![]() |
Haji Moh. Arsyad Thawil |
KAMPUNG Kumaraka, 20 Maret 1934. Hari baru lepas subuh. Pukul 5.00 pagi. Orang banyak berkumpul di sebuah rumah. Mereka sedang mengikuti prosesi pemakaman seorang ulama besar. Haji Arsyad Thawil atau Haji Banten, nama ulama sepuh itu. Sekira 40 tahun sudah ia hidup di daerah ini. Tokoh ini diasingkan oleh Belanda dari Banten tahun 1889.
“Pada pukul 5.00 pagi hari ke 20 Maret
1934, jenasah Bapa Hadji diiringi ribuan muslim dan non muslim ke pemakaman
Islam di Kokaweg,” tulis Michael Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara, terbit 2015 mengutip sebuah koran berbahasa Belanda.
Berita koran ini menyebutkan, orang-orang
yang hadir dalam pemakaman tersebut, selain mereka yang beragama Islam, juga
non muslim atau Kristen. Rupanya tokoh ini diterima dan dihormati oleh kalangan
luas di Manado dan Minahasa pada umumnya. Koran berbahasa Belanda lain, Provinciale Geldersche en
Nijmeegsche Courant edisi 28 Mei 1934, juga memberitakan kematian dan
prosesi pemakaman Haji Banten.
Ulama ini bernama lengkap Syekh Mas Mohammad Arsyad Thawil al-Bantani
al-Jawi atau lebih dikenal Syekh
Arsyad Thawil. Namanya juga sering ditulis ‘Hadji Mohamad Arsad Tawil’.
Usianya
sudah sangat uzur ketika meninggal pada 19 Maret 1934.
“Pada usia lebih dari 100 tahun, bapa
Hadji Banten meninggal dunia di rumah di kampoeng Koemaraka sebagai interniran
tertua di Minahasa,” tulis Laffan.
Pada tahun 1912, dengan besluit dari pemerintah Belanda Haji
Arsyad Thawil diangkat menjadi Penghoeloe Landraad. “Di Minahasa ia diangkat sebagai penghoeloe
landraad dan ia juga bertindak sebagai guru
agama Islam di daerah itu,” tulis Provinciale
Geldersche en Nijmeegsche Courant.
Sebagai seorang ulama dan intelektual
namanya juga dikenal di seluruh wilayah Hindia Belanda.
“Dikenal sebagai Hadji Arsjad Tawil,
dia masyur dalam surat-surat kaum terpelajar di Leiden, dan Bapa Hadji adalah
sahabat dekat pakar Islam, Prof. Snouck Hugronje, sang guru besar di Leiden yang
mengajar para hakim senior,” tulis Laffan.
Haji Arsyad Thawil lahir di desa Lempuyang, Tanara,
Kabupaten Serang. Tidak jelas tanggal kelahirannya, tapi pada batu nisannya
tertulis 1851 M, sementara versi Laffan menyebut tahun 1854. Versi terakhir ini
agaknya sesuai dengan lampiran daftar nama buangan pada buku berjudul,The Peasants’ Revolt of
Banten in 1888 karya Sartonon Kartodirdjo yang menyebutkan, ketika diasingkan
Haji Arsyad Thawil berusia 34 tahun. Nama lahirnya, Mas Mohammad Arsyad. Gelar "Mas"
di depan namanya adalah singkatan Permas,
gelar kebangsawanan Banten dalam garis keturunan sultan.
Ulama ini bukan orang sembarangan.
Seorang intelektual muslim pada zamannya dan kritis terhadap pemerintah
kolonial. Pengetahuan keagamaan Haji Arsyad Thawil antara lain
diperolehnya di Mekkah. Tahun 1867, diusia yang masih sangat muda, ia
berguru pada Syekh Abdul Ghani
Bima, lalu kemudian berangkat ke
Mekkah. Di Mekah ia belajar langsung dari Syekh Zaini Dahlan dan Kyai Nawawi Albantani. Pada 27 Februari 1879 ia diangkat sebagai ‘syekh’ yang mengurus
orang-orang Indonesia yang naik haji. Di sana ia berkenalan dengan Prof. Dr. Snouck Hurgronje yang kemudian menjadi temannya. Pada tahun 1886 Haji Arsyad Thawil kembali ke Indonesia, dua tahun sebelum pemberotakan
Cilegon.
Gara-gara terlibat dalam pemberontakan melawan
Belanda di Cilegon, Banten, Jawa Barat tahun
1888, ia dan beberapa
ulama lainnya diasingkan ke Tanah Minahasa, mula-mula di Kema.
Koran Algemeen Handelsblad edisi 3 Agustus 1889 memberitakan pengasingan empat pemberontak dari Banten. Disebutkan,
keempat orang itu adalah, “Hadji
Mohamad Arsad Toebagoes,
Hadji Achmad, Mas Hadji Mohamad Arsad Tawil dan Hadji Koesiu.”
Laffan menyebutkan lagi, Haji Arsyad
Thawil adalah seorang yang masih muda ketika dibuang. Sebelum diasingkan ke
Tanah Minahasa, bersama beberapa orang lain yang juga dituduh pemberontak, ia terlebih
dahulu dipenjara di Glodok, Djakarta. “Mendiang Hadji datang sebagai seorang muda ke Airmadidi via
penjara glodok di Djakarta, dengan tuduhan sebagai penghasut pembrontakan
Banten,” tulis Laffan.
Tahun 1890, Haji Arsyad Thawil menikah
dengan seorang perempuan Minahasa bernama Magdalena Runtu, ketika memeluk Islam
berganti nama menjadi Tarhimah Magdalena Runtu. Magdalena Runtu lahir tahun
1850 dan meninggal tahun 1937.
Di Manado, Haji Arsyad Thawil giat melakukan dakwah, sosial dan
mengusahakan pendidikan untuk umat Islam di daerah ini.
Pada bulan Agustus 1923, organisasi Sarekat Islam menggelar
Nationaal Congres Celebes di Manado. Hadir dan sekaligus memimpin
kongres itu adalah pimpinan Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto. Pada
waktu itu haji Arsyad Thawil bertemu dengan Tjokroaminoto. Ia kemudian diangkat
sebagai adviseur Hoofd Bestuur Locaal Syarikat Islam Menado.
_______________________
Surat kabar De Preanger-bode edisi 4
November 1923 dalam beritanya menyebutkan, kongres tersebut dihadiri oleh
delegasi dari Bolang Mongondow, Gorontalo, Boenta, Parigi dan Paloe,
selain SI lokal untuk Maroekoe (pulau Tidore). Hadir pula organisasi-organisasi
lain, seperti Perserikatan Minahasa, Perserikatan Celebes Minahasa, Partai
Kommunist Nederland Indie. Selain itu, ada pula delegasi dari berbagai
masyarakat non-politik, Arab, Cina, Minahasa dan Jawa.
“Fakta bahwa penduduk Minahasa kebanyakan adalah
Kristen, Protestan serta umat Katolik, dan bahwa orang-orang dari agama yang
berbeda ini telah terjalin pada pertemuan membuktikan bahwa kongres ini
benar-benar menanggung nama ‘Nationaal Celebes Congres’”, tulis De
Preanger-bode.
Bataviaasch Nieuwsblad edisi 1 Maret 1918 memberitakan ijin dari pemerintah Belanda untuk
kepulangan Haji Arsyad Thawil dan beberapa ulama lainnya yang diasingkan.
“Hadji Balki, Hadji Muhammad Kanapiab, Mas Hadji Mohamad Arsad, Hadji Mohamad
Arsad Tawil dan Hadji Boerak diizinkan untuk kembali ke negeri asal mereka
(tempat tinggal Bantam),” tulis Bataviaasch Nieuwsblad dalam bahasa
Belanda.
Namun, Haji Arsyad Thawil memilih tidak pulang lagi ke
tanah kelahirannya. Ia memilih menetap di Manado, Tanah Minahasa, di negeri
istrinya Magdalena Runtu yang setia hidup bersamanya sampai kematiannya pada
tahun 1934. Lagi pula ia telah telah menjadi tokoh, bukan hanya bagi umat
muslim di Sulawesi Utara, tapi juga bagi semua orang di sini melalui
keislamannya yang ramah.
Surat kabar Algemeen Handelsblad dalam pemberitaan edisi 1 Desember 1923 mengutip kesan Snouck Hurgronje tentang sahabatnya Haji Arsyad Thawil yang disampaikannya dalam sebuah artikel. Bagi Hurgronje, Haji Arsyad Thawil adalah seorang yang setia dan suka membantu serta tidak suka menonjolkan diri.
Surat kabar Algemeen Handelsblad dalam pemberitaan edisi 1 Desember 1923 mengutip kesan Snouck Hurgronje tentang sahabatnya Haji Arsyad Thawil yang disampaikannya dalam sebuah artikel. Bagi Hurgronje, Haji Arsyad Thawil adalah seorang yang setia dan suka membantu serta tidak suka menonjolkan diri.
"Bagi
saya, selama saya tinggal di Saudi, dia adalah seorang teman yang setia dan
suka membantu. Dia menolak fanatisme sempit,” kata Hurgronje.
_______________________
Artikel ini
ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan.
Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com.
Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama
'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk
diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap
terlebih dahulu menghubungi penulis.
Makase banyak.
Makase banyak.
Comments
Post a Comment