Skip to main content

Bus, Eignaar dan Kisah Transportasi di Motoling Tempo Doeloe

Bus Chevrolet Tempo Dulu
Foto: Awansan.com
LAMA perjalanan darat dari Motoling ke Manado pada tahun 1950an sampai tahun 1960-an butuh waktu berhari-hari dengan macam-macam resiko. Sebabnya adalah jalan yang belum diaspal, melewati punggung bukit,  jembatan masih beralas kayu dan teknologi mobil yang masih sangat sederhana. 

Rute perjalanan darat dengan kendaraan masa itu berbeda dengan sekarang. Di masa itu rutenya,  dari Motoling menuju ke Manado melewati Amurang, Tumpaan, Tareran, Kawangkoan, Tomohon lalu ke terminal Calaca melewati kantor gubernur (jalan 17 Agustus). Jarak Motoling-Manado dengan rute ini kira-kira sepanjang 110 km.

Welliam Jacob dan Johny Jacob, warga Motoling yang di masa itu kanak-kanak dan remaja menuturkan, seingat mereka, mobil angkutan umum sudah dikenal oleh orang-orang Motoling sejak kira-kira tahun 1940-an. Di tahun 1950-an sampai 1960-an terdapat beberapa keluarga di Motoling sebagai pemilik kendaraan yang mengantar penumpang Motoling menuju ke Amurang atau Manado.

Menurut mereka, bus pertama yang mengantar penumpang di Motoling tahun 1940-an pemiliknya disapa 'komandan' Kawung. 

"Sapaan 'komandan' ini karena 'tete' Kawung itu dulunya adalah tentara KNIL. Nama busnya 'merapi'", ujar Jacob.

Awal tahun 1950-an bus bernama 'merdeka' milik Kel. Runtuwene-Tumbelaka melayani penumpang jalur Motoling-Manado.

Tahun 1960 setelah Permesta, ada pula bus yang diberi nama Rayuan Selatan dan Embun Pagi. Bus ini milik keluarga Kereh, keturunan Tionghoa yang asalnya dari Kumelembuai kemudian menetap di Motoling sebagai pengusaha. 

Lalu bus bernama 'Putra Sejati milik keluarga Viktor Paat. Bus ''Maesa Sejati' milik keluarga Marthen Paat. 

"Ada pula mobil milik keluarga Salem Rondonuwu asal Malola. Tapi sudah lupa nama mobil," ujar mereka.

Warga Motoling biasanya menyebut pemilik bus penumpang dengan sebutan 'eknar'. Rupanya sebutan ini perubahan lafal dari kata aslinya dalam bahasa Belanda 'eigenaar' yang artinya 'pemilik'. Para 'eignaar' ini adalah keluarga-keluarga pengusaha kampung.

Selain mengangkut penumpang, bus-bus ini juga memuat bahan-bahan seperti gula merah, cap tikus dan kayu untuk dijual. Dari Manado, para penumpang membawa kebutuhan-kebutuhan pokok dan keperluan lainnya.

Kebanyakan orang Motoling yang hidup di masa itu memiliki ingatan betapa sulit dan beresikonya melakukan perjalanan di masa sulit ini. Waktu itu, rutenya tidak seperti sekarang yang melewati Maruasey dan Tanawangko, tetapi mengambil rute panjang, dari Amurang, ke Tumpaan lalu ke Tareran, Kawangkoan dan seterusnya.

Oleh karena perjalanan dilakukan berhari-hari maka, maka menurut mereka kendaraan dan penumpang harus singgah di berapa tempat rumah makan, yaitu di Amurang, lalu di Tareran di jembatan 'tu'unan', juga ada rumah makan. Kemudian di Kawangkoan, lalu Tinoor.

Salah satu jembatan yang paling berbahaya adalah jembatan 'tu'unan'. Ada sebuah kejadian di tahun 1960-an setelah Permesta bus bernama 'embun pagi' yang dikendarai sopir handal Motoling di masa itu bernama Nyong Lonteng yang hampir terperosok masuk jurang karena tidak kuat melewati tikungan tajam dan menanjak setelah jembatan 'tu'unan'.

Para penumpang adalah orang-orang Motoling yang akan mendaftar sebagai tentara di Tondano.

Bus 'embun pagi' penuh dengan muatan penumpang dan bahan-bahan termasuk kayu. 'Untung tidak ada korban meninggal. Beberapa penumpang memang mengalami luka-luka. Itu pengalaman yang sungguh mengerikan," ujar Johny Jacob salah satu penumpang waktu itu.

Kebanyakan mereka tidak lagi mengingat merek dan jenis bus di masa itu. Namun beberapa sumber menyebutkan merek bus yang umum di masa itu adalah 'Chevrolet', 'Dodge', 'Leyland' dan 'Ford'. 

"Di masa itu, bus-bus kayu menggunakan chassis truk sebagai basis membangun bodi bus. Biasanya bagian depan mulai dari bumper hingga kaca yang masih menunjukkan anatomi truk, sisanya mulai dashboard ke kebelakang hanya rangka besi", tulis Sindonews

____________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis. 

Makase banyak.






Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...