Thursday, May 9, 2019

Nyanyian Para Soldadu dalam Perang



 
Tentara KNIL di Batavia tahun 1930. (Sumber: http://www.indonesia-dutchcolonialheritage.nl)

Para soldadu di medan selalu dibayang-bayangi oleh kesedihan, putus asa dan kematian, mereka butuh hiburan, maka sebuah buku berisi kumpulan nyanyian diterbitkan untuk mereka


TANGGAL 1 Januari 1800, secara resmi VOC dibubarkan. Sejak pertama kali datang ke kepulauan ini, VOC memang mengandalkan militer. Tahun 1630, dengan militernya yang maju, Belanda (VOC) mulai berhasil merebut hegemoni perdagangan melalui jalur laut di kepulauan ini. Dari Ambon, ia kemudian ke Batavia dan melebarkan kekuasaanya hingga banyak tempat.

Setelah VOC dibubarkan, datanglah bentuk kekuasaan baru: Pemerintah Hindia Belanda. Militer tetap menjadi ujung tombak dalam menaklukan dan menguasai. Perlawanan kerjaan-kerajaan atau komunitas-komunitas pribumi mesti diredam dengan kekuatan militer yang terlatih dengan jumlah yang terus bertambah.

Tentara pemerintah Hindia Belanda tidak semua orang Belanda atau Eropa. Orang-orang Jawa, misalnya juga menjadi tentara untuk mengamankan kekuasaan Belanda. Tahun 1808 misalnya, atas perintah Daendels, Mangkunegera II yang sudah bersekutu dengan Belanda membentuk ‘Legiun Mangkunegara”. Legiun ini terdiri dari prajuritnya sendiri dengan bantuan keuangan pihak Belanda.

“Dia dianugerahi pangkat kolonel dan diberi 10.000 ryksdaalders lebih setiap tahun sebagai gaji dan dukungan terhadap legiun yang beranggotakan 1.150 orang prajurit,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi, 2008).

Menurut Ricklesf, legiunnya itu kelak melaksanakan tugas membantu Belanda dalam penyerangan ke Yogyakarta pada tahun 1812, Perang Jawa 1825-1830 dan perang Aceh tahun 1873-4.

Di Minahasa sendiri, minat pemuda-pemuda menjadi soldadu terutama nanti mulai tahun 1825. Salah satu sebabnya adalah sistem tanam paksa yang menyiksa.

“Namun tanam paksa kopi di sekitar dataran tinggi Tondano menguba hal itu. Sejak saat itu pilihan untuk menjadi soldadu di ‘tanah orang’ menjadi suatu alternatif lain dari kerja keras di kebun-kebun kopi,” tulis R.Z. Leirissa dalam Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia: Peristiwa Merah Putih dan Sebab-musababnya (Jakarta: Sinar Harapan, 1997).

Akhir tahun 1830, Gubernur Jenderal van den Bosch membentuk Tentara Kerajaan di Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Mulanya, jumlah pasukan KNIL yang terdiri dari orang-orang Jawa, Ambon, Madura selain orang-orang Belanda sendiri sebanyak 14.000 orang. Pada masa perang Aceh, jumlah tentara meningkat hampir tiga kali lipat. Menurut Leirissa, sejak saat itu jumlah pasukan yang berasal dari berbagai daerah di nusantara, hampir 5 kali lipat dari yang berasal dari Belanda. Jumlah tentara KNIL pada tahun 1900 sebanyak 38.105 orang.


***
Tentara dalam perang selalu dibayang-bayangi oleh kesedihan dan putus asa. Kerinduan pada tanah kelahiran atau orang-orang yang dicintai menjadi bagian dari kehidupan para tentara. Kematian bisa datang kapan saja.

Tentara dalam perang membutuhkan hiburan dan penyemangat.

Bagaimana soldadu-soldadu atau tentara-tentara di masa Pemerintah Hindia Belanda menghibur diri di medan perang? Bagaimana cara mereka diberi semangat untuk berperang? Bagaimana jiwa heroisme dan patriotisme tertanam dalam jiwa mereka? Jawabannya adalah melalui nyanyian.

Tiada b'rapa lama
Saja masoek perang
Deng' sateman jang brani

Kami doea djalani
S'perti boeroeng terbang.

Itulah salah satu bait syair lagu berjudul Kameraad Jang Satia. Lagu ini adalah salah satu lagu dalam buku kumpulan nyanyian berjudul Kitab Njanjian Goena Soldadoe Kompeni, terbit tahun 1899. Buku ini dikhususkan bagi para tentara di medan perang Hindia Belanda. Buku yang disusun oleh Letnan Clockener Brousson, dalam bahasa Belanda berjudul Voor Janmaat en Soldaat. Terjemahan dalam bahasa Melayu dikerjakan oleh E. Tehupeiory, seorang dokter Jawa.

Njanjian-njanjian itoe diboeat atas diaorang dan atas Baginda Maharadja WILHELMINA, jang perentah dengan lemboet manis akan bala bala, baik di negeri Wolanda, baik di Hindia dan atas tempat-tempat dimana bandera Wolanda (merah, poetih, biroe) berkibar-kibar,” demikian tulis Tehupeiory dalam pendahuluan buku itu.

Buku ini berisi nyanyian-nyanyian yang mengisahkan kehidupan para tentara di medan perang. Kebanyakan lagu-lagu itu berbentuk mars, yang baik dinyanyikan penuh semangat sambil memegang atau megibarkan vaandel atau panji perang.

Baginda Maharadja Wilhelmina adalah yang diagung-agungkan pada beberapa lagu. Dalam salah satu nyanyian ia digambarkan sebagai raja yang mulia. Kesetian, keberanian, kemenangan semata-mata adalah untuk hormat dan kemulian bagi sang baginda. Berikut bait pertama nyanyian berjudul “Wilhelmina, Radja Nederland”:

Wilhelma, Engkau Radja
Radja jang moelia!
Tinggal maut ambii sadja
Saja bersatia
Padamoe, Jang terindah
Dimata balamoe.
Koe anak negri jang rendah
Sembahkan hormatkoe

Tehupeiory sendiri mengakui, semangatnya menerjemahkan buku itu ke bahasa Melayu adalah untuk menyatakan kesetian kepada Sang Raja. “Saja, saorang anak Hindia, seperti anak bala jang satia deri Maharadja Wolanda, soedah salinkan njanjian-njanjian itoe dalam bahasa Melajoe,’ tulis Tehupeiory.

Nyanyian-nyanyian itu rupanya terutama diperuntuhkan bagi soldadu-soldadu bukan orang Belanda atau Eropa. Tehupeiory menyebut tentara-tentara dari Jawa, Ambon, Ternate, Manado, Madura,  Sunda dan dari Timor. Merekalah tentara-tentara yang direkrut tekeng suraro oleh Belanda berperang demi kemenangan dan keagungan Negeri Belanda.  

“Sopaja kamoe soedara-soedarakoe jang tjinta, jang datang deri Djawa atau Ambon, deri Ternate atau Menado, deri Madoera atau Soenda, deri Timor atau Celebes, sopaja kamoe djoega bisa menjanji seperti teman-temanmoe Wolanda ditengah-tengah marsch, di tempat brenti dalam prang (bivak) atau di
dalam tangsi
,” Tehupeiory.

Bait kedua lagu berjudul “Wilhelmina, Radja Nederland” itu tampaknya bermaksud mengajak para tentara untuk menyatakan hormat dan setia kepada Sang Raja.  

Poetri jang teroetama!
Koehormat namamoe
Kau bergelar
Pertama"
Oentoeng Karadjaanmoe".
Di W'landa dan Hindia
Samoea bertetap
Padamoe, Jang termoelia
Tida laloe s'kedjab.

Keagungan bendera Belanda, putih, merah, biru dinyatakan dalam lagu berjudul “Hormat Bagi Bandera Wolanda”.

Bandera Wolanda jang elok permai,
Warna merah, poetih, biroe;
Bawahnja kami hidoeplah berdamai:
Tiada berhara-hiroe.
Kasihlah naik pandji Radja ini
Didarat, dilaoet, disana, sini,
Di benteng, di kapal, dimana-mana
Berkibar bandera tanah.
.
 
Di dalam bait berikut lagu itu memuat arti masing-masing warna. Warna biru berarti “setia”. Putih artinya “bersih”. Merah diartikan “darah” sebagai simbol pengorbanan jiwa dan raga. 

Bendera ‘Tanah Nederland” ini, oleh syair nyanyian diminta untuk dijaga dengan sekuat tenaga. Bendera atau panji menjadi simbol pengharapan.

Didalam pap'rangan jang amat lebat
Kau simpan bandera ini!
Maskipon moesoehmoe terlaloe koeat
Djangan ingat sana-sini.
Pandji jang elok itoe pengharapan,
Biar moesoeh besar di tanah lapang
Bri hormat pada pandji tanah W'landa

Hai kawan, tinggi dan rendah!

Bagi tentara dalam perang, jiwa patriotisme dan heroisme bagi cita-cita kemenangan dan kemahsyuran penguasa yang memberi perintah adalah yang paling penting. Namun, dalam situasi yang jauh dari keluarga atau orang-orang yang dicintai, melihat kawan sepasukan tewas ditembak, kesedihan dan putus asa membutuhkan penghiburan rohani. Buku kumpulan nyanyian itu menyediakan pula lagu yang bernuansa religius. Judul nyanyiannya adalah “Sombahjang Bala Dan Soldadoe”. Berikut salah satu bainya:


Toehan palihara Dia,
Jang kami bersatia,
Tjinta, kasih dan hormati
Dengan sagenap hati.
Dengar djoega, minta-an kami
Bri Berkat, kapadanja
Permaisoeri Wilhelmina
Jang perentah kami hina.


Perang Aceh tahun 1873-4 ternyata begitu membekas dalam dunia kemiliteran Belanda. Sampai-sampai pengalaman dalam perang itu juga dibuat lagu. Judul nyanyian itu “Bersendjata!”. Berikut syairnya:

1.
Mari, teman! kami djalan,
Lekas, djangan bertatalan
Bersendjata lawan Atjih!"
Djangan kami takoet mati!
Djangan- takoet, kami menang
S'bentar poelang, hati senang
Pakai tanda kaberanian. (2 kali)

2.
Lekas sadia, deng' tjepat,
Djangan kasih moesoeh rapat!
Tembak dia sampai djatoeh,
Djangan kasih tinggal satoe
Djangan takoet, kami menang:
S'bentar poelang hati senang
Pakai tanda kaberanian. (2 kali)

3.
Baik Atjih djadi rendah
Taalok bawah Wolanda
Dan hormat Maharadja grang
Sopaja hidoep dengan s'nang
Djangan takoet, kami menang:
S'bentar poelang, hati senang
Pakai tanda kaberanian. (2 kali)

4.
Di pertengah medan perang
Pakailah snapan dan pedang;
Djangan hilang pengharapan,
Lihat moesoeh dihadapan.
Djangan takoet, kami menang:
S'bentar poelang, hati senang
Pakai tanda kaberanian. (2 kali)

5.
Tagal itoe, ketjil besar
Djang' takoet, tetapi dengar:
Atjih haroes dihabiskan
Dan djoega di taklokkan.
Djangan takoet, kami menang:
S'bentar poelang, hati senang
Pakai tanda kaberanian. (2 kali)

Bukan cuma syair-syair nyanyian yang termuat di buku itu. Pantun yang dinyanyikan, juga dirasa dapat memberi hiburan bagi para tentara di tengah waktu senggang.

1.
Kapal Ambon djalan Menado
Ha, were, were, were, were bom bom bom
Haloean soensang ka tandjong Allang
hoera! hoera! Victoria, hoera!
Victoria! Victoria! were, were, were, were, bom
bom bom.
(2 kali).

2.
Anak Ambon teeken soldadoe
Ha, were d.
l.l.
Doea ratoes belandja djalan
Hoera! hoera! Victoria d.
l.l.(**)  




_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.


No comments :

Post a Comment