Skip to main content

Sejarah Tsunami di Sulawesi Utara


Daerah pesisir Sulawesi Utara yang berdekatan dengan laut Maluku Utara rawan terkena tsunami jika terjadi gempa di laut itu.

HARI sudah malam, kira-kira pukul delapan. Sebuah gempa berkekuatan 8,0 skala richter terjadi di Laut Maluku. Jaraknya ± 72 km dari Kema, sebuah kota pelabuhan di bagian utara Minahasa. Hari itu, Jumat, 6 September 1889.  

“Tsunami muncul segera setelah gempa, “ tulis Kevin McCue dalam tulisannya berjudul Historical earthquakes in the Northern Territory.

Tinggi gelombang tsunami di Kema, kata McCue, sekitar 3,5 sampai 4 meter. Di Manado setinggi 2 meter. Amurang juga mengalami. Tsunami ini mengakibatkan kerusakan pemukiman di Kema dan banjir di Bentenan.

“Tiga puluh blok pemukiman (distrik) hancur di Kema. Di Bentenan, satu distrik perumahan mengalami banjir 15 kali dalam 2 jam. Air naik 0,5 m (2 kaki) di pekarangan rumah di pantai selama tiga gelombang pertama,” tulis McCue. 

Di pulau Ternate gelombang air laut tiba-tiba meninggi.  Di Pulau Sangihe terjadi banjir besar. Di Tahuna, terjadi  kenaikan ketinggian air sekitar 1,5 m. Air naik dalam waktu sekitar 2 menit dan surut  dalam 3 menit.

McCue mengatakan, menurut seorang saksi mata, pergerakan air dimulai semenit setelah gempa bumi dan diiringi  oleh suara seperti ombak yang kuat. Jembatan di seberang sungai Tahuna terangkat oleh banjir dan sebagian menabrak tiang-tiangnya. Gelombang berulang sepanjang malam sampai pagi, secara bertahap meningkatkan interval: dari 5 menit hingga 30 menit.

“Sebagian besar warga Tahuna bergegas ke bukit-bukit yang berdekatan setelah gempa bumi dan bermalam di sana. Pada tanggal 9, banyak ikan mati ditemukan di Tanjung Tahuna,”  kata McCue.

Sebelum tsunami September 1889 itu, tercatat enam kali terjadi gempa di laut Maluku Utara yang menyebabkan tsunami di Kema, Belang, Manado dan beberapa daerah pesisir lainnya di Tanah Minahasa. Tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi dan letusan gunung berapi itu terjadi sejak November 1857, demikian seperti dicatat dalam buku Air Turun Naik di Tiga Negeri, Mengingat Tsunami Ambon1950 di Hutumuri, Hative Kecil dan Galala, terbit tahun 2016. Lalu berikutnya Desember 1858, Oktober 1859, Desember 1959,  Maret 1871, dan Maret 1888. Sampai Desember 1939 juga terjadi beberapa kali tsunami.

Menurut Slamet Suyitno Raharjo, Gybert E. Mamuaya, dan Lawrence J.L. Lumingas dalam penelitian mereka berjudul Pemetaan Daerah Rawan Tsunami di Wilayah Pesisir Kema, Sulawesi Utara yang dipublikasikan Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1, Mei 2013, laut Maluku berpotensi terjadi gempa bumi dengan magnitudo 8,5 Skala Richter yang dapat menimbulkan tsunami hingga melanda di pantai wilayah pesisir Kema pada menit ke 10 setelah kejadian gempa bumi, dengan ketinggian run up tsunami mencapai 13,9 meter.

“Pemetaan run up tsunami tersebut menunjukkan bahwa seluruh wilayah pesisir Kema adalah daerah rawan tsunami,” tulis Raharjo, dkk.


 
_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.



Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...