Alexius Impurung Mendur, seorang fotografer jurnalistik asal Talikuran, Kawangkoan, di masa kecil adalah seorang anak yang rajin, pinter dan memiliki semangat yang tinggi untuk maju
TALIKURAN, Kawangkoan, 7 Nopember 1907. Di sebuah rumah, terdengar tangisan seorang bayi. Seorang bayi
laki-laki baru lahir. Ayah si bayi bernama August Mendur. August lahir pada 25 Juli 1888 dan ibu si bayi bernama Ariance Mononimbar (Kel. Mendur-Mononimbar). Orang tua August Mendur, kakek dan
nenek si bayi, ayah bernama Robert Mendur, ibunya
Yohana Masengi (Kel. Mendur-Masengi).
Kelak bayi laki-laki ini menjadi orang hebat di dunia
fotografi. Namanya Alexius
Impurung Mendur atau dikenal dengan nama Alex Mendur. Seorang fotografer
jurnalistik yang telah mendokumentasikan beberapa peristiwa penting dalam sejarah
perjuangan Indonesia. Alex bersama saudara dan teman-temannya asal Minahasa,
kemudian mendirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS).
Buku berjudul Alexius
Impurung Mendur (Alex Mendur) yang ditulis Wiwi Kuswiah (diterbitkan Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1986) mendokumentasikan kisah hidup Alex sejak
lahir hingga ia menjadi fotografer jurnalistik yang profesional.
Sumber data buku tersebut adalah
hasil wawancara penulis (Wiwi Kuswiah) dengan keluarga dekat dan teman-teman
Alex yang masih hidup pada tahun 1985. Antaranya L.R. Mendur dan F.F. Umbas (diwawancarai pada tanggal 28 Mei
1985 di Jakarta). Ibu Meity Mubagio Mendur dan ibu Emmy Wowor (diwawancarai
pada tanggal 30 Mei 1985 di Jakarta).
Pada tanggal 26 dan 27 Juni 1985 Wiwih Kuswiah datang ke
Keluarahan Talikuran, Kawangkoan. Di sini ia mewawancarai adik-adik Alex Mendur
dan keluarga dan teman Alex
Mendur sewaktu masih sekolah, aantara lain: Ibu Rita Manesa
Mendur (anak Bernath Mendur) dan Rudolf Manese (suami ibu Rita). Berikut Ibu Anneke
Pinontoan (cucu Bernath Mendur); Max R. Buyung (anak Yulianan Mendur); Lurah Talikuran Bernath Rumengan, Kepala
Depdikbud Kec. Kawangkoan, N. Palaar; Camat Kawangkoan, Drs. J.R. Mewo; Stinee Mendur dan Konstansye Mendur (keduanya adik
Alex Mendur). Berikut Willem Wokas (suami
Konstansye dulu bekas wartawan; Lidya
Mendur (anak Bernath Mendur); Abraham Lapian Assa, teman sekolah Alex Mendur).
Di Bandung, Jakarta, Bogor, ia mewancarai ibu Maya
Mawengkang Mendur (diwawancarai pada tanggal 5 Juli 198S di Bandung); Ines
Mendur diwawancarai pada tanggal 9 Juli 1985
di Jakarta. Paul A. Mendur diwawancarai pada tanggal 29
Juli 1985 di Pondok Kopi. Piet Mendur (Keponakan Alex Mendur) diwawancarai pada
tanggal 2 Agustus 1985 di Depok, Bogor.
Alexius adalah anak tertua dari sembilan bersaudara. Adik-adiknya
adalah Juliana
Mendur, Bernard
Mendur, Frans Mendur,
Hein Mendur, Paul A Mendur, Margoce Mendur, Constanse Mendur,
Tientje Mendur dan Catoce Mendur.
Kuswiah menulis, Kakek dan Nenek Alexius, Robert dan
Yohana adalah keluarga petani. Mereka juga beternak babi. Hal lain yang juga
dimiliki oleh Robert adalah kemampuan mengobati orang secara ‘makatana’. Ia
sering menolong orang dengan cara-cara tradisional. Cara hidup keluarga
ini, termasuk kemampuan mengobati orang terwarisi juga pada August, ayah Alexius.
Kuswiah melanjutkan, sebagai anak dari keluarga
“ma’leme”, dan begitu tradisi yang masih umum berlaku di Kawangkoan masa itu,
maka sekira 14 hari kelahiran, bayi Alexius dimandikan dengan air uap rebusan berisi rempah-rempah.Tradisi memandikan bayi dan ibunya itu disebut “sosopen”. Ketika melahirkan, ibunya dibantu
oleh seorang biang kampung.
Alexius bertumbuh sebagai seorang anak yang sehat dan
kuat di bawah asuhan kedua orang tuanya. Alex
Mendur dibaptis pada usia kurang-lebih tiga bulan
oleh Pendeta Riemper di Gereja Protestan (lndishe Kerk) Kawangkoan.
Pekerjaan orang tua Alexius adalah pedagang di pasar. Sebagai
seorang anak yang tertua, Alexius suka membantu orang tuanya berjualan barang-barang
keperluan sehari-hari seperti piring, gelas, sapu, sabun dan sebagainya di pasar. Selain berdagang
barang jadi,
ayah Alex Mendur juga berjualan babi dan bertani.
Jika bukan hari pasar, maka kedua orang tua Alexius
bekerja di kebun. Alexius juga membantu orang tuanya bekerja di kebun. Mereka menanam kacang tanah, ubi kayu, dan
sebagainya.
"Di kebun dalam
membantu pekerjaan orang tuanya, Alex Mendur suka berburu tikus
kebun bersama teman-temannya," tulis Kuswiah.
Sekira tahun 1914 Alexius mulai bersekolah. Di Kawangkoan
waktu sekolah dasar bernama Volkschool Gouvernement. Alexius disekolah oleh orang
tuanya di sekolah itu. Sebagai kepala sekolah adalah E. Lapian, ayah dari B.W. Lapian. Sekolah
ini berada di pusat kota, sekarang kantor
kecamatan Kawangkoan. Alex Impurung
Mendur tamat tahun 1918.
“Begitu selesai sekolah dasar tidak dilanjutkan karena ayah Alex tidak mampu untuk membiayainya. Kehidupan keluarganya bertambah lagi dengan kelahiran adik-adik Alex, sehingga beban ayahnya bertambah berat,” tulis Kuswiah.
Ketika maksud itu disampaikan kepada orang tuanya, mereka keberatan. Ayah dan ibunya merasa Alex belum cukup dewasa untuk hidup jauh dari mereka. Tapi, Anton kemudian berusaha meyakinkan mereka. Dengan penjelasan dan jaminan yang disampaikan Anton, maka kedua orang tua Alex akhirnya setuju anak mereka tertua ini merantau ke Tanah Jawa. Maka, segera setelah itu dilakukan persiapan keberangkatan Alex ke Jawa.
“Begitu selesai sekolah dasar tidak dilanjutkan karena ayah Alex tidak mampu untuk membiayainya. Kehidupan keluarganya bertambah lagi dengan kelahiran adik-adik Alex, sehingga beban ayahnya bertambah berat,” tulis Kuswiah.
Ketika maksud itu disampaikan kepada orang tuanya, mereka keberatan. Ayah dan ibunya merasa Alex belum cukup dewasa untuk hidup jauh dari mereka. Tapi, Anton kemudian berusaha meyakinkan mereka. Dengan penjelasan dan jaminan yang disampaikan Anton, maka kedua orang tua Alex akhirnya setuju anak mereka tertua ini merantau ke Tanah Jawa. Maka, segera setelah itu dilakukan persiapan keberangkatan Alex ke Jawa.
Abraham
Assa, teman sekolah dan sepermainan Alex Mendur mengatakan, ia
lebih rendah satu
kelas dari Alex Mendur. Alex, kata dia adalah anak yang rajin dan pandai, periang, suka berkelakar dengan teman-temannya
dan selalu gembira. Ia cekatan dalam segala hal dan situasi,
penurut dan patuh pada
perintah kedua
orang tuanya.
“Watak
Alex diturunkan dari ayahnya
yang keras dan disiplin. Alex senang bermain kelereng, main
bola, main 'sarukeke' atau 'ciplek gunung', yakni suatu jenis
permainan anak-anak Minahasa,” tulis Kuswiah
mengutip tuturan Abraham.
Jarak
dari rumah keluarga Alex ke ke sekolah kurang-lebih
700 meter. Menurut tuturan orang-orang dekat alex yang diwawancarai
Kuswiah, sepulang
sekolah Alex ganti pakaian lalu makan. Kata mereka, Alex suka makan menu dari daging babi atau
ikan laut kering.
Merantau ke Tanah
Jawa
Alex tamat dari Volkschool Gouvernement tahun
1918, di usia
11 tahun. Tapi Alex tidak dapat melanjutkan ke sekolah menengah.
Meski masih kanak-akan menuju remaja, namun Alex harus bekerja membantu kedua orang tuanya. Sambil itu ia mengambil waktu belajar bahasa Inggris secara mandiri dan membaca
beberapa buku yang tersedia.
Ketika memasuki usia pemuda, Alex mulai berpikir
bagaimana ia dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan membantu ekonomi
keluarganya.
Pada suatu hari, ia mendengar kabar ada saudaranya di
Jawa yang pulang ke Kawangkoan. Alex berpikir sekiranya ia dapat pergi ke Jawa
untuk bekerja di sana. Saudara
Alex itu bernama
Anton Nayoan berasal dari Desa Tondegesan. Di Jawa Anton Nayoan bekerja sebagai
karyawan pada perusahaan Belanda
yang menjual alat-alat dan bahan-bahan keperluan dan perlengkapan
fotografi.
Anton
melihat Alex mempunyai kemauan keras dan bakat yang tinggi untuk maju. Maka dia kemudian mengajak Alex untuk bersama dengan dia ke Jawa. Alex senang sekali dengan ajakan itu.
Keluarga Alex lalu menggelar acara perpisahan dengan anak
mereka. Keluarga besar mereka di Talikuran atau Kawangkoan diundang hadir pada
acara jamuan makan bersama. Teman-teman Alex juga
diundang berkumpul. Tradisi ini
biasa dilakukan di Kawangkoan pada waktu itu. Keluarga biasanya akan menggelar
acara kumpul-kumpul dan makan bersama bagi anggota anggota keluarga yang pulang
kampung dari tanah rantau atau yang akan merantau.
Pada acara itu, Alex menerima nasehat dari keluarga atau juga teman-temannya sebagai bekal baginya
nanti di tanah rantau. Mereka juga memberi dia ucapan selamat jalan, berharap
sukses di sana.
Datanglah hari keberangkatan itu. Anton dan Alex
berangkat ke Manado dengan menumpang ‘gerobak’. Waktu tempuh Kawangkoan-Manado
dengan gerobak (roda sapi atau roda kuda) selama 1 hari 1 malam. Meski mobil
sudah ada sejak tahun 1912 di Kawangkoan, namun tidak setiap hari atau setiap
minggu beroperasi.
Anton dan Alex tiba di pelabuhan Manado. Dari sini mereka
menumpang kapal laut menuju ke Batavia. Selama satu bulan mereka berada di atas
kapal mengarungi samudera baru tiba di tanah Jawa. Alex berangkat ke tanah Jawa
bersama Anton pada tahun 1922, waktu itu usianya 15 tahun. Di sana Alex tinggal
bersama Anton. Inilah awal dari perjalanan hidupnya menjadi seorang fotografer
jurnalistik. (**)
·.
_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.Makase banyak.
Comments
Post a Comment