![]() |
Kliping Koran tentang pemberian gelar kepada Siti Hardiyanti Rukhmana. Foto: dr. Bert A. Supit |
Diskusi tentang ‘gelar adat Minahasa’ antara
kelompok Kawanua dan Kelompok Minahasa diwarnai oleh perbedaan-perbedaan
pendapat. Di saat diskusi masih berlansung pemerintah Kabupaten Minahasa justru
telah menganugerahkan gelar adat kepada sejumlah tokoh nasional, militer maupun
sipil.
“Mengenai gelar adat, kita
tidak mengenal gelar tetapi jabatan, yang dimaksud ‘gelar’ itu seperti (di
Jawa) Kiay Panembahan, Pangeran....” kata sejarawan Minahasa, F.S. Watuseke
pada sebuah pertemuan yang digagas oleh Yayasan Kebudayaan Minahasa (YKM) Minggu,
15 September 1986 di hotel Kawanua City Manado.
Watuseke adalah seorang yang memiliki pengetahuan luas
tentang sejarah Minahasa. Sejak tahun 1950-an ia banyak menulis tentang sejarah
Minahasa. Tulisan-tulisannya antara lain terbit pada majalah terbitan KITLV
Belanda. Tua-tua Minahasa lainnya yang hadir adalah H.M. Taulu, budayawan dan
penulis. Ny. Watuseke-Politton. Wies Lalamentik. F. Walandouw. Kotambunan. Ny.
R. Pattynama-Tanos dan Rob Warouw, ketua Lembaga Adat Toar-Lumimuut. Di tahun
itu, mereka rata-rata berusia 80-an tahun.
Dari YKM atau kelompok Kawanua di Jakarta hadir Ny. M.
Tengker-Rombot. Ia adalah ketua organisasi kawanua itu yang sekaligus bertindak
sebagai pemimpin rapat. Lainnya, Dr. Genaard Paat, ketua Forum Cendekiawan
Kawanua, dan Jessy Wenas yang waktu itu sebagai notulis serta Jaap Gerungan.
Percakapan ini adalah lanjutan dari serangkaian
pertemuan sebelumnya, baik di Jakarta maupun di Minahasa antara ‘kelompok
Minahasa’ dan ‘kelompok Kawanua’. Pokok yang dibahas antara lain tentang institusi yang akan
memberi gelar adat, tentang klasifikasinya, bahasa subetnik Minahasa yang akan
digunakan dan lain sebagainya. Karena belum ditemukan kata sepakat, maka
dibuatlah pertemuan 15 September itu.
Sementara di Minahasa sendiri terdapat dua lembaga
atau semacam dewan adat, yaitu Lembaga Adat Toar-Lumimuut dan Dewan Adat Minahasa.
“Karena melihat bahwa ada kelompok budayawan dan dua
dewan adat di Minahasa, maka bulan September 1985, Ketua YKM Ibu Non
Tengker-Rombot membuat program ke Manado guna bertemu dengan tua-tua adat
Minahasa kelompok Rob Warouw,” tulis Jessy Wenas dalam artikelnya berjudul
“Perkembangan Gelar Adat di Minahasa Periode 1985-2000” termuat dalam buku Gelar Adat Minahasa, terbit tahun 2011.
Hal lain, menurut Wenas, karena Tim Jakarta, maksudnya
YKM belum meresa puas dengan percakapan-percakapan dengan kelompok Minahasa sejak
tahun 1983.
“Desember 1983, ‘Pinasungkulan’ dijadikan Forum
Konsultasi Budaya Minahasa, pimpinan BKDH A.L. Lelengboto. Pertemuan tim budaya
KKK Jakarta dengan Tim Budaya Minahasa ternyata mengecewakan tim budaya KKK
Jakarta walau masing-masing membawa makalah tulisan,” kata Wenas.
Pasca Permesta berdiri sejumlah organisasi yang
memberi perhatian terhadap budaya Minahasa. Tahun 1968, sejumlah tokoh
Minahasa, antara lain J.H. Tamboto, B. Tungka, H.L.L. Lumanauw membentuk wadah ‘Pakasaan
Mawakanua’. Tanggal 21 Mei 1973, orang-orang Minahasa di tanah rantau, terutama
di Jakarta mendirikan Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK). Bulan Desember 1980
dibentuk pula Komisariat Budaya Korps Pembangunan.
Tahun 1981 terbentuk Lembaga Adat/Kebudayaan
Toar-Lumimuut Masyarakat Minahasa, sebagai ketua Rob Warouw. Lalu Januari 1982 W.
Lasut membentuk pula organsasi ‘Pinasungkulan’. Keanggotannya terdiri dari
perwakilan dari Tonsea, Tolour, Tombulu, Rahatan, Tontemboan dan Manado.
Gagasan Awal Pemberian Gelar Adat
Lalu, sejak kapan muncul ide pemberian gelar adat ini?
Jessy Wenas mengatakan begini, “Gagasan Gelar Adat itu lahir di ASMI Pulo-mas
Jakarta ketika terjadi pertemuan antara wakil Bupati Minahasa Alex Lelengboto
dipimpin Wim Tenges dan ketua tim kesenian KKK Ny. M. Tengker-Rombot beserta
stafnya bulan Agustus 1984.”
“Gelar Adat itu sebenarnya ikut-ikutan, tapi apa
salahnya kalau kita mau bikin,” ujar Ny. Watuseke-Politton melanjutkan pendapat
pembicara lainnya pada pertemuan 15 September di hotel Kawanua City Manado itu.
Wenas merekam tanggapan Dr. Geraard Paat terhadap
pendapat-pendapat kritis dari ‘kelompok Minahasa’ pada pertemuan itu. “Saya
terkesan sekali mendengarkan uraian-uraian Ibu Politton...umur hampir 80 tahun,
om Taulu 83 tahun, om Rob Warouw 84 tahun. Supaya nyanda baku salah mangarti
torang Kerukunan Keluarga Kawanua, bukan suatu organisasi ‘Over Couplings
Organisatie’, kami bersifat ‘Akomodatif’ terima siapa saja kami tidak
menghendaki perpecahan,” ujar Paat.
Pihak YKM, atau ‘kelompok kawanua’ sepertinya sejak
tahun 1985 telah berencana memberikan gelar adat. Namun, itu belum terlaksana
karena belum ada kata sepakat. “Bapak dan ibu-ibu melihat dorang so
mondar-mandir tiga kali, Juni, November ’84, Juli ’85, sebenarnya November 1985
juga direncanakan pemberian gelar adat, tapi kami dari Jakarta waktu pertemuan
di hotel Indonesia (16 Agustus ’85) minta tunda dulu, karena belum ada persesuain,”
terang Ny. M. Tengker-Rombot pada pertemuan itu seperti direkam Wenas. Disebutkan
pula, rencananya para penerima gelar adat itu adalah semua bupati.
Sampai tahun 1986 rupanya
belum ada kesesuain pendapat antara ‘kelompok Kawanua’ di Jakarta dengan ‘kelompok
Minahasa’ mengenai pemberian gelar adat. Tanggal 8 Agustus 1986 di ASMI,
Jakarta YKM menggelar diskusi kalangan internal yang membahas semua hal terkait
pemberian gelar adat. Tanggal 17 November 1986 di Jakarta YKM menggelar pula seminar
tentang ‘Perang Tondano’. Hadir pada seminar itu beberapa orang dari ‘kelompok
Minahasa’.
“Pihak Minahasa yang datang
menghadiri sseminar itu tidak tertarik lagi membahas soal Gelar Adat, dengan
demikian Y.K.M. menghentikan program penelitian Gelar Adat,” ungkap Wenas. Kata
Wenas melanjutkan, hubungan antara YKM dan kelompok Minahasa justru makin
merenggang pada seminar itu.
Sementara ketegangan antara
kelompok Kawanua dengan kelompok Minahasa berlangsung, Bupati Minahasa, waktu
itu dijabat oleh Alex Lelengboto justru telah menerima Surat DPRD II No.
8/KPTS/DPRDM/V/1985 untuk hak pemberian gelar adat. Majelis Kebudayaan Minahasa (MKM) kemudian
mendapat tugas untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan gelar adat
tersebut.
Maka, sejak tahun 1986
sampai tahun 1998, masa orde baru itu, MKM telah menganugerakah gelar adat
Minahasa kepada 22 tokoh. Menurut dokter Bert Supit seperti termuat dalam buku Gelar Adat Minahasa, enam di antaranya
lahir di masa kepemimpinan Bupati Alex Lelengboto. Kemudian, musim masa paceklik
‘tonaas’ saat JO Bolang menjabat Bupati Minahasa. Waktu itu MKM hanya memberi
gelar kepada kepada dua orang, yaitu JO
Bolang dan HN Eman, yang disebut dokter Bert Supit ‘orang dalam’ dan dari ‘kandang
sendiri’.
“’Panen raya’ tonaas ketika
Drs. KL Senduk dipercayakan memimpin Minahasa. Ada 14 tonaas yang dilahirkan,”
kata Supit.
Nama-nama tokoh penerima
gelar waktu itu antara lain, Letjen TNI Try Sutrisno menerima gelar adat ‘Tonaas
Wangko ang Katanaan’. Jenderal TNI LB Moerdani, menerima gelar adat ‘Tonaas
Wangko um Banua’. Tak ketinggalan, putri Presiden Soeharto, Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana, juga menerima gelar adat. Ia menerima gelar adat, ‘Walian Ina Kowene’.
Itulah gelar-gelar adat,
yang disebut oleh sastrawan Yapi Tambayong sebagai, “Tradisi baru mengatasnamakan
tradisi lama’, seperti judul tulisannya yang termuat dalam buku Gelar Adat Minahasa.
_______________________
Artikel ini
ditulis oleh Denni
H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email
dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel,
harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip
keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan
komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.
Makase banyak.
Makase banyak.
Comments
Post a Comment