Saturday, May 11, 2019

Masa Kecil Alexius Impurung Mendur di Kawangkoan




Alexius Impurung Mendur, seorang fotografer jurnalistik asal Talikuran, Kawangkoan, di masa kecil adalah seorang anak yang rajin, pinter dan memiliki semangat yang tinggi untuk maju


TALIKURAN, Kawangkoan, 7 Nopember 1907. Di sebuah rumah, terdengar tangisan seorang bayi. Seorang bayi laki-laki baru lahir. Ayah si bayi bernama August Mendur. August lahir pada 25 Juli 1888 dan ibu si bayi bernama Ariance Mononimbar (Kel. Mendur-Mononimbar). Orang tua August Mendur, kakek dan nenek si bayi, ayah bernama Robert Mendur, ibunya Yohana Masengi (Kel. Mendur-Masengi).

Kelak bayi laki-laki ini menjadi orang hebat di dunia fotografi. Namanya Alexius Impurung Mendur atau dikenal dengan nama Alex Mendur. Seorang fotografer jurnalistik yang telah mendokumentasikan beberapa peristiwa penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. Alex bersama saudara dan teman-temannya asal Minahasa, kemudian mendirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS).

Buku berjudul Alexius Impurung Mendur (Alex Mendur) yang ditulis Wiwi Kuswiah (diterbitkan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1986) mendokumentasikan kisah hidup Alex sejak lahir hingga ia menjadi fotografer jurnalistik yang profesional.

Sumber data buku tersebut adalah hasil wawancara penulis (Wiwi Kuswiah) dengan keluarga dekat dan teman-teman Alex yang masih hidup pada tahun 1985. Antaranya L.R. Mendur  dan F.F. Umbas (diwawancarai pada tanggal 28 Mei 1985 di Jakarta). Ibu Meity Mubagio Mendur dan ibu Emmy Wowor (diwawancarai pada tanggal 30 Mei 1985 di Jakarta).

Pada tanggal 26 dan 27 Juni 1985 Wiwih Kuswiah datang ke Keluarahan Talikuran, Kawangkoan. Di sini ia mewawancarai adik-adik Alex Mendur dan keluarga dan teman Alex
Mendur sewaktu masih sekolah, aantara lain: Ibu Rita Manesa Mendur (anak Bernath Mendur) dan Rudolf  Manese (suami ibu Rita). Berikut Ibu Anneke Pinontoan (cucu Bernath Mendur); Max R. Buyung (anak Yulianan Mendur);  Lurah Talikuran Bernath Rumengan, Kepala Depdikbud Kec. Kawangkoan, N. Palaar; Camat Kawangkoan, Drs. J.R. Mewo; Stinee Mendur dan Konstansye Mendur (keduanya adik Alex Mendur). Berikut  Willem Wokas (suami Konstansye dulu bekas wartawan;  Lidya Mendur (anak Bernath Mendur); Abraham Lapian Assa, teman sekolah Alex Mendur).

Di Bandung, Jakarta, Bogor, ia mewancarai ibu Maya Mawengkang Mendur (diwawancarai pada tanggal 5 Juli 198S di Bandung); Ines Mendur diwawancarai pada tanggal 9 Juli 1985
di Jakarta. Paul A. Mendur diwawancarai pada tanggal 29 Juli 1985 di Pondok Kopi. Piet Mendur (Keponakan Alex Mendur) diwawancarai pada tanggal 2 Agustus 1985 di Depok, Bogor.

Alexius adalah anak tertua dari sembilan bersaudara. Adik-adiknya adalah Juliana Mendur, Bernard Mendur, Frans Mendur, Hein Mendur, Paul A Mendur, Margoce Mendur, Constanse Mendur, Tientje Mendur dan Catoce Mendur.

Kuswiah menulis, Kakek dan Nenek Alexius, Robert dan Yohana adalah keluarga petani. Mereka juga beternak babi. Hal lain yang juga dimiliki oleh Robert adalah kemampuan mengobati orang secara ‘makatana’. Ia sering menolong orang dengan cara-cara tradisional. Cara hidup keluarga ini, termasuk kemampuan mengobati orang terwarisi juga pada August, ayah Alexius.

Kuswiah melanjutkan, sebagai anak dari keluarga “ma’leme”, dan begitu tradisi yang masih umum berlaku di Kawangkoan masa itu, maka sekira 14 hari kelahiran, bayi Alexius dimandikan dengan air uap rebusan berisi rempah-rempah.Tradisi memandikan bayi dan ibunya itu disebut “sosopen”. Ketika melahirkan, ibunya dibantu oleh seorang biang kampung. 

Alexius bertumbuh sebagai seorang anak yang sehat dan kuat di bawah asuhan kedua orang tuanya. Alex Mendur dibaptis pada usia kurang-lebih tiga bulan oleh Pendeta Riemper di Gereja Protestan (lndishe Kerk) Kawangkoan.  

Pekerjaan orang tua Alexius adalah pedagang di pasar. Sebagai seorang anak yang tertua, Alexius suka membantu orang tuanya berjualan barang-barang keperluan sehari-hari seperti piring, gelas, sapu, sabun dan sebagainya di pasar. Selain berdagang barang jadi, ayah Alex Mendur juga berjualan babi dan bertani.

Jika bukan hari pasar, maka kedua orang tua Alexius bekerja di kebun. Alexius juga membantu orang tuanya bekerja di kebun. Mereka menanam kacang tanah, ubi kayu, dan sebagainya. 

"Di kebun dalam membantu pekerjaan orang tuanya, Alex Mendur suka berburu tikus kebun bersama teman-temannya," tulis Kuswiah. 


Sekira tahun 1914 Alexius mulai bersekolah. Di Kawangkoan waktu sekolah dasar bernama Volkschool GouvernementAlexius disekolah oleh orang tuanya di sekolah itu. Sebagai kepala sekolah adalah E. Lapian, ayah dari B.W. Lapian. Sekolah ini berada di pusat kota, sekarang kantor kecamatan Kawangkoan. Alex Impurung Mendur tamat tahun 1918.


Begitu selesai sekolah dasar tidak dilanjutkan karena ayah Alex tidak mampu untuk membiayainya. Kehidupan keluarganya bertambah lagi dengan kelahiran adik-adik Alex, sehingga beban ayahnya bertambah berat,” tulis Kuswiah.

Ketika maksud itu disampaikan kepada orang tuanya, mereka keberatan. Ayah dan ibunya merasa Alex belum cukup dewasa untuk hidup jauh dari mereka. Tapi, Anton kemudian berusaha meyakinkan mereka. Dengan penjelasan dan jaminan yang disampaikan Anton, maka kedua orang tua Alex akhirnya setuju anak mereka tertua ini merantau ke Tanah Jawa. Maka, segera setelah itu dilakukan persiapan keberangkatan Alex ke Jawa.
Abraham Assa, teman sekolah dan sepermainan Alex Mendur mengatakan, ia lebih rendah satu kelas dari Alex Mendur. Alex, kata dia adalah anak yang rajin dan pandai, periang, suka berkelakar dengan teman-temannya dan selalu gembira. Ia cekatan dalam segala hal dan situasi, penurut dan patuh pada perintah kedua orang tuanya.

Watak Alex diturunkan dari ayahnya yang keras dan disiplin. Alex senang bermain kelereng, main bola, main 'sarukeke' atau 'ciplek gunung', yakni suatu jenis permainan anak-anak Minahasa,” tulis Kuswiah mengutip tuturan Abraham.  

Jarak dari rumah keluarga Alex ke ke sekolah kurang-lebih 700 meter. Menurut tuturan orang-orang dekat alex yang diwawancarai Kuswiah, sepulang sekolah Alex ganti pakaian lalu makan. Kata mereka, Alex suka makan menu dari daging babi atau ikan laut kering. 

Merantau ke Tanah Jawa
Alex tamat dari Volkschool Gouvernement tahun 1918, di usia 11 tahun. Tapi Alex tidak dapat melanjutkan ke sekolah menengah. 

Meski masih kanak-akan menuju remaja, namun Alex harus bekerja membantu kedua orang tuanya. Sambil itu ia mengambil waktu belajar bahasa Inggris secara mandiri dan membaca beberapa buku yang tersedia.

Ketika memasuki usia pemuda, Alex mulai berpikir bagaimana ia dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan membantu ekonomi keluarganya. 

Pada suatu hari, ia mendengar kabar ada saudaranya di Jawa yang pulang ke Kawangkoan. Alex berpikir sekiranya ia dapat pergi ke Jawa untuk bekerja di sana. Saudara Alex itu bernama Anton Nayoan berasal dari Desa Tondegesan. Di Jawa Anton Nayoan bekerja sebagai karyawan pada perusahaan Belanda yang menjual alat-alat dan bahan-bahan keperluan dan perlengkapan fotografi.
Anton melihat Alex mempunyai kemauan keras dan bakat yang tinggi untuk maju. Maka dia kemudian mengajak Alex untuk bersama dengan dia ke Jawa. Alex senang sekali dengan ajakan itu.
 

Keluarga Alex lalu menggelar acara perpisahan dengan anak mereka. Keluarga besar mereka di Talikuran atau Kawangkoan diundang hadir pada acara jamuan makan bersama. Teman-teman Alex juga diundang berkumpul. Tradisi ini biasa dilakukan di Kawangkoan pada waktu itu. Keluarga biasanya akan menggelar acara kumpul-kumpul dan makan bersama bagi anggota anggota keluarga yang pulang kampung dari tanah rantau atau yang akan merantau.

Pada acara itu, Alex menerima nasehat dari keluarga atau juga teman-temannya sebagai bekal baginya nanti di tanah rantau. Mereka juga memberi dia ucapan selamat jalan, berharap sukses di sana.

Datanglah hari keberangkatan itu. Anton dan Alex berangkat ke Manado dengan menumpang ‘gerobak’. Waktu tempuh Kawangkoan-Manado dengan gerobak (roda sapi atau roda kuda) selama 1 hari 1 malam. Meski mobil sudah ada sejak tahun 1912 di Kawangkoan, namun tidak setiap hari atau setiap minggu beroperasi. 

Anton dan Alex tiba di pelabuhan Manado. Dari sini mereka menumpang kapal laut menuju ke Batavia. Selama satu bulan mereka berada di atas kapal mengarungi samudera baru tiba di tanah Jawa. Alex berangkat ke tanah Jawa bersama Anton pada tahun 1922, waktu itu usianya 15 tahun. Di sana Alex tinggal bersama Anton. Inilah awal dari perjalanan hidupnya menjadi seorang fotografer jurnalistik. (**)
·.


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

No comments :

Post a Comment