![]() |
Tentara KNIL di Batavia tahun 1930. (Sumber: http://www.indonesia-dutchcolonialheritage.nl) |
Para soldadu di medan selalu dibayang-bayangi oleh kesedihan, putus asa dan kematian, mereka butuh hiburan, maka sebuah buku berisi kumpulan nyanyian diterbitkan untuk mereka
TANGGAL 1 Januari 1800, secara resmi VOC dibubarkan. Sejak
pertama kali datang ke kepulauan ini, VOC memang mengandalkan militer. Tahun
1630, dengan militernya yang maju, Belanda (VOC) mulai berhasil merebut
hegemoni perdagangan melalui jalur laut di kepulauan ini. Dari Ambon, ia
kemudian ke Batavia dan melebarkan kekuasaanya hingga banyak tempat.
Setelah VOC
dibubarkan, datanglah bentuk kekuasaan baru: Pemerintah Hindia Belanda. Militer
tetap menjadi ujung tombak dalam menaklukan dan menguasai. Perlawanan
kerjaan-kerajaan atau komunitas-komunitas pribumi mesti diredam dengan kekuatan
militer yang terlatih dengan jumlah yang terus bertambah.
Tentara
pemerintah Hindia Belanda tidak semua orang Belanda atau Eropa. Orang-orang
Jawa, misalnya juga menjadi tentara untuk mengamankan kekuasaan Belanda. Tahun
1808 misalnya, atas perintah Daendels, Mangkunegera II yang sudah bersekutu
dengan Belanda membentuk ‘Legiun Mangkunegara”. Legiun ini terdiri dari
prajuritnya sendiri dengan bantuan keuangan pihak Belanda.
“Dia dianugerahi
pangkat kolonel dan diberi 10.000 ryksdaalders lebih setiap tahun sebagai gaji dan dukungan terhadap
legiun yang beranggotakan 1.150 orang prajurit,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi, 2008).
Menurut Ricklesf,
legiunnya itu kelak melaksanakan tugas membantu Belanda dalam penyerangan ke
Yogyakarta pada tahun 1812, Perang Jawa 1825-1830 dan perang Aceh tahun 1873-4.
Di Minahasa
sendiri, minat pemuda-pemuda menjadi soldadu terutama nanti mulai tahun 1825. Salah satu sebabnya
adalah sistem tanam paksa yang menyiksa.
“Namun tanam
paksa kopi di sekitar dataran tinggi Tondano menguba hal itu. Sejak saat itu
pilihan untuk menjadi soldadu di ‘tanah orang’ menjadi suatu alternatif lain
dari kerja keras di kebun-kebun kopi,” tulis R.Z. Leirissa dalam Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia: Peristiwa Merah Putih dan
Sebab-musababnya (Jakarta: Sinar Harapan, 1997).
Akhir tahun 1830,
Gubernur Jenderal van den Bosch membentuk Tentara Kerajaan di Hindia Belanda
atau Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Mulanya, jumlah pasukan KNIL yang terdiri dari
orang-orang Jawa, Ambon, Madura selain orang-orang Belanda sendiri sebanyak
14.000 orang. Pada masa perang Aceh, jumlah tentara meningkat hampir tiga kali
lipat. Menurut Leirissa, sejak saat itu jumlah pasukan yang berasal dari
berbagai daerah di nusantara, hampir 5 kali lipat dari yang berasal dari
Belanda. Jumlah tentara KNIL pada tahun 1900 sebanyak 38.105 orang.
***
Tentara dalam
perang selalu dibayang-bayangi oleh kesedihan dan putus asa. Kerinduan pada
tanah kelahiran atau orang-orang yang dicintai menjadi bagian dari kehidupan
para tentara. Kematian bisa datang kapan saja.
Tentara dalam
perang membutuhkan hiburan dan penyemangat.
Bagaimana soldadu-soldadu atau
tentara-tentara di masa Pemerintah Hindia Belanda menghibur diri di medan
perang? Bagaimana cara mereka diberi semangat untuk berperang? Bagaimana jiwa
heroisme dan patriotisme tertanam dalam jiwa mereka? Jawabannya adalah melalui
nyanyian.
Tiada b'rapa lama
Saja masoek perang
Deng' sateman jang brani
Kami doea djalani
S'perti boeroeng terbang.
Saja masoek perang
Deng' sateman jang brani
Kami doea djalani
S'perti boeroeng terbang.
Itulah salah satu bait syair lagu berjudul Kameraad Jang Satia. Lagu ini adalah salah satu lagu
dalam buku kumpulan nyanyian berjudul Kitab Njanjian Goena Soldadoe
Kompeni, terbit tahun 1899.
Buku ini dikhususkan
bagi para tentara di medan perang Hindia Belanda. Buku yang disusun oleh Letnan Clockener Brousson, dalam bahasa
Belanda berjudul Voor Janmaat en Soldaat.
Terjemahan dalam bahasa Melayu dikerjakan oleh E. Tehupeiory, seorang
dokter Jawa.
“Njanjian-njanjian itoe
diboeat atas diaorang dan atas Baginda
Maharadja WILHELMINA, jang perentah dengan lemboet
manis akan bala bala, baik di negeri Wolanda, baik di Hindia dan atas tempat-tempat dimana bandera Wolanda (merah, poetih, biroe) berkibar-kibar,” demikian tulis Tehupeiory dalam
pendahuluan buku itu.
Buku ini berisi nyanyian-nyanyian yang
mengisahkan kehidupan para tentara di medan perang. Kebanyakan lagu-lagu itu
berbentuk mars, yang baik dinyanyikan penuh semangat sambil memegang atau
megibarkan vaandel atau panji perang.
Baginda Maharadja Wilhelmina adalah yang diagung-agungkan pada beberapa lagu. Dalam salah satu nyanyian
ia digambarkan sebagai raja yang mulia. Kesetian, keberanian, kemenangan
semata-mata adalah untuk hormat dan kemulian bagi sang baginda. Berikut bait
pertama nyanyian berjudul “Wilhelmina, Radja Nederland”:
Wilhelma, Engkau Radja
Radja jang moelia!
Tinggal maut ambii sadja
Saja bersatia
Padamoe, Jang terindah
Dimata balamoe.
Koe anak negri jang rendah
Sembahkan hormatkoe
Radja jang moelia!
Tinggal maut ambii sadja
Saja bersatia
Padamoe, Jang terindah
Dimata balamoe.
Koe anak negri jang rendah
Sembahkan hormatkoe
Tehupeiory sendiri
mengakui, semangatnya menerjemahkan buku itu ke bahasa Melayu adalah untuk
menyatakan kesetian kepada Sang Raja. “Saja, saorang anak Hindia,
seperti anak bala jang satia deri
Maharadja Wolanda, soedah salinkan njanjian-njanjian itoe dalam bahasa Melajoe,’ tulis Tehupeiory.
Nyanyian-nyanyian itu rupanya terutama
diperuntuhkan bagi soldadu-soldadu bukan
orang Belanda atau Eropa. Tehupeiory menyebut
tentara-tentara dari Jawa, Ambon, Ternate, Manado, Madura, Sunda dan dari Timor. Merekalah
tentara-tentara yang direkrut tekeng
suraro oleh Belanda berperang demi kemenangan dan keagungan Negeri
Belanda.
“Sopaja kamoe soedara-soedarakoe jang tjinta,
jang datang deri Djawa atau Ambon, deri Ternate atau Menado, deri Madoera atau
Soenda, deri Timor atau Celebes,
sopaja kamoe djoega bisa menjanji seperti teman-temanmoe Wolanda
ditengah-tengah marsch, di tempat brenti
dalam prang (bivak) atau di
dalam tangsi,” Tehupeiory.
dalam tangsi,” Tehupeiory.
Bait kedua lagu
berjudul “Wilhelmina, Radja Nederland” itu tampaknya
bermaksud mengajak para tentara untuk menyatakan hormat dan setia kepada Sang
Raja.
Poetri jang teroetama!
Koehormat namamoe
Kau bergelar “Pertama"
“Oentoeng Karadjaanmoe".
Di W'landa dan Hindia
Samoea bertetap
Padamoe, Jang termoelia
Tida laloe s'kedjab.
Koehormat namamoe
Kau bergelar “Pertama"
“Oentoeng Karadjaanmoe".
Di W'landa dan Hindia
Samoea bertetap
Padamoe, Jang termoelia
Tida laloe s'kedjab.
Keagungan bendera Belanda, putih, merah, biru dinyatakan dalam lagu
berjudul “Hormat Bagi Bandera Wolanda”.
Bandera Wolanda jang elok
permai,
Warna merah, poetih, biroe;
Bawahnja kami hidoeplah berdamai:
Tiada berhara-hiroe.
Kasihlah naik pandji Radja ini
Didarat, dilaoet, disana, sini,
Di benteng, di kapal, dimana-mana
Berkibar bandera tanah..
Warna merah, poetih, biroe;
Bawahnja kami hidoeplah berdamai:
Tiada berhara-hiroe.
Kasihlah naik pandji Radja ini
Didarat, dilaoet, disana, sini,
Di benteng, di kapal, dimana-mana
Berkibar bandera tanah..
Di dalam bait berikut lagu itu memuat arti
masing-masing warna. Warna biru
berarti “setia”. Putih artinya
“bersih”. Merah diartikan “darah”
sebagai simbol pengorbanan jiwa dan raga.
Bendera ‘Tanah Nederland” ini, oleh syair
nyanyian diminta untuk dijaga dengan sekuat tenaga. Bendera atau panji menjadi
simbol pengharapan.
Didalam pap'rangan jang amat
lebat
Kau simpan bandera ini!
Maskipon moesoehmoe terlaloe koeat
Djangan ingat sana-sini.
Pandji jang elok itoe pengharapan,
Biar moesoeh besar di tanah lapang
Bri hormat pada pandji tanah W'landa
“Hai kawan, tinggi dan rendah!
Kau simpan bandera ini!
Maskipon moesoehmoe terlaloe koeat
Djangan ingat sana-sini.
Pandji jang elok itoe pengharapan,
Biar moesoeh besar di tanah lapang
Bri hormat pada pandji tanah W'landa
“Hai kawan, tinggi dan rendah!
Bagi tentara dalam perang, jiwa patriotisme
dan heroisme bagi cita-cita kemenangan dan kemahsyuran penguasa yang memberi
perintah adalah yang paling penting. Namun, dalam situasi yang jauh dari
keluarga atau orang-orang yang dicintai, melihat kawan sepasukan tewas
ditembak, kesedihan dan putus asa membutuhkan penghiburan rohani. Buku kumpulan
nyanyian itu menyediakan pula lagu yang bernuansa religius. Judul nyanyiannya
adalah “Sombahjang Bala Dan Soldadoe”. Berikut salah
satu bainya:
Toehan palihara Dia,
Jang kami bersatia,
Tjinta, kasih dan hormati
Dengan sagenap hati.
Dengar djoega, minta-an kami
Bri Berkat, kapadanja
“Permaisoeri Wilhelmina
Jang perentah kami hina.
Jang kami bersatia,
Tjinta, kasih dan hormati
Dengan sagenap hati.
Dengar djoega, minta-an kami
Bri Berkat, kapadanja
“Permaisoeri Wilhelmina
Jang perentah kami hina.
Perang Aceh tahun
1873-4 ternyata begitu membekas dalam dunia kemiliteran Belanda. Sampai-sampai
pengalaman dalam perang itu juga dibuat lagu. Judul nyanyian itu “Bersendjata!”. Berikut syairnya:
1.
Mari, teman! kami djalan,
Lekas, djangan bertatalan
“Bersendjata lawan
Atjih!"
Djangan kami takoet mati!
Djangan- takoet, kami
menang
S'bentar poelang, hati
senang
Pakai tanda kaberanian. (2
kali)
2.
Lekas sadia, deng' tjepat,
Djangan kasih moesoeh
rapat!
Tembak dia sampai djatoeh,
Djangan kasih tinggal
satoe
Djangan takoet, kami
menang:
S'bentar poelang hati
senang
Pakai tanda kaberanian. (2 kali)
3.
Baik Atjih djadi rendah
Taalok bawah Wolanda
Dan hormat Maharadja grang
Sopaja hidoep dengan
s'nang
Djangan takoet, kami
menang:
S'bentar poelang, hati
senang
Pakai tanda kaberanian. (2
kali)
4.
Di pertengah medan perang
Pakailah snapan dan
pedang;
Djangan hilang
pengharapan,
Lihat moesoeh dihadapan.
Djangan takoet, kami
menang:
S'bentar poelang, hati
senang
Pakai tanda kaberanian. (2
kali)
5.
Tagal itoe, ketjil besar
Djang' takoet, tetapi
dengar:
Atjih haroes dihabiskan
“Dan djoega di taklokkan.
Djangan takoet, kami
menang:
S'bentar poelang, hati
senang
Pakai tanda kaberanian. (2
kali)
Bukan cuma syair-syair nyanyian yang termuat
di buku itu. Pantun yang dinyanyikan, juga dirasa dapat memberi hiburan bagi
para tentara di tengah waktu senggang.
1.
Kapal Ambon djalan Menado
Ha, were, were, were, were bom bom bom
Haloean soensang ka tandjong Allang
hoera! hoera! Victoria, hoera!
Victoria! Victoria! were, were, were, were, bom
bom bom. (2 kali).
Ha, were, were, were, were bom bom bom
Haloean soensang ka tandjong Allang
hoera! hoera! Victoria, hoera!
Victoria! Victoria! were, were, were, were, bom
bom bom. (2 kali).
2.
Anak Ambon teeken soldadoe
Ha, were d.l.l.
Doea ratoes belandja djalan
Hoera! hoera! Victoria d.l.l.(**)
Ha, were d.l.l.
Doea ratoes belandja djalan
Hoera! hoera! Victoria d.l.l.(**)
_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.Makase banyak.
Comments
Post a Comment