Wednesday, August 22, 2018

Syekh Mas Mohammad Arsyad Thawil, Hadji Banten di Manado

Haji Moh. Arsyad Thawil
Syekh Mas Mohamad Arsyad Thawil, dikenal sebagai Hadji Banten, menikah dengan perempuan Minahasa dan memilih menetap di Menado sampai akhir hayat. Dengan keislamannya yang ramah, ia dihormati oleh banyak orang, baik muslim maupun Kristen.  


KAMPUNG Kumaraka, 20 Maret 1934. Hari baru lepas subuh. Pukul 5.00 pagi. Orang banyak berkumpul di sebuah rumah. Mereka sedang mengikuti prosesi pemakaman seorang ulama besar. Haji Arsyad Thawil atau Haji Banten, nama ulama sepuh itu. Sekira 40 tahun sudah ia hidup di daerah ini. Tokoh ini diasingkan oleh Belanda dari Banten tahun 1889.

“Pada pukul 5.00 pagi hari ke 20 Maret 1934, jenasah Bapa Hadji diiringi ribuan muslim dan non muslim ke pemakaman Islam di Kokaweg,” tulis Michael Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara, terbit 2015 mengutip sebuah koran berbahasa Belanda.

Berita koran ini menyebutkan, orang-orang yang hadir dalam pemakaman tersebut, selain mereka yang beragama Islam, juga non muslim atau Kristen. Rupanya tokoh ini diterima dan dihormati oleh kalangan luas di Manado dan Minahasa pada umumnya. Koran berbahasa Belanda lain, Provinciale Geldersche en Nijmeegsche Courant edisi 28 Mei 1934, juga memberitakan kematian dan prosesi pemakaman Haji Banten.

Ulama ini bernama lengkap Syekh Mas Mohammad Arsyad Thawil al-Bantani al-Jawi atau lebih dikenal Syekh Arsyad Thawil. Namanya juga sering ditulis ‘Hadji Mohamad Arsad Tawil’. Usianya sudah sangat uzur ketika meninggal pada 19 Maret 1934.

“Pada usia lebih dari 100 tahun, bapa Hadji Banten meninggal dunia di rumah di kampoeng Koemaraka sebagai interniran tertua di Minahasa,” tulis Laffan.

Pada tahun 1912, dengan besluit dari pemerintah Belanda Haji Arsyad Thawil diangkat menjadi Penghoeloe Landraad.  Di Minahasa ia diangkat sebagai penghoeloe landraad dan ia juga bertindak sebagai guru agama Islam di daerah itu,” tulis Provinciale Geldersche en Nijmeegsche Courant.  

Sebagai seorang ulama dan intelektual namanya juga dikenal di seluruh wilayah Hindia Belanda.

“Dikenal sebagai Hadji Arsjad Tawil, dia masyur dalam surat-surat kaum terpelajar di Leiden, dan Bapa Hadji adalah sahabat dekat pakar Islam, Prof. Snouck Hugronje, sang guru besar di Leiden yang mengajar para hakim senior,” tulis Laffan.

Haji Arsyad Thawil lahir di desa Lempuyang, Tanara, Kabupaten Serang. Tidak jelas tanggal kelahirannya, tapi pada batu nisannya tertulis 1851 M, sementara versi Laffan menyebut tahun 1854. Versi terakhir ini agaknya sesuai dengan lampiran daftar nama buangan pada buku berjudul,The Peasants’ Revolt of Banten in 1888 karya Sartonon Kartodirdjo yang menyebutkan, ketika diasingkan Haji Arsyad Thawil berusia 34 tahun. Nama lahirnya, Mas Mohammad Arsyad. Gelar "Mas" di depan namanya adalah singkatan Permas, gelar kebangsawanan Banten dalam garis keturunan sultan.

Ulama ini bukan orang sembarangan. Seorang intelektual muslim pada zamannya dan kritis terhadap pemerintah kolonial. Pengetahuan keagamaan Haji Arsyad Thawil antara lain diperolehnya di Mekkah. Tahun 1867, diusia yang masih sangat muda, ia berguru pada Syekh  Abdul  Ghani  Bima, lalu kemudian  berangkat ke Mekkah. Di Mekah ia belajar langsung dari Syekh Zaini Dahlan dan Kyai Nawawi Albantani. Pada 27 Februari 1879 ia diangkat sebagai ‘syekh’ yang mengurus orang-orang Indonesia yang naik haji. Di sana ia berkenalan dengan Prof. Dr. Snouck Hurgronje yang kemudian menjadi temannya. Pada tahun 1886 Haji Arsyad Thawil kembali ke Indonesia, dua tahun sebelum pemberotakan Cilegon.

Gara-gara terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda di Cilegon, Banten, Jawa Barat tahun 1888, ia dan beberapa ulama lainnya diasingkan ke Tanah Minahasa, mula-mula di Kema.  

Koran Algemeen Handelsblad edisi 3 Agustus 1889 memberitakan pengasingan empat pemberontak dari Banten. Disebutkan, keempat orang itu adalah, “Hadji Mohamad Arsad Toebagoes, Hadji Achmad, Mas Hadji Mohamad Arsad Tawil dan Hadji Koesiu.”

Laffan menyebutkan lagi, Haji Arsyad Thawil adalah seorang yang masih muda ketika dibuang. Sebelum diasingkan ke Tanah Minahasa, bersama beberapa orang lain yang juga dituduh pemberontak, ia terlebih dahulu dipenjara di Glodok, Djakarta. “Mendiang Hadji datang sebagai seorang muda ke Airmadidi via penjara glodok di Djakarta, dengan tuduhan sebagai penghasut pembrontakan Banten,” tulis Laffan.

Tahun 1890, Haji Arsyad Thawil menikah dengan seorang perempuan Minahasa bernama Magdalena Runtu, ketika memeluk Islam berganti nama menjadi Tarhimah Magdalena Runtu. Magdalena Runtu lahir tahun 1850 dan meninggal tahun 1937.

Di Manado, Haji Arsyad Thawil giat melakukan dakwah, sosial dan mengusahakan pendidikan untuk umat Islam di daerah ini.
Pada bulan Agustus 1923, organisasi Sarekat Islam menggelar Nationaal Congres Celebes di Manado. Hadir dan sekaligus memimpin kongres itu adalah pimpinan Sarekat Islam  H.O.S. Tjokroaminoto. Pada waktu itu haji Arsyad Thawil bertemu dengan Tjokroaminoto. Ia kemudian diangkat sebagai adviseur Hoofd Bestuur Locaal Syarikat Islam Menado.

Surat kabar De Preanger-bode  edisi 4 November 1923 dalam beritanya menyebutkan, kongres tersebut dihadiri oleh delegasi dari  Bolang Mongondow, Gorontalo, Boenta, Parigi dan Paloe, selain SI lokal untuk Maroekoe (pulau Tidore). Hadir pula organisasi-organisasi lain, seperti  Perserikatan Minahasa, Perserikatan Celebes Minahasa, Partai Kommunist Nederland Indie. Selain itu, ada pula delegasi dari berbagai masyarakat non-politik, Arab, Cina, Minahasa dan Jawa.

“Fakta bahwa penduduk Minahasa kebanyakan adalah Kristen, Protestan serta umat Katolik, dan bahwa orang-orang dari agama yang berbeda ini telah terjalin pada pertemuan membuktikan bahwa kongres ini benar-benar menanggung nama ‘Nationaal Celebes Congres’”, tulis De Preanger-bode.

Bataviaasch Nieuwsblad edisi 1 Maret 1918 memberitakan ijin dari pemerintah Belanda untuk kepulangan Haji Arsyad Thawil dan beberapa ulama lainnya yang diasingkan. “Hadji Balki, Hadji Muhammad Kanapiab, Mas Hadji Mohamad Arsad, Hadji Mohamad Arsad Tawil dan Hadji Boerak diizinkan untuk kembali ke negeri asal mereka (tempat tinggal Bantam),” tulis Bataviaasch Nieuwsblad dalam bahasa Belanda. 

Namun, Haji Arsyad Thawil memilih tidak pulang lagi ke tanah kelahirannya. Ia memilih menetap di Manado, Tanah Minahasa, di negeri istrinya Magdalena Runtu yang setia hidup bersamanya sampai kematiannya pada tahun 1934. Lagi pula ia telah telah menjadi tokoh, bukan hanya bagi umat muslim di Sulawesi Utara, tapi juga bagi semua orang di sini melalui keislamannya yang ramah. 

Surat kabar Algemeen Handelsblad dalam pemberitaan edisi 1 Desember 1923 mengutip kesan Snouck Hurgronje tentang sahabatnya Haji Arsyad Thawil yang disampaikannya dalam sebuah artikel. Bagi Hurgronje, Haji Arsyad Thawil adalah seorang yang setia dan suka membantu serta tidak suka menonjolkan diri.

"Bagi saya, selama saya tinggal di Saudi, dia adalah seorang teman yang setia dan suka membantu. Dia menolak fanatisme sempit,” kata Hurgronje.



_______________________

Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.


No comments :

Post a Comment