Skip to main content

Guru Amal Modjo dan Warga Jaton di Gorontalo

Mesjid Al Mutaqqin di Yosenogoro. Bangunan pertama terbuat dari kayu yang didirikan oleh Amal Modjo. Foto: Bulletin Umulolo, 2017

Salah satu lulusan Kweekschool atau Sekolah Guru di Tondano pada tahun 1902 adalah keturunan Kyai Modjo bernama Amal Modjo. Ketika pindah ke Gorontalo, bersama rombongannya mereka mendirikan Kampung Jawa Yosonegoro, Amal Modjo menjadi guru di sana.

KAMPUNG Jawa Tondano (Jaton) berdiri tahun 1830. Di Minahasa, pada masa kolonial,  selain sekolah-sekolah yang didirikan oleh zending, pemerintah juga mendirikan sekolah untuk umum, antara lain Kweekschool atau Sekolah Guru di Tondano.

Dalam perjalanannya, di awal abad 20 lahan untuk digarap oleh masyarakat Kampung Jaton semakin sempit.  Maka, sekelompok orang dari kampung ini bermigrasi ke Gorontalo dengan membawa tradisi, budaya dan pengetahuan-pengetahuan baru yang diperoleh dari interaksi mereka dengan masyarakat masyarakat Minahasa yang mayoritas Kristen dan sistem pendidikan modern Belanda.

“Di antaranya yang pergi adalah keluarga dekat Kiai Modjo, Amal Mojo (disebut dengan nama panggilan “Guru Apo”) seorang cucu dari Kiai Mojo dari anaknya bernama Ghazali, lulusan kweekschool (sekolah Guru) di Tondano dan kemudian diangkat sebagai guru yang ditugaskan ke Gorontalo pada 1902,” tulis Roger Allan Christian Kembuan pada tesisnya di Program Pascasarjana Sejarah UGM tahun 2016 berjudul, Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano (1830-1908).

Majalah Maandberigt van het Nederlandsch Zendeling-genootschap, no 1, 01-04-1874 menyebutkan Kweekschool di Tondano didirikan oleh pemerintah pada April 1873. Kweekschool dimaksukan untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah-sekolah umum. Oleh karena Kweekschool ini milik pemerintah, maka orang seperti Amal Modjo yang berlatar belakang agama Islam dapat diterima di sekolah itu. 

Kyai Modjo, buyut Amal Modjo adalah buangan dari Jawa Tengah karena terlibat dalam Perang Jawa (1825-1830). Bersama rombongannya, mereka kemudian mendirikan Kampung Jawa Tondano tahun 1830. Dalam silsilah keluarga besar Modjo disebutkan, kakek Amal Modjo adalah Ghazaly Modjo, dan neneknya adalah seorang perempuan Minahasa bernama Ringkingan Tombokan. Ayah Amal Modjo adalah anak laki-laki tertua Ghazali dan Ringkingan bernama Djumal Modjo.

Di Kampung Jawa Tondano, seperti dicatat Kembuan, pada tahun 1880-1884 Ghazaly Modjo terpilih sebagai Hukum Tua pertama hasil pemilihan. Sebelumnya, yaitu pada tahun 1859-1880 ia berstatus sebagai penghubung.

Menurut Tim G. Babcock, ketika pindah ke Gorontalo, Amal Modjo bersama Imam Rahmat Tumenggung Ses. Merujuk dari cerita dari masyarakat Kampung Jawa Tondano, bahwa alasan kepindahan itu adalah karena semakin terbatasnya lahan untuk dikelola. “Kekurangan lahan, menurut sejarah lisan sebagai satu-satunya motivasi untuk migrasi,",” tulis Babcock dalam bukunya, Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity, terbit tahun 1989.

Kembuan mencatat,  lahan yang mereka kelola adalah warisan sejak kampung ini terbentuk tahun 1830 berupa  sawah, kebun kopi dan beberapa tanah yang telah ditanami sejak awal.

“Hal ini mengakibatkan tanah menjadi semakin sedikit dan pada tahun 1904 sebagian penduduk mulai berpindah ke Gorontalo untuk mendapatkan tanah pertanian dan tinggal di sana sebagai petani. Mereka membuka sebuah kampung yang baru yang dinamakan Kampung Jawa Yosonegoro,” tulis Kembuan.

Pada tahun 1925, lanjut Kembuan, berdasarkan undangan dari keluarga Kiai Modjo yang telah menjadi "kepala kampung di sana" datang gelombang berkutnya yang berpindah ke sebuah daerah di dekat Limboto, Gorontalo dan membentuk Kampung Jawa Reksonegoro.

Buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978 menyebutkan, pemindahan tersebut adalah program pemerintah sebelum transmigrasi lokal usulan Minahasa Raad. Kelompok dari Kampung Jawa Tondano yang pindah ke Gorontalo tahun 1904 berjumlah empat puluh kepala rumah tangga. Merekalah yang mendirikan kampung Yosonegoro dekat Limboto. Kelompok kedua tahun 1910 sebanyak sepuluh kepala keluarga. Mereka mendirikan kampung Kaliyoso.

“Tahap ketiga yaitu yang terbesar, sebanyak seratus dua puluh lima kepala keluarga yang mendirikan kampung Reksonegoro (Isimu), dilakukan tahun 1925,” demikian dicatat buku itu.

Di kampung Yosonegoro, Reksonegoro dan Kaliyoso Gorontalo, Amal Modjo dan rombongannya tetap membawa tradisi dari kampung Jawa Tondano. Dialek Jaton, pertemuan bahasa Tolour Minahasa dan sebagian bahasa Jawa menjadi bahasa tutur warga asal Kampung Jaton di Gorontalo. ‘Ba’do Ketupat’ atau hari raya ketupat, yang khas masyarakat kampung Jaton, juga terus dirayakan oleh mereka di Gorontalo.

Dalam silsilah keluarga besar Modjo disebutkan, Amal Modjo menikah dengan R.A Bandira Danupoyo dan memiliki 5 orang anak: Aisah Modjo, Hasan Modjo, Saleh Modjo, Ismangun Modjo dan Kamil Modjo. Hasan Modjo, anak kedua Amal Modjo menurut Gina S Noer dalam Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner adalah teman kelas ayah B.J. Habibie ketika bersekolah di Hollandsch Inlandsche School Gorontalo.


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...