Pelabuhan Manado di masa kolonial. (https://id.pinterest.com) |
Pada awal abad 20, pelabuhan Manado ramai dikunjungi kapal-kapal untuk melakukan aktivitas perdagangan, kopra adalah produk andalan yang diekspor dari pelabuhan ini
PELABUHAN Manado di awal abad 20 memegang peranan penting bagi ekonomi di
jazirah utara Celebes. Kapal-kapal dari berbagai daerah dan negara ramai
berlabuh di pelabuhan ini. Kopra
adalah barang ekspor andalan.
“Jumlah koprah, salah satu barang ekspor
utama, yang dikirim pada tahun 1914, 1915 dan 1916, adalah 142.000, 89.000 dan
120.000 pikul,” demikia buku berjudul Netherlands
East Indian Harbours, diterbitkan oleh Netherlands-East-Indian Government,Batavia 1920.
Disebutkan, pelabuhan
Manado memiliki pengaruh dalam arus perdagangan di Hindia Belanda. Muara Sungai
Tondano adalah penopang utama pelabuhan itu. Dulunya, muara ini tidak terlalu
baik untuk navigasi. Muara sungai yang semakin dangkal ke arah bibir pantai,
membuat pelabuhan itu sebelumnya tidak terlalu baik. Namun, berkat pembangunan
muara sungai itu akhirnya dapat menjadi penopang untuk pelabuhan.
Di masa itu, ada tiga
rumah adat besar yang dibangun di lokasi pelabuhan.Lebar dan kedalaman pantai yang tidak maksimal, membuat
aktivitas bongkar muat tidak efektif.
“Terlepas dari
situasi di atas, perdagangan dan navigasi terus meningkat sebagai akibat kemakmuran
wilayah Menado dan
sekitarnya,” demikian tercatat di buku itu.
Daerah-daerah
di semenanjung utara
Sulawesi, seperti Minahasa,
pulau
Sangihe dan Talaud dan Bolaang (Mongondou) menjadi bagian dari aktivitas pelabuhan
Manado. Kapal uap besar yang berlayar ke
Jepang dan Asia Timur mengangkut produk dari Gorontalo, daerah-daerah di sepanjang teluk Tomini dan Ternate.
Sirkulasi barang yang khusus berasal dari Manado,nilainya adalah: tahun 1913 sejumlah 8,500,000 gulden; tahun
1914 sejumlah 9,300,000 gulden; tahun 1916 senilai 7,200,000 gulden.Tahun 1918 meningkat menjadi 11,600,000 gulden.
Nilai impor adalah 60-70 persen dari total
dan sebagian besar terdiri dari beras dan barang-barang kain.Pada tahun 1914,
1915 dan 1916 masing-masing 95.000, 91.000 dan 108.000 pikul.
Di tahun-tahun itu, produk ekspor yang utama adalah
kopra. Pada tahun 1914, 1915 dan 1916 jumlah yang diekspor adalah 142.000,
89.000 dan 120.000 pikul.
Seperti dicatat pada buku itu, pedangkalan sungai Tondano
adalah salah satu yang menjadi masalah bagi perusahaan-perusahaan komersial di Menado
yang menggunakan pelabuhan ini. Aktivitas pelabuhan,terutama kapal yang
berlabuh untuk melakukan bongkar-muat sering terganggu.
Pada tahun 1919 biaya untuk pembangunan pelabuhan yang
lebih modern yang bersama dengan itu adalah perbaikan muara sungai telah
disiapkan oleh pemerintah. Perbaikan meliputi pembangunan dermaga yang agak
menjorok ke laut dan pembangunan bendungan di tepi kanan sungai.
Dengan begitu, maka perlu dilakukan pengerukan sungai,
sehingga saat air surut kedalamannya bisa mencapai 2 M. Dengan kedalaman
seperti itu, dirasa akan lebih memungkinkan kapal berlabuh. Biaya yang
dibutuhkan menurut perkiraan, sebanyak 1 juta gulden.
Dengan modernisasi
yang akan dilakukan itu, pemerintah Belanda terutama departemen yang bertugas
mengurus pelabuhan memperkirakan akan terjadi peningkatan nilai ekspor sebesar 20 juta gulden. Ditambah dengan kenaikan harga kopra dan
lagi dengan semakin banyak perkebunan kelapa yang dibuka, maka jumlahnya akan
naik hingga 25-30 juta.
“Peningkatan yang sangat diinginkan ini juga akan sangat penting
bagi penduduk Minahasa, yang kesetiaannya untuk Belanda
dan Ratu telah berkali-kali diungkapkan dengan cara yang mencolok.”
Buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 1978 menyebutkan, di tahun 1920, pelabuhan Manado dan Amurang merupakan dua pelabuhan yang paling ramai dikunjungi di jazirah utara Celebes ini. Kapal-kapal yang membawa dan mengirim komoditi banyak yang berlabuh di pelabuhan itu.
Komoditi yang dibawa masuk antara lain, berbagai jenis kain, barang pecah belah, arak, garam, beras, bir, teh, gula. Lalu berbagai macam barang dari karet, juga semen, kapur, makanan kaleng, seng, ikan asin, kulit sepatu, korek api, pisau dan barang- barang dari logam lainnya. Kemudiaa sabun, tepung terigu, susu, kertas dan alat tulis menulis, rokok dan sebagainya. Buku itu menyebutkan juga, pedagang-pedagang Cina dan Arab adalah yang paling diutungkan
waktu itu. Mereka berada di hampir semua pelosok.
Dengan pelabuhan Manado yang ramai, maka penduduk di kepulauan Sangihe dan Talaud mendapat berkah. Dua daerah ini bahkan dijuluki sebagai daerah ringgit karena hasil kelapanya yang banyak.
“Kopra dijual dengan harga F. 25,- sepikul yang dibeli oleh pedagang-pedagang antaranya oleh pedagang-pedagang Jepang yang mulai masuk ke sana kira-kira tahun 1919. Selain kopra, mereka juga membeli pala terutama dari pulau Siau, dan ayam yang dipasaran harganya sekitar 15 sen, dibeli orang Jepang dengan harga sampai f. 2,50 seekor,” demikian dijelaskan di buku itu Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara.
Pelabuhan Manado berakhir masa kejayaannya kira-kira mulai tahun 1950-an. Yaitu ketika aktivitas bongkar-muat barang dialihkan ke Bitung. Sebuah pelabuhan baru yang besar sedang dibangun di sana. Peletakan baru pertama pelabuhan Bitung dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1953.
Buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 1978 menyebutkan, di tahun 1920, pelabuhan Manado dan Amurang merupakan dua pelabuhan yang paling ramai dikunjungi di jazirah utara Celebes ini. Kapal-kapal yang membawa dan mengirim komoditi banyak yang berlabuh di pelabuhan itu.
Komoditi yang dibawa masuk antara lain, berbagai jenis kain, barang pecah belah, arak, garam, beras, bir, teh, gula. Lalu berbagai macam barang dari karet, juga semen, kapur, makanan kaleng, seng, ikan asin, kulit sepatu, korek api, pisau dan barang- barang dari logam lainnya. Kemudiaa sabun, tepung terigu, susu, kertas dan alat tulis menulis, rokok dan sebagainya.
Dengan pelabuhan Manado yang ramai, maka penduduk di kepulauan Sangihe dan Talaud mendapat berkah. Dua daerah ini bahkan dijuluki sebagai daerah ringgit karena hasil kelapanya yang banyak.
“Kopra dijual dengan harga F. 25,- sepikul yang dibeli oleh pedagang-pedagang antaranya oleh pedagang-pedagang Jepang yang mulai masuk ke sana kira-kira tahun 1919. Selain kopra, mereka juga membeli pala terutama dari pulau Siau, dan ayam yang dipasaran harganya sekitar 15 sen, dibeli orang Jepang dengan harga sampai f. 2,50 seekor,” demikian dijelaskan di buku itu Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara.
Pelabuhan Manado berakhir masa kejayaannya kira-kira mulai tahun 1950-an. Yaitu ketika aktivitas bongkar-muat barang dialihkan ke Bitung. Sebuah pelabuhan baru yang besar sedang dibangun di sana. Peletakan baru pertama pelabuhan Bitung dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1953.
_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.
Makase banyak.
Makase banyak.
Comments
Post a Comment