejarah itu masih jauh karena perpecahan berbasis agama terus merongrong. Ia menuding baik Islam maupun Kristen, sadar atau tidak, telah menyeret anak negeri ke jalan keliru. Kedua agama itu, katanya, justru sedang berada dalam “jalan sesat” karena lebih sering menjadi sumber pertikaian ketimbang persatuan.
Dalam pidatonya itu, Pinontoan berjudul menyerukan agar pemeluk agama meninggalkan fanatisme yang berlebihan. Agama tidak boleh diperalat demi kepentingan politik sempit atau persaingan kelompok. Sebaliknya, agama harus menumbuhkan manusia yang tahan uji, tidak egois, dan mau berjuang tanpa pamrih bagi persatuan bangsa.
Pinontoan memberikan peringatan penting dengan menunjuk pengalaman India. Di sana, gerakan kebangsaan terpecah karena rivalitas antara kelompok Hindu dan Islam. Ia berharap hal semacam itu tidak terjadi di Indonesia. Jika perpecahan agama menjadi dominan, kemerdekaan akan semakin jauh.
Menurut Pinontoan, peranan agama dalam kaitannya dengan negara adalah mendukung persatuan, bukan perpecahan. Agama hendaknya membentuk tenaga yang sepi pamrih, berani berjuang lahir dan batin demi cita-cita nasional. Agama yang benar bukanlah agama yang menjadikan pemeluknya eksklusif, melainkan agama yang memampukan orang untuk hidup dalam solidaritas dan toleransi.
Pemikiran Pinontoan lahir dari situasi kolonial ketika rakyat Hindia Belanda sedang mencari jalan menuju kemerdekaan. Syarat utama kemerdekaan adalah persatuan nasional. Namun, perpecahan justru kerap mengintai, baik karena latar belakang etnis maupun agama. Dalam konteks itulah gagasan Pinontoan menjadi relevan: ia mengingatkan bahwa agama bisa menjadi batu sandungan bagi cita-cita bersama bila tidak ditempatkan secara benar.
Sebagai mahasiswa kedokteran di STOVIA, Pinontoan hidup dalam lingkungan multikultural. Ia menyaksikan bagaimana pemuda dari berbagai suku dan agama berinteraksi, sekaligus bagaimana perbedaan dapat menimbulkan friksi. Pengalaman itulah yang memperkaya pandangannya. Ia sadar bahwa untuk membangun negara merdeka, Indonesia harus mampu melampaui sekat-sekat primordial, termasuk sekat agama.
Pemikiran Paul Pinontoan dalam pidatonya di kongres itu masih sangat relevan di era kini. Bahwa, agama tidak boleh menjadi alat politik untuk tujuan kekuasaan. Dengan lain lain, praktik politisasi agama hanya akan menyebabkan polarisasi atau perpecahan. Dengan demikian, maka agama seharusnya menjadi kekuatan moral. Ia harus membentuk pribadi yang teguh, tidak egois, dan rela berkorban demi persatuan bangsa.
“Di samping semua kebaikan yang dibawa para pembawa agama Islam dan Kristen kepada bangsa Indonesia, tidak bisa dipungkiri bahwa sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja [keduanya] telah membawa anak-anak negeri kita ke jalan keliru dan sedemikian jauhnya, sehingga baik Islam maupun Kristen berada dalam jalan sesat,” tegas Pinontoan dalam pidatonya itu.
Dhaniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003), ketika membahas pidato Pinontoan, menyoroti apa yang disebut sebagai “jalan sesat.” Jalan ini merujuk pada sikap eksklusif dari agama-agama besar yang membuat keduanya sulit dipersatukan. Menurut Dhakidae, yang dimaksud oleh Pinontoan tersebut adalah tentang eksklusivisme Islam dan Kristen, ditambah dengan latar belakang kolonial yang secara historis lebih menguntungkan umat Kristen sekaligus merugikan umat Islam, menjadi faktor besar yang menghambat terwujudnya persatuan. Menurut Dhakidae, Pinontoan dalam pidatonya tersebut juga mencatat bahwa ada pemikiran waktu itu di kalangan sebagian orang Kristen yang bersikap seolah-olah tanah air mereka berada di Eropa, seakan menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Bagi Pinontoan, keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan. Upaya perubahan harus ditempuh, dan kuncinya bukan sekadar pada adanya saling pengertian, melainkan juga pada sikap saling menghargai satu sama lain.
Gagasan tentang persatuan kemudian dimantapkan pada Sumpah Pemuda dua tahun kemudian (1928), ketika para pemuda berikrar bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Sumpah tersebut hanya mungkin lahir jika sekat-sekat agama dan etnis ditundukkan oleh cita-cita bersama. Dengan kata lain, suara Pinontoan pada 1926 ikut menyiapkan jalan bagi lahirnya kesadaran persatuan itu.
Kongres Pemuda I tahun 1926 menjadi forum di mana suara-suara muda memperdebatkan arah perjuangan bangsa. Di sana, Paul Pinontoan berdiri menyampaikan pandangan tajam tentang bahaya perpecahan agama. Ia tidak menolak agama. Tapi, baginya agama harus agama menjadi fondasi moral. Suaranya itu kini adalah kritik terhadap praktik politisasi agama, sekaligus juga mengingatkan publik Indonesia tentang sejatinya negara merdeka ini, yaitu sebagai rumah bersama untuk kebebasan dan kemerdekaan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang.
Comments
Post a Comment